LOGIKA
BAB I
Apakah Logika Itu?
1. Apakah Logika Itu?
Secara singkat dapat dikatakan logika adalah ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk berpikir lurus (tepat).
Ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan tentanf pokok yang tertentu. Kumpulan ini merupakan suatu kesatuan yang sistematis serta memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Penjelasan seperti ini terjadi dengan menunjukkan sebab-musababnya.
Logoka juga merupakan ilmu pengetahuan dalam arti ini. Lapangan ilmu pengetahuan ini ialah azas-azas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat dan sehat. Agar dapat berpikir lurus, tepat dan teratur, logika menyelidiki, merumuskan seta menerapkan hukum-hukum yang harus ditepati.
Dengan menerapkan hukum-hukum pemikirab yang lurus, tepat dan sehat, kita dimasukkan ke dalam lapangan logika, sebagai suatu kecakapan. Hal ini menyatakan bahwa logika bukanlah teori belaka. Logika juga merupakan suatu keterampilan untuk menerapkan hukum-hukum pemikiran dalam praktek. Inilah sebabnya mengapa logika disebut filsafat yang praktis.
Berpikir adalah obyek material logika. Yang dimaksudkan dengan berpikir disini ialah kegiatan pikiran, akal budi manusia. Dengan berpikir manusia ‘mengolah’, ‘mengerjakan’, dan ‘mengerjakannya’ ia dapat memperoleh kebenaran. ‘Pengolahan’, ‘pengerjaan’ ini terjadi dengan mempertimbangkan, menguraikan, membandingkan serta menghubungkan pengertian yang satu dengan pengertian lainnya. Karena itu obyek material logika bukanlah bahan-bahan kimia atau salah satu bahasa, misalnya.
Tetapi bukan sembarangan berpikir yang diselidiki dalam logika. Dalam logika berpikir dipandan dari sudut kelurusan, ketepatannya. Karena itu berpikir lurus, tepat, merupakan obyek formal logika. Kapan suatu pemikiran itu sesuai dengan hukum-hukum serta aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam logika. Kalau peraturan-peraturan itu ditepati, dapatlah pelbagai kesalahan atau kesesatan dihindarkan. Degna demikian kebenaran juga dapat diperoleh dengan lebih mudah dan lebih aman. Semua ini menunjukkan bahwa logika merupakan suatu pegangan atau pedoman untuk pemikiran.
2. Macam-Macam Logika
Logika dapat dibedakan atas dua macam. Namun keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua macam logika itu ialah logika kodrati dan logika ilmiah.
2.1 Logika Kodratiah
Akal budi dapat bekerja menurut hukum-hukum logika dengan cara yang spontan. Tetapi dalam hal-hal yang sulit baik akal budinya maupun seluruh diri manusia dapat dan nyatanya dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang subyektif. Selain itu baik manusia sendiri maupun perkembangan pengetahuannya sangat terbatas.
Hal-hal ini menyebabkan bahwa kesesatan tidak dapat dihindarkan. Namun dalam diri manusia sendiri juga terasa adanya kebutuhan untuk menghindarkan kesesatan itu. Untuk menghindarkan kesesatan itu diperlukan ilmu khusus yang merumuskan azas-azas yang harus ditepati dalam setiap pemikiran. Karena itu muncullah logika ilmiah.
2.2 Logika Ilmiah
Logika ini membantu logika kodratiah. Logika ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi. Berkat pertolongan logika ini akal budi dapat bekerja dengan lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah dan lebih aman. Dengan demikian kesesatan juga dapat dihindarkan arau, paling tidak, dikurangi. Logika inilah yang dibicarakan dalam buku ini.
3. Sejarah Ringkas Logika
3.1 Yunani Kuno
Kaum Sofis beserta Plato (427-347 seb. Kr.) telah merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang ini. Sokrates (469-399 seb. Kr.) dengan ‘metode bidan’ (metode mayeutis)nya juga telah banyak memberikan dasar bagi logika. Namun, penemuan yang sebenarnya baru terjadi oleh Aritoteles (384-322 seb. Kr.), Theophrastus (372-287 seb. Kr.) dan kaum Stoa. Aristoteles meninggalkan enam buah buku yang oleh murid-muridnya diberi nama to Organon. Keenam buku itu adalah Categoriae (tentang keputusan-keputusan), Analytica Priora (tentang sillogisme), Analytica Posteriora (tentang pembuktian), Topica (tentang metode berdebat) dan De Sophisticis Elenchis (tentang kesalahan-kesalahn berpikir).
Theophrastus memperkembangkan logika Aristoteles ini. Sedangkan kaum Stoa, terutama Chrysippus (± 280-207 seb. Kr.) mengajukan bentuk-bentuk berpikir yang sistematis.
Logika lalu mengalami sistematisasi. Hal ini terjadi dengan mengikuti metode ilmu ukur. Ini terutama dikembangakan oleh Galenus (±n130-201_ dan Sextus Empiricus (± 200).
Kemudian logikan mengalami masa dekadensi. Logika menjadi sangant dangkal dan sederhana sekali. Namun, masih ada juga karya yang pantas disebut pada masa itu. Karya-karya itu ialah Eisagoge dari Porphyrius (± 232-305), Fons Scientae dari Johanes Damascenus (± 674-749) dan komentar-komentar dari Boethius (± 480-524).
3.2 Abad Pertengahan (abad IX - XVI)
Pada masa itu masih dipakai buku-buku, seperti De Interpretatione dan Categoriae (Aristoteles), Eisagoge (Porphyrius) dan buku-buku dari Boethius (abad XII-XIII).
Ada usaha untuk mengadakan sistematisai dan komentar-komentar. Usaha ini dikerjakan oleh Thomas Aquinas (1224-1274) dan kawan-kawannya. Mereka juga serentak mengembangkan logika yang sudah ada.
Logika modern muncul dalam abad XIII-XV. Tokoh-tokoh penting dalam bidang ini ialah Petrus Hispanus (1210-1278), Roger Bacon (1214-1292), Raymundus Lullus (1232-1315), Wilhelmus Ockham (1295-1349) dan lain-lain. Khususnya Raymundus Lullus menemukan suatu metode logika yang baru. Metode ini disebut Ars Magna, yang merupakan semacam aljabar pengertian. Aljabar ini bermaksud membuktikan kebenaran-kebenaran yang tertinggi.
Kemudian logika Aristoteles mengalami perkembangan yang ‘murni’. Logika itu dilanjutkan oleh beberapa tokoh, seperti Thomas Hobbes (1588-1679) dalam Leviatannya dan John Locke (1632-1704) dalam An Essay concerning Human Understanding-nya. Namun tekanan yang merkea berikan sebenarnya juga berbeda-beda. Di sini ajaran-ajaran Aristoteles sudah diberi warna nominalistis yang sangat kuat (bdk. Wilhelmus Ockham dan kawan-kawannya).
3.3 Eropa Moderen (abad XVII – XVIII/XX)
Masa ini juga dapat disebut masa penemuan-penemuan yang baru. Francis Bacon (1561-16260 mengembangkan metode induktif. Ini terutama dinyatakannya dalam bukunya Novum Organum Scientiarum. W. Leibmitz (16460-1716) menyusun logika aljabar (bdk. Ars Magna dari Raymundus Lullus). Logika ini bertujuan menyederhanakan pekerjaan akal budi dan lebih memberikan kepastian.
Logika Aristoteles masih diperkembangkan dalam jalur yang murni. Ini dijalankan, misalnya, oleh para Neo-Thomis. Tradisi Aristoteles dilanjutkan juga dengan tekanan pada induksi. Hal ini nampak antara lain dalam buku ‘System of Logic’nya J.S. Mill (1806-1873).
Logika metafisis mengalami perkembangannya dengan Imm. Kant (1724-1804). Dia menamainya logika transcendental. Dinamakan logika karena membicarakan bentuk-bentuk pikiran pada umumnya. Dan dinamakan transcendental karena mengatasi batas pengalaman.
Kemudian logika menjadi sekadar suatu peristiwa psikologis dan metodologis. Hal ini, misalnya, diperkembangkan oleh W. Wundt (1832-1920), J. Dewey (1859-1952) dan J.M. Badlwin (1861-1934).
Dan akhirnya logistic pada abad XIX dan XX. Ini terutama diperkembangkan oleh A. de Morgan (1806-1871), G. Boole (1815-1864), W. S. Jevons (1835-1882), E. Schröder (1841-1902), B. Russel (1872-1970), G. Peano (1858-1932) dan masih banyak nama yang lain lagi.
3.4 India
Logika lahir karena Sri Gautama (± 563 – 483 seb. Kr.) sering berdebatnya dengan golongan Hindu fanatic yang menentang ajaran kesusilaannya. Dalam Nyaya Sutra logika diuraikan secara sistematis. Ini mendapat komentar dari Prasastapada (abad V ses. Kr.). Komentar ini kemudian disempurnakan oleh para penganut Buddha lainnya terutama Dignaga (abad VI ses. Kr).
Kemudian logika terus diakui sebagai metode berdebat. Lantas muncullah pelbagai komentar seperti yang dibuat oleh Uddyotakara (abad VII ses. Kr), Udayana (abad X ses. Kr.) dan lain-lain. Mereka ini habya menyusun serta meningkatkan sistematisasi ajaran-ajaran klasik saja.
Muncullah yang disebut Navya Nyaya (abda XIII ses. Kr.). Hal ini merupakan pengintegrasian secara kritis ajaran-ajaran golongan Brahmanisme, Buddhisme dan Jainisme.
3.5 Indonesia
Nampaknya logika belum begitu dipahami maknanya. Baru ‘sedikit’ orang saja yang menaruh perhatian secara ilmiah pada logika. Kiranya sudah tiba waktunya untuk memperluas serta mengembangkan studi tentang logika itu. Di sana sini usaha untuk itu sudah mulai nampak dan membawa hasil juga. Perluasan serta pengembangan ini merupkan salah satu usaha yang ‘raksasa. Dan usaha itu ialah mempertinggi taraf inteligensi setiap orang Indonesia dan bangsa Indonesia seluruhnya.
4. Pembagian Logika
4.1 Logika memang menyelidiki hukum-hukum pemikiran. Penyelidikan itu terjadi dengan menguraikan unsur-unsur pemikiran tersebut. Penguraian unsur-unsur itu menunjukkan bahwa pemikiran manusia sebenarnya terdiri atas unsur-unsur yang berikut. Unsur yang pertama ialah pengertian-pengertian. Kemudian pengertian-pengertian disusun sedemikian rupa sehungga menjadi keputusan-keputusan. Akhirnya, keputusan-keputusan itu disusun semdemikian rupa sehingga menjadi penyimpulan-penyimpilan.
Namun demikian pemikiran manusia bukanlah suatu kegiatan yang terjadi di dalam batin saja. Pemikiran itu juga nampak dalam tanda-tanda lahiriah. Berbicara merupakan tanda lahiriah dari pemikiran. Karena itu kata-kata adalah tanda-tanda lahiriah pengertian-pengertian, kalimat-kalimat tanda-tanda lahiriah keputusan-keputusan dan pembuktian-pembuktian tanda-tanda lahirian penyimpulan-penyimpulan.
Karena itu logika membicarakan baik pengertian-pengertian, maupun kata0kata, baik keputusan-keputusan maupun kalimat-kalimat, dan akhirnyabaik penyimpulan-penyimpulan maupun pembuktian-pembuktiannya.
4.2 Ketiga unsur yang baru disebut ini merupakan tiga pokok kegiatan akal budi manusia. Ketiga pokok kegiatab akal budi itu ialah :
1. Menangkap sesuatu sebagaimana adanya. Artinya, menangkap sesuatu tanpa mengakui atau memungkirinya.
2. Memberikan keputusan. Artinya, menghubungkan pengertian yang satu dengan pengertian lainnya atau memungkiri hubungan itu.
3. Merundingkannya. Artinya, menghubungkan keputusan-keputusan sedemikian rupa, sehingga dari satu keputusan atau lebih, orang sampai pada suatu kesimpulan.
Logika terutama menyentuh bagian yang akhir ini. Namun untuk sampai kepada kesimpulan, lebih dahulu orang harus menyelidiki unsur-unsur lainnya. Dan unsur-unsur lainnya yang harus diselidiki dahulu itulah adalah pengertian –pengertian dan keputusan-keputusan.
5. Pentingnya Belajar Logika
Logika membantu orang untuk berpikir lurus, tepat dan teratur. Dengan berpikir demikian ia dapat memperoleh kebenaran dan menghindari kesesatan.
Dalam semua bidang kehidupan manusi menggunakan pikirannya. Ia juga mendasarkan tindakan-tindakannya atas pikiran itu.
Semua ilmu pengetahuan hampir tidak dapat dilepaskan dari logika. Logika juga memperkenalkan analisa-analisa yang dipakai dalam ilmu filsafat. Selain logika terutama memaksa serta mendorong orang untuk berpikir sendiri.
Akhirnya, manusia pada umumnya mendasarkan tindakan-tindakannya atas pemikiran, pertimbangan-pertimbangan yang obyektif. Demikian juga halnya dengan orang-orang Indonesia sebagai pribadi dan sebagai bangsa. Bangsa Indonesia kiranya membutuhkan orang-orang yang sungguh berpikir tajam dan dapat berpikir sendiri. Dari orang-orang seperti inilah dapat diharapkan bimbingan serta pembinaan yang tepat untuk seluruh bangsa.
Sumber :
- Lanur, Alex. (1983). Logika selayang pandang. Yogyakarta: Kanisius.
- http://bintacecilia.blogspot.com/
BAB II
PENGERTIAN
1. Pengertian merupakan bagian, unsur dari keputusan
1.1 Pengertian
Mengerti berarti menangkap inti sesuatu. Inti sesuatu itu dapat dibentuk oleh akal budi. Yang dibentuk itu adalah suatu gambaran yang 'ideal' atau suatu 'konsep' tentang sesuatu. Karena itu pengertian adalah suatu gambar akal budi yang abstrak, yang batiniah, tentang inti sesuatu.
1.2 Kata
Berpikir terjadi dengan menggunakan kata-kata akal budi. Kita menggunakan kata-kata, kalau kita mau menyatakan apa yang kita pikirkan. Karena itu kata adalah tanda lahiriah (ucapan suara yang diartikulasikan atau tanda yang tertulis) untuk menyatakan pengertian dan barangnya.
Logika di sini hanyalah bunyi-bunyi atau tanda-tanda yang berarti (kata-kata yang merupakan tanda atau pernyataan pikiran dan sesuatu yang dinyatakan dengan pengertian). Yang terpenting adalah isi kata atau pengertian yang terkandung didalamnya. Misalnya, contoh : 'Anjing makan tikus'. Yang di ungkapkan dalam pernyataan itu ialah : baik pengertiannya, maupun bendanya yang konkret.
1.3 Term
Pengertian (kata) juga dapat diselidiki dengan sudut yang lain. Sudut yang lain adalah sudut fungsinya salam suatu keputusan (kalimat) atau sebagai unsur dari padanya. Tanda atau pernyatan pikiran itu dipentingkan. Yang dipentingkan itu adalah pengertian-pengertian yang berfungsi sebagai subyek atau presikat dalam suatu keputusan (kalimat). Karena itu yang disebut term adalah kata atau rangkaiab kata yang berfungsi sebagai subyek atau predikat dalam suatu kalimat. Contoh 'Anjing itu tidur'. Anjing adalah subyek kalimat; tidur adalah predikat kalimat.
Setiap term bisa berupa term tunggal atau term majemuk. Term itu tunggal. Kalau terdiri hanya atas satu kata saja. Misalnya binatang, membeli, mahal, kuda dan sebagainya. Term itu majemuk atau tersusun, kalau terdiri atas dua atau tiga kata. Dua atau tiga kata itu bersama-sama merupakan suatu keseluruhan, menunjukkan satu benda dan berfungsi sebagai subyek atau predikat dalam suatu kalimat. Misalnya jam dinding itu mati; lapangan bola kaki penuh rumput dan sebagainya.
2. Isi dan luas pengertian
Isi sering juga disebut komprehensi, sedangkan luas sering juga disebut ekstensi. Isi suatu pengertian hendaknya dicari dalam inti pengertian itu. Sedangkan luasnya hendaknya dicari dalam benda atau hal mana yang ditunjukkan dengan pengertian itu.
2.1 Apakah isi pengerian itu?
Isi pengertian adalah semua unsur yang termuat dalam suatu pengertian. Isi pengertian dapat ditemukan dengan menjawab pertanyaan: Manakah bagian-bagian (unsur-unsur) suatu pengertian yang tertentu? Unsur-unsur itu meliputi semua unsur pokok, unsur hakiki, serta semua unsur yang langsung dapat diturunkan dari unsur pokok itu. Unsur pokok, hakiki adalah unsur yang menunjukkan inti sesuatu. Tetapj tidak mencakup unsur-unsur yang tidak hakiki. Misalnya pengerti dari 'manusia' itu mengandung unsur-unsur pokok, seperti 'berada', 'material', 'berbadan', 'hidup', 'dapat berbicara', 'makhluk sosial' dan sebagainya. Tetapi pengertian 'manusia' itu tidak mengandung unsur-unsur seperti 'berkulit hitam', 'berkebangsaan Indonesia', 'berambut keriting' dan sebagainya.
2.2 Luas pengertian
Merupakan benda-benda (lingkungan realitas) yang dapat dinyatakan oleh pengertian yang tertentu.
Orang membedakan dua macan luas pengertian. Yang disebut luas yang mutlak, yang lainnya disebut luas yang fungsional. Luas yang mutlak adalah luas pengertian terlepas dari fungsinya dalam kalimat. Sedangkan luas yang fungsional adalah luas pengertian dilihat dari sudut fungsinya dalam kalimat. Atau dilihat dari sudut fungsinya sebagai subyek atau predikat dalam kalimat yang tertentu.
2.3 Kesimpulan Arti dan Luas
Terdapat suatu hubungan yang kiranya tidak dapat disangkal. Sifat hubungan itu dijabarkan sebagai berikut :
Semakin banyak isinya, semakin kecil luas (daerah lingkup)nya. Semakin banyak (besar) isinya hanyalah menyatakan bahwa benda yang ditunjukkan itu menjadi semakin konkret, nyata dan tertentu. Dan sebaliknya.
3. Pembagian Kata-kata
Kata adalah penyataan lahirilah dari pengertian. Tidak sama dengan pengertian yang sama sering kali dinyatakan dengan kata-kata yang berbeda. Dan sebaliknya. Kenyataan ini menyebabkan pentingnya dan betapa pentingnya memperhatikan arti setiap kata itu.
Arti kata dari dua sudut pandang. Yang pertama ialah arti kata dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sensiri. Arti kata itu dilihat terlepas dari fungsinya dalam suatu kalimat. Yang kedua ialah arti kata dilihat dari sudut fungsinya dalam kalimat yang konkret. Yang akhir ini biasanya 'suposisi' term. 'Suposisi' ialah arti khusus suatu term dalam kalimat yang tertentu, dipandang dari sudut arti, isi dan luasnya. Karena itu kata (term) perlu dibagikan menurut arti, isi serta luasnya.
3.1 Dibagi menurut artinya, terdapatlah kata-kata :
1. Univok (sama suara, sama artinya). Kata yang menunjukkan pengertian yang sama. Contoh 'anjing'.
2. Ekuivok (sama suara, tetapi tidak sama artinya). Kata yang menunjukkan pengertian yang berlain-lainan. Contoh 'atap rumah' atau 'suatu keadaan yang gawat'.
3. Analog (sama suara, sedangkan artinya di suatu pihak ada kesamaanya, dilain pihak ada perbedaannya). Kata yang menunjukkan banyak barang yang sama namun serentak juga berbeda-besa dalam kesamaannya itu.
3.2 Di lihat daru sudut isinya, terdapatlah kata-kata :
1. Abstrak, yang menunjukkan suatu bentuk atau sifat tanpa bendanya (misalnya, 'kemanusiaan', 'keindahan') dan konkret, yang menunjukkan suatu benda dengan bentuk atau sifatnya (misalnya 'manusia').
2. Kolektif, yang menunjukkan suatu kelompok (misalnya, 'tentara') dan individual, yang menunjukkan suatu individu saja (misalnua 'Narto' = nama seseorang anggota tentara).
3. Sederhana, yang terdiri dari satu ciri saja (misalnya, kata 'ada' yang tidak dapat diuraikan lagi) dan jamak, yang terdiri dari beberapa atau banyak ciri (misalnya kata 'manusia' yang diuraikan dengan 'makhluk' dan 'berubudi').
3.3 Dan akhirnya menurut luasnya dapatlah dibedakan:
1. Term singular. Dengan tegas menunjukkan satu individu, barang atau golongan yang tertentu. Misalnya, Slamet, orang itu, kesebelasab itu, yang terpandai dan sebagainya.
2. Term partikular. Menunjukkan hanya sebagian saja dari seluruh luasnya. Artinya, menunjukkan lebih dari satu tetapi tidak semua bawahannya. Misalnya beberapa mahasiswa, kebanyakan orang, empat orang muda dan sebagainya.
3. Term universal. Menunjukkan seluruh lingkungan dan bawahannya masing-masing, tanpa ada yang dikecualikan. Misalnya, semua orang, setiap dosen, kera adalah binatang dan sebagainya.
Sumber : Lanur, Alex. (1983). Logika selayang pandang. Yogyakarta: Kanisius.
BAB III
PEMBAGIAN (PENGGOLONGAN) DAN DEFINISI
1.Pembagian (penggolongan)
Pembagian (penggolongan) ialah sesuatu kegiatan akal budi yang tertentu. Dalam kegiatan itu akal budi menguraikan “membagi”, “menggolongkan”, dan menyusun pengertian-pengertian dan barang-barang tertentu. Penguraian dan penyusunan itu diadakan menurut kesamaan dan perbedaannya.
1.1 Ada bermacam-macam cara untuk mengadakan pembagian (penggolongan), yaitu :
1. Pembagian (penggolongan) itu harus lengkap. Artinya, kalau kita membagi-bagikan suatu hal, maka bagian-bagian yang diperincikan harus mencakup semua bagiannya.
2. Pembagian (penggolongan) itu harus sungguh-sungguh memisahkan. Artinya, bagian yang satu tidak boleh memuat bagian yang lain.
3. Pembagian (penggolongan) itu hartus menggunakan dasar, prinsip yang sama. Artinya, dalam satu pembagian (penggolongan) yang sama tidak boleh digunakan dua atau lebih dari dua dasar prinsip sekaligus.
4. Pembagian (penggolongan) itu harus sesuai dengan tujuan yang mau dicapai.
1.2 Ada beberapa kesulitan yang dapat timbul, yaitu :
1. Apa yang benar untuk keseluruhan, juga benar untuk bagian-bagiannya. Tetapi apa yang benar untuk bagian-bagian, belum pasti juga benar untuk keseluruhannya.
2. Adanya keraguan-raguan tentang apa atau siapa yang sebenarnya masuk kedalam kelompok tertentu.
3. Karena tidak berpikir panjang, orang cenderung mengambil jalan pintas. Jalan pintas itu sering kali berbentuk : menggolongkan barang, benda, dan orang hanya atas dua golongan saja. Artinya, orang mengadakan penggolongan yang hitam putih saja.
2. Definisi
Kata “definisi” berasal dari kata “definitio” (bahasa Latin), yang berarti “pembatasan”. Definisi berarti suatu susunan kata yang tepat, jelas, dan singkat untuk menentukan batas pengertian tertentu.
2.1 Ada dua macam definisi. Yang pertama disebut definisi nominal. Definisi ini merupakan suatu cara untuk menjelaskan sesuatu dengan menguraikan arti katanya.
2.2 Definisi ini dapat dinyatakan dengan beberapa cara, yaitu :
1. Dengan menguraikan asal-usul (etimologi) kata atau istilah yang tertentu. Kata “filsafat”, akhir-akhirnya berasal dari kata Yunani. Dalam bahasa Yunani kata tersebut merupakan kata majemuk. Sebagai kata majemuk terdiri atas kata “philein” (mencintai) atau “philos” (pencinta) dan kata “Sophia” (kebijaksanaan). Atas dasar kata “filsafat” lalu berarti “mencintai” (pencinta) kebijaksanaan”.
2. Menurut asal-usul, kata “lokomotif”, misalnya, berarti sesuatu yang dapat bergerak dari tempat yang satu ketempat yang lain. Padahal dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (W. Y. S. Poerwadarminta) kata itu berarti : induk atau kepala kereta api (mesin penarik kereta api).
3. Definisi ini juga dapat dinyatakan dengan menggunakan sinonim.
2.3 Definisi yang lain itu disebut definisi real. Definisi ini selalu majemuk. Artinya, definisi itu terdiri atas dua bagian. Bagian yang pertama menyatakan unsur yang menyerupakan hal (benda), dan bagian yang kedua menyatakan unsur yang membedakan dari sesuatu yang lainnya.
2.4 Definisi real ini dapat dibedakan menjadi, yaitu :
1. Definisi hakiki (esensial). Definisi ini sungguh-sungguh menyatakan hakekat sesuatu. Hakekat sesuatu adalah suatu pengertian yang abstrak, yang hanya mengandung unsur-unsur pokok yang sungguh-sungguh perlu untuk memahami suatu golongan (species) yang lain, sehingga sifat-sifat golongan (spesies) tersebut tidak termasuk ke dalam hakekat sesuatu itu.
2. Definisi gambaran (lukisan). Definisi ini menggunakan cirri-ciri khas sesuatu yang akan didefinisikan. Ciri-ciri khas adalah ciri-ciri yang selalu dan tetap terdapat pada setiap benda tertentu.
3. Definisi yang menunjukkan maksud tujuan sesuatu. Definisi ini umumnya dipakai untuk alat-alat teknik dan dapat mendekati definisi hakiki.
4. Sering kali definisi diadakan hanya dengan menunjukkan sebab-musabab sesuatu. Misalnya, gerhana bulan terjadi karena bumi berada diantara bulan dan matahari.
2.5 Ada beberapa peraturan yang perlu ditepati untuk suatu definisi. Aturan-aturan itu ialah :
1. Definisi harus dapat dibolak-balikkan dengan hal yang didefinisikan. Artinya, luas keduanya haruslah sama.
2. Definisi tidak boleh negatif, kalau dapat dirumusklan secara positif.
3. Apa yang didefinisikan tidak boleh masuk ke dalam definisi. Kalau hal itu terjadi, kita jatuh dalam bahaya yang disebut “circulus in definiendo”. Artinya, sesudah berputar-putar beberapa lamanya, akhirnya kita dibawa kembali ke titik pangkal oleh definisi itu.
4. Definisi tidak boleh dinyatakan dalam bahasa yang kabur, kiasan atau mendua arti. Kalau hal itu terjadi, definisi itu tidak mencapai tujuannya.
Sumber :
- OFM, Alex Lanur. 1983. Logika selayang pandang. Yogyakarta: Kanisius
- http://ilmufilsafat-ditaanggraini.blogspot.com
BAB IV
KEPUTUSAN
1. Pengertian adalah bagian dari keputusan
Baru dalam keputusan kita mengambil sikap terhadap kenyataan. Sikap itu Nampak dalam kegiatan mengakui atau memisahkan keputusan yang satu dengan lainnya. Tetapi apakah keputusan itu sebenarnya? Keputusan adalah suatu perbuatan tertentu dari manusia. Dalam dan dengan perbuatan itu dia mengakui atau memungkiri kesatuan atau hubungan antara dua hal. Juga dapat dikatakan: keputusan adalah suatu kegiatan manusia yang ertentu. Dengan kegiatan itu ia mempersatukan karena mengakui dan memisahkan karena memungkiri sesuatu.
Dalam definisi ini terkandung beberapa unsur yang perlu dijelaskan sedikit.
- ‘Perbuatan manusia’. Sebenarnya seluruh diri manusialah yang bekerja dengan akal budinya. Secara formal keputusan yang diambil merupakan perbuatan akal budinya.
- ‘Mengakui atau memungkiri’. Inilah yang merupakan inti suatu keputusan. Setiap keputusan mengakui tau memungkiri suatu kesatuan antara dua hal. Dalam pemikiran manusia pertama secara logis sebenarnya terdapat ‘pengakuan’, kemudian baru pemungkirannya.
- ‘Kesatuan anara dua hal’. Hal yang satu adalah subyek, dan hal yang lain adalah predikat. Keduanya dipersatukan, dihubungkan atau dipisahkan dalam keputusan. Keadaan itu dapat diberi bagan sebagi berikut :
Subyek (S) = predikat (P)
Subyek (S) ≠ predikat (P)
1.1 Sudah dikatakan bahwa kata merupakan pernyataan lahiriah dari pengertian. Keputusan juga mempunyai penampakan lahirmya. Penampakan lahirnya adalah kalimat. Dan kalimat (biasanya kalimat sempurna atau lengkkap) adalah satuan, kumpulan kata yang terkecil, yang mengandung pikiran yang lengkap. Keputusan khusunya dilahirkan dalam kalimat berita.
1.2 Maka dapatlah dikatakan bahwa keputusan (kalimat) adalah satu-satunya ucapan yang ‘benar’ atau ‘tidak benar’. Artinya, keputusan (kalimat) selalu mengakui atau memungkiri kenyataan. Pengertian (kata) belum (tidak) bias disebut benar atau tidak benar. Sebab, sebagai pengertian (ata) belum (tidak) menyatakan sesuatu tentang kenyataan. Baru menjadi benar atau tidak benar, apabila keputusan (kata) itu dihubungkan satu sama lain. Artinya, baru dapat menjadi benar, apabila dipersatukan atau dipisahkan satu sama lain. Karena itu keputusan (kalimat) adalah benar, apabila apa yang diakui atau dimungkiri itu dalam kenyataannya juga demikian. Sebaliknya, keputusan (kalimat) tidak benar, apabila apa yang diakui atau dimungkiri itu sungguh bertentangan dengan kenyataan. Karena itu juga hanya keputusan (kalimat)lah satu-satunya ucapan yang dapat dibenarkan, dibuktikan, dibantah, disangsikan, dan sebagainya.
2. Unsur-unsur keputusan
2.1. Sebenarnya sudah dapat disimpulkan bahwa keputusan mengandung tiga unsur. Unsur-unsur itu ialah :
1. Subyek (sesuatu yang diberi keterangan);
2. Predikat (sesuatu yang menerangkan tentang subyek);
3. Kata penghubung (pernyataan yang mengakui atau memungkiri hubungan antara subyek dan predikat).
Dari ketiga unsur itu, kata penghubunglah yang terpenting. Subyek dan predikat merupakan materi keputusan. Sedangkan kata penghubung merupakan bentuk, forma-nya. Kata ini memberikan corak atau warna yang harus ada dalam suatu keutusan.
2.2 Namun perlu dicatat :
1. Keputusan (kalimat) sering tidak Nampak dalam susunan yang sederhana ini. Karena itu untuk mempermudah analisa logika, seringkali perlulah keputusan-keputusan (kalimat-kalimat) tersebut dijabarkan menjadi keputusan-keputusan dengan bentuk pokok subyek (S) = predikat (P) atau subyek (S) ≠ predikat (P). menjabarkan berarti: merumuskan suatu kalimat sedemikian rupa sehingga term subyek, predikat dan kata penghubung menjadi kentara dengan jelas. Perumusan ini memudahkan orang untuk menangkap inti suatu kalimat. Misalnya: ;Dia adalah orang yang mencuri buah-buahan itu’; ‘tidak semua yang makan banyak akan menjadi gemuk’ menjadi ‘beberapa orang yang makan banyak adalah orang yang akan menjadi gemuk’; sedikit saja orang yang memperoleh hadiah’ menjadi ‘jumlah orang yang memperoleh hadiah adalah sedkit’.
2. Term subyek sering juga disebut sebagi subyek logis. Subyek logis itu tidak selalu sama dengan subyek kalimat menurut tatabahasa.
3. Untuk menemukan term predikat (predikat logis), perlulah diperhatikan apakah yang sesungguhnya hendak diberitahukan dalam suatu kalimat. Dengan kata lain, apakah pokok berita yang mau disampaikan dalam kalimat itu, Misalnya :
Dialah yang mencuri buah-buahan itu
Yang mencuri buah-buahan itu (S) adalah dia (P)
Kenikmatanlah yang dikejar orang
Yang dikejar orang (S) ialah kenikmatan (P)
4. Dan akhirnya, suatu keputusan disebut negative, apabila kata penghubungnya negative dan tidak lain daripada itu. Misalnya; Orang yang tidak dating akan dihukum. Kata ‘tidak’ dalam ungkapan ‘tidak datang’; tidak mempengaruhi kata penghubung. Kalimat ini adalah positif atau afirmasi dan bukan negatif.
3. Macam-macam keputusan
3.1 Berdasarkan sifat pengakuan dan pemungkiran dapat dibedakan menjadi:
1. Keputusan kategoris. Dalam keputusan ini predikat (P) menerangkan subyek (S) tanpa syarat. Keputusan ini masih dapat diperinci lagi menjadi
- Keputusan kategoris tunggal (yang memuat hanya satu subyek (S) dan satu predikat (P) saja.
- Keputusan kategoris majemuk (yang memuat lebih dari satu subyek (S) atau predikat (P). Keputusan ini Nampak dalam susunan kata seperti: dan ….. dan; dimana ….., di sana dan sebagainya.
- Juga termasuk ke dalam keputusan kategorisialah susunan kata yang menyatakan modalitas, seperti: tentu niscaya, mungkin, tidak tentu, tidak niscaya, tidak mungkin, pasti, mustahil dan sebagainya.
2. Keputusan hipotesis. Dalam keputusan ini predikat (P) menerangkan subyek (S) dengan suatu syarat, tidak secara mutlak. Keputusan ini masih dapat dibedakan menjadi;
- Keputusan (hipotesis) kondisional. Biasanya ditandai dengan: Jika….. maka …..
- Keputusan (hipotesis) disyungtif, yang biasanya ditandai dengan: Atau ….. atau ….. Keputusan ini masih dapat dibedakan lagi menjadi :
- Keputusan (hipotesis) disyungtif dalam arti yang sempit (tidak ada kemungkinan yang lain lagi).
- Keputusan (hipotesis) disyungtif dalam arti yang luas (masih ada kemungkinan yang lain lagi);
- Dan keputusan (hipotesis) konyungtif, yang biasanya ditandai dengan: Tidak sekaligus ….. dan …..
3.2 Untuk semntara pembicaraan dibatasi khususnya pada keputusan kategoris (tunggal) saja dulu. Keputusan itu pada gilirannya dapat dibagikam sebagai berikut :
1. Berdasarkan materinya dapat dibedakan menjadi :
- Keputusan analitis dan keputusan sintetis.
Yang dimaksudkan dengan keputusan analitis ialah putusan dimana predikat (P) menyebutkan sifat hakiki, yang pasti terdapat dalam subyek (S). hal itu terjadi dengan menganalisa, menguraikan subyek (S). misalnya: Tukiman itu berbudi.
Dan yang dimaksud dengan keputusan sintesis ialah putusan dimana predikat (P) menyebutkan sifat yang tidak hakiki, tidak niscaya yang terdapat pada subyek (S), tetapi dapat dikaitkan dengan subyek (S) itu. Hal ini terjadi berdasarkan pengalaman, atau juga karena sintese. Misalnya: Tukiman itu pedagang sayur.
2. Berdasarkan bentuknya dapat dibedakan menjadi keputusan positif (afirmatif) dan negative. Pembedaan ini didasarkan atas kualitas kata penghubung. Yang dimaksudkan dengan keputusan positif (afirmatif) ialah keputusan dimana predikat (P) dipersatukan dengan subyek (S) oleh kata penghubung. Subyek menjadi satu atau sama dengan predikay. Seluruh isi predikat diterapkan pada subyek. Seluruh luas subyek dimasukkan ke dalam luas predikat. Misalnya: Kera adalah binatan. Dan yang dimaksudkan dengan keputusan negative ialah keputusan dimana subyek dan predikat dinyatakan sebagai tidak sama. Mungkin dalam banyak hal subyek dan predikat sama. Tetapi dalam satu hal keduanya tidak sama, berlainan. Misalnya: Kera bukan tikus.
3. Akhirnya, berdasarkan luasnya (artinya: menurut luas subyek), dapat dibedakan menjadi keputusan universal, particular dan singular. Keputusan universal adalah keputusan dimana predikat menenrangkan (mengakui atau memungkiri) seluruh luas subyek, Misalnya: Semua orang dapat mati. Keputusan particular adalah keputusan dimana predikat menerangkan (mengakui atau memungkiri) sebagian daro seluruh luas subyek. Misalnya: Beberapa orang dapat mati. Akhirnya keputusan singular adalah keputusan dimana predikat menenrangkan (mengakui atau memungkiri) satu barang (subyek) yang ditunjukkan dengan tegas. Misalnya: Tukiman dapat mati.
Namun perlu dicatat bahwa keputusan ‘universal’ tidak sama saja dengan keputusan ‘umum’. Dimana letak perbedaannya? Dalam keputusan ‘umum’ dikatakan sesuatu yang pada umumnya benar, tetapi selalu mungkin ada kecualiannya. Misalnya: ‘Orang Bataka pandai menyanyi’. Keputusan ‘umum’ ini tidak salah, kalau ada beberapa orang Batak yang tidak pandai menyanyi. Keputusan ‘umum’ termasuk keputusan ‘partikular’. Padahal dalam keputusan ‘universal’ dikatakan sesuatu tentang seluruh luasnya, tanpa ada yang dikecualikan.
4. Keputusan A. E, I, O
Dilihat dari sudut bentuk dan luasnya, keputusan masih dapat dibedakan menjadi :
1. Keputusan A : keputusan afirmatif (positif) dan universal (singular). Misalnya: Semua mahasiswa IKIP lulus; besi itu logam.
2. Keputusan E : keputusan negative dan universal (singular). Misalnya: Kera bukan tikus; semua yang rohani tidak dapat binasa.
3. Keputusan I : keputusan afirmatif (positif) dan partikula. Misalnya: beberapa rumah retak karena gempa bumi; tidak semua yang harum adalah bunga mawar.
4. Keputusan O : keputusan negative dan particular. Misalnya: beberapa orang tidak suka tertawa; banyak orang tidak suka makan ketimun.
5. Lukas Predikat
5.1 Keputusan disebut universal, articular, dan singular, apabila luas subyeknya universal, particular dan singular. Disamping luas subyek, perlulah juga diperhatikan luas predikat. Ada ketentuan yang menyangkut luas predikat ini.
1. Dalam keputusan afirmatif, seluruh isi predikay diterapkan pada isi subyek atau dipersatukan dengan isi subyek itu. Seluruh luas subyek dimasukkan dalam luas predikat. Misalnya: Kera adalah binatang.
2. Dalam keputusan negative, isi predikay (dalam arti; tidak semua unsurnya) tidak diterapkan pada subyek atau dipersatukan dengan subyek itu. Seluruh luas subyek tidak dimasukkan dalam luas predikat. Misalnya: Anjing bukan ayam.
5.2 Dan dalam hubungan ini dpatlah disajikan hokum untuk luas predikat itu.
1. Predikat adalah singular, jika dengan tegas menunjukkan satu individu, barang atau golongan yang tertentu. Misalnya: Dialah yang pertama-tama melihat ular itu.
2. Dalam keputusan afirmatif, predikat particular (kecuali kalu ternyata singular). Hal ini juga berlaku untuk keputusan afirmatif-partikular. Misalnya: Semua kera adalah binatang. Kera itu adalah binatang.
3. Dalam keputusan negatif, predikat universal (kecuali kalau ternyata singular). Subyek dipisahkan dari predikat dan sebaliknya. Hal yang sama juga berlaku untuk keputusan negative-partikular. Misalnya: Semua manusia bukanlah kera. Beberapa manusia bukanlah kera.
Sumber :
- OFM, Alex Lanur. 1983. Logika selayang pandang. Yogyakarta: Kanisius
- http://filsafatilmudanlogika.blogspot.com/
BAB V
PEMBALIKAN DAN PERLAWANAN
1. Pembalikan
Membalikkan adalah mengganti subyek dan predikat, sehingga dulunya subyek, sekarang menjadi predikat, dan yang dulunya subyek, tanpa mengurangi keputusan itu. Hal ini di mungkinkan oleh kesamaan antara subyek dan predikat tetapi sering kali tidak sama . karena itu perlulah orang mengetahui hukum-hukum pembalikan itu
1.1 Macam-macam pembalikan yang di sebut pembalikan seluruhnya. Yang lain di sebut pembalikan sebagainya .
1. Pembalikan seluruhnya. Adalah pembalikan dimana luasnya tetap sama. Pembalikan ini terjadi pada keputusan E yang menjadi keputusan E dan keputusan I yang menjadi keputusan I
2. Pembalikan sebagian, ialah pembalikan dari keputusan universal menjadi keputusan particular. Pembalikan ini terjadi pada keputusan A yang menjadi keputusan I dan keputusan E yang menjadi keputusan O
1.2 Hukum-hukum pembalikan, yaitu :
1.Keputusan A hanya boleh dibalik menjadi I. Sebab , dalam keputusan alternatif predikat partikular sedangkan subyek universal. Luas predikat lebih besar dari pada luas subyek
Misal: ‘semua kera adalah binatang’ hanya bisa dibalik menjadi ‘beberapa binatang adalah kera’.
2. Keputusan E selalu boleh dibalik.
Misal : ‘semua ayam bukan tikus’ bisa dibalik menjadi ‘semua tikus bukan ayam’ atau ‘beberapa tikus bukan ayam’.
3. Keputusan I hanya dapat dibalik menjadi keputusan I lagi.
Misal : ‘Beberapa orang itu sakit’ dapat dibalik menjadi ‘beberapa yang sakit itu orang’
4. Keputusan O tidak dapat dibalik.
Misal : ‘ada manusia yang bukan dokter’ tidak dapat dibalik menjadi ‘ada dokter yang bukan manusia’.
2. Perlawanan
Keputusan yang berlawanan adalah keputusan yang tidak dapat sama-sama benar atau tidak dapat sama-sama salah. Perlawanan itu ada hanya kalau keputusan itu mengenai hal yang sama , tetapi berlawanan isinya. Artinya kedua keputusan itu mempunyai subyek dan predikat yang sama tetapi bentuk dan luasnya berbeda, atau baik bentuk maupun luasnya yang berbeda.
2.1 Kalau dibandingkan satu sama lain, nampaklah bahwa keputusan-keputusan berlawanan
1. Menurut bentuknya. Disebut perlawan ‘kontraris dan’subkontraris’ (A – E; I – O)
2. Menurut luasnya. Disebut perlawanan ‘altern’ (A – I; E – O)
3. Baik menurut bentuk maupun luasnya. Disebut perlawanan ‘kontradiktoris’ (A – O; E – I)
2.2 Contoh perlawanan, yaitu :
1. Perlawanan kontradiktoris ( A – O; E – I)
• jika yang satu benar, yang lain tentu salah;
• Jika yang satu salah, yang lain tentu benar;
• Tidak ada kemungkinan yang ketiga.
Keputusan –keputusan ini tidak dapat sekaligus benar tetapi juga tidak dapat sama-sama sah. Dari keempat perlawanan perlawanan inilah yang paling kuat pernyataan universal dapat di jatuhkan dengan membuktikan kontradiktrisnya saja.
2. Perlawan kontraris (A – E)
Jika yang satu benar, yang lain tentu salah;
Jika yang satu salah, yang lain dapat benar, tetapi juga dapat salah;
Ada kemungkinan yang ketiga, yakni keduanya sama salah.
3. Perlawanan sub kontraris (I – O)
• Jika yang satu salah, yang lain tentu benar;
• Jika yang satu benar, yang lain dapat salah tetapi juga dapat benar;
• Ada kemungkinan yang ketiga, yakni tidak dapat keduanya sama-sama salah. Keduanya dapayt sama-sama benar.
4. Perlawanan subaltern (A – I; E – O)
• jika yang universal benar, yang particular juga benar;
• Jika yang universal salah, yang particular dapat benar, tapi juga dapat salah;
• Jika yang particular benar, yang universal dapat salah, dapat benar;
• Jika yang particular salah, yang universal juga salah;
Singkatnya: kedua-duanya dapat benar, tapi juga dapat salah; mungkin pula yang satu benar, yang lain salah.
Seluruh hukum ini dapat disingkat sebagai berikut :
Jika A benar, maka E salah, I benar dan O salah.
Jika E benar, maka A salah, I salah dan O benar.
Jika I benar, maka E salah, sedangkan baik A maupun O tak pasti.
Jika O benar, maka A slah, sedangkan baik E maupun I tak pasti.
Jika A salah, maka O benar, sedangkan baik E maupun I tak pasti.
Jika E salah, maka I benar, sedangkan baik A maupun O tak pasti.
Jika I salah, maka A salah, E benar, O benar.
Jika O salah, maka A benar, E salah, I benar.
Sumber :
- OFM, Alex Lanur. 1983. Logika selayang pandang. Yogyakarta: Kanisius
- http://emaparamita.blogspot.com/