Jumat, 29 Agustus 2014

BAB VII
SILLOGISME KATEGORIS
1. Sillogisme adalah setiap penyimpulan, dimana dari dua keputusan (premis-premis) disimpulkan suatu keputusan yang baru (kesimpulan). Keputusan yang baru itu berhubungan erat sekali dengan premis-premisnya. Keeratannya terletak dalam halini : Jika premis-premisnya benar, dengan sendirinya atau tidak dapat tidak kesimpulannya juga benar.
2. Ada dua macam sillogisme itu. Yang satu disebut sillogisme kategoris dan yang lainnya disebut sillogisme hipotesis.Sillogisme kategoris adalah sillogisme yang premis-premis dan kesimpulannya berupa keputusan kategoris. Sillogisme ini dapat dibedakan menjadi
- Sillogisme kategoris tunggal, karena terdiri atas dua premis;            - Sillogisme kategoris tersusun, karena terdiri atas lebih dari dua premis;          Sillogisme hipotesis adalah sillogisme yang terdiri atas satu premis atau lebih yang berupa keputusan hipotesis. Dan sillogisme ini juga dapat dibedakan menjadi            - Sillogisme (hipotesis) kondisional, yang ditandai denganungkapan : jika ..., (maka) ...;                  - Sillogisme (hipotesis) disyungtif, yang ditandai dengan ungkapan : atau ..., atau ...;             - Sillogisme (hipotesis) konyungtif, yang ditandai dengan ungkapan : tidak sekaligus ... dan ...
3. Baiklah sillogisme kategoris tunggal dibicarakan secara khusus dahulu.          Sillogisme kategoris tunggal merupakan bentuk sillogisme yang terpenting. Sillogisme ini terdiri atas tiga term, yakni subyek (S), predikat (P) dan term-antara (M).           Biasanya sillogisme ini dibagankan sebagai berikut :
Setiap manusia dapat mati M – PBudi adalah manusia S – MJadi, Budi dapat mati S – P
Term major adalah predikat dari kesimpulan. Term itu harus terdapat dalam kesimpulan dan salah satu premis, biasanya dalam premis yang pertama. Premis yang mengandung predijat itu disebut major. Kemudian term minor adalah subyek dari kesimpulan. Term itu biasanya terdapat dalam premis yang lain, biasanya dalam premis yang kedua. Premis yang mengandung subyek itu disebut minor. Dan akhirnya term-antara ialah term yang terdapat dalam kedua premis, tetapi tidak terdapat dalam kesimpulan. Dengan term-antara ini subyek dan predikat dibandingkan satu sama lain. Dengan demikian subyek dan predikat dipersatukan atau dipisahkan satu sama lain dalam kesimpulan. Namun dalam percakapan sehari-hari, dalam buku-buku atau tulisan-tulisan, bagan seperti ini tidak selalu nampak dengan jelas. Sering kali ada keputusan yang tersembunyi.Kesulitan yang sama juga terdapat dalam keputusan. Ketikaberbicara tentang keputusan, sudah dianjurkan supaya keputusan itu dijabarkan dalam bentuk logis. Dan sekarang juga dianjurkan supaya pemikiran-pemikiran dijabarkan dalam bentuk sillogisme kategoris. Artinya, dianjurkan supaya dirumuskan sedemikian rupa sehingga titik pangkalnya serta jalan pikiran yang terkandung di dalamnya dapat diperlihatkan dengan jelas. Untuk itu perlulah :
1.
Menentukan dahulu kesimpulan mana yang ditarik;
2.
Mencari apakah alasan yang disajikan (M);
3.
Lalu menyusun sillogisme berdasarkan subyek dan predikat (kesimpulan) serta term-
antara (M).
4. Ada hukum-hukum yang perlu ditepati dalam sillogisme kategoris. Hukum-hukum itu dibedakan dalam dua kelompok.Kelompok yang satu menyangkut term-term dan yang lainnya menyangkut keputusan-keputusan.
4.1 Yang menyangkut term-term
1.
Sillogisme tidak boleh mengandung lebih atau kurang dari tiga term.  Kurang dari tiga term berarti tidak ada sillogisme. Lebih dari tiga term berarti tidak adanya perbandingan. Kalaupun ada tiga term, ketiga term haruslah digunakan dalam arti yang sama tepatnya. Kalau tidak, hal itu sama saja dengan menggunakan lebih dari tiga term.          
Misalnya : Anjing itu menggonggong.Binatang itu anjing.Jadi bintang itu menggonggong.
2.
Term-antara (M) tidak boleh masuk (terdapat dalam) kesimpulan. Hal ini sebenarnya sudah jelas dari bagan sillogisme. Selain itu masih dapat dijelaskan begini. Term-antara (M) dimaksudkan untuk mengadakan perbandingan dengan term-term. Perbandingan itu terjadi dalam premis-premis. Karena itu term-antara (M) hanya berguna dalam premis-premis saja.
3.
Term subyek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh lebih luas daripada dalam premis-premis.              Artinya, term subyek dan predikat dalam kesimpulan tidak boleh universal, kalau dalam premis-premis particular. Ada bahaya ‘latius hos’. Istilah ini sebenarnya merupakan ‘singkatan’ dari hukum sillogisme yang berbunyi: ‘Latius hos quam praemissae conclusion non vult’. Isi ungkapan yang panjang ini sama saja dengan ‘generalisasi’. Baik ‘latius hos’ maupun ‘generalisasi’ menyatakan ketidakberesan atau kesalahan dalam penyimpulan, yakni menarik kesimpulan yang terlalu luas. Menarik kesimpulan yang universal padahal yang benar hanyalah kesimpulan dalam bentuk keputusan yang particular saja.           Misalnya : Anjing adalah makhluk hidup.Manusia bukan anjing.Jadi manusia bukan makhluk hidup.
4.
Term-antara (M) harus sekurang-kurangnya satu kali universal. Jika term-antara particular baik dalam premis major maupun minoe, mungkin sekali term-antara itu menunjukkan bagian-bagian yang berlainan dari seluruh luasnya. Kalau begitu term-antara tidak lagi berfungsi sebagai term-antara dan tidak lagi menghubungkan (memisahkan) subyek dan predikat. Misalnya: Banyak orang kaya kikir.     Budi adalah seorang kaya.     Jadi Budi kikir.
4.2 Yang menyangkut keputusan-keputusan
1.
Jika kedua premis (yakni major dan minor) afirmatif atau positif, maka kesimpulannya harus afirmatif atau positif pula.
2.
Kedua premis tidak boleh negative.   Sebab, term-antara (M) tidak lagi berfungsi sebagai penghubung atau pemisah subyek dan predikat. Dalam sillogisme sekuran-kurangnya satu, yakni subyek atau predikat, harus dipersamakan dengan term-antara (M).          Misalnya: Batu bukan binatang.Anjing bukan batu.Jadi anjing bukan binatang.
3.
Kedua premis tidak boleh particular.
Sekurang-kurangnya satu premis harus universal. Kalau tidak, hukum yang disebut dalam 4.1.3 dan 4.1.4 dilanggar.           Misalnya: Ada orang kaya yang tidak tenteram hatinya.
Banyak orang jujur tenteram hatinya.
Jadi orang-orang kaya tidak jujur.
4.
Kesimpulan harus sesuai dengan premis yang paling lemah.
Keputusan particular adalah keputusan yang ‘lemah’ dibandingkan dengan keputusan yang universal. Keputusan negative adalah keputusan yang ‘lemah’ dibandingkan dengan keputusan yang afirmatif atau positif.
Karena itu,
-
Jika salah satu premis particular, kesimpulan juga harus particular
-
Jika salah satu premis negative, kesimpulan juga harus negative;
-
Jika salah satu premis negative dan particular, kesimpulan juga harus negative dan particular. Kalau tidak, ada bahaya ‘latius hos’ lagi.
Misalnya: Beberapa anak puteri tidak jujur.     Semua anak puteri itu manusia (orang).     Jadi beberapa manusia (orang) tidak jujur.
5. Susunan silogisme yang lurus
Silogisme yang baru dijelaskan tadi merupakan bentuk logis dari penyimpulan. Penyimpulan ini tersusun dari tiga term. Ketiga term itu adalah subyek, predikat dan term antara (M). Yang terakhir ini merupakan kunci silogisme. Sebab, term-antara (M) itulah yang menyatakan mengapa subyek dipersatukan dengan predikat atau dipisahkan dari padanya dalam kesimpulan.Kemudian, penyimpulan juga tersusun dari tiga keputusan.Ketiga keputusan itu adalah premis major, premis minor dan kesimpulan. Dan akhirnya, ketiga keputusan ini dapat dibedakan menurut bentuk dan luasnya. Pembedaan ini menghasilkan keputusan A, keputusan E, keputusan I dan keputusan O.
5.1 Unsur-unsur yang terdapat di atas dapat dikombinasikan satusama lain. Kalau dikombinasikan, terdapatlah susunan-susunan yang berikut:
Menurut tempat term-antara (M)
1. M – P 2. P – M 3. M – P 4. P – M
  S – M     S – M     M – S      M – S 
  S – P                S – P               S – P                 S – P 
-Setiap keputusan tadi masih dapat berupa keputusan A, E, I dan O, menurut bentuk dan luasnya. Dan kalau semuanya dikombinasikan, secara teoritis diperoleh 64 (bahkan 256) kemungkinan. Tetapi nyatanya tidak setiap kombinasi menghasilkan susunan silogisme yang lurus. Dengan memperhatikan hukum-hukum silogisme, hanya terdapat 19 kombinasi yang lurus. Kombinasi-kombinasi ini pun masih harus menepati beberapa syarat lagi.
5.2 Susunan yang pertama: M – P         S – M        S – P
Susunan ini merupakan susunan yang paling sempurna dan tepat sekali untuk suatu eksposisi yang positif.
Syarat-syaratnya ialah: premis minor harus afirmatif dan premis major universal.
Karena itu kombinasi-kombinasi yang mungkin ialah AAA, EAE, AII dan EIO (AAI dan EAO tidak lazim di sini).
Misalnya: AAA : Semua manusia dapat mati.   Semua orang Indonesia adalah manusia.
  Jadi, semua orang Indonesia dapat mati.
  (AAI) : Semua manusia dapat mati.Semua orang Indonesia adalah manusia.          Jadi, beberapa orang Indonesia dapat mati.
EAE : Semua manusia bukanlah abadi.         Semua orang Indonesia adalah manusia.         Jadi, semua orang Indonesia bukanlah abadi.
(EAO): Semua manusia bukanlah abadi.            Semua orang Indonesia adalah manusia.Jadi, beberapa orang Indonesia bukanlah abadi.
AII : Semua anjing menyalak.Bruno adalah anjing.Jadi, Bruno menyalak.
EIO : Tidak semua manusia pun adlah seekor harimau.         Beberapa hewan adalah manusia.        Jadi, beberapa hewan bukanlah harimau.
5.3 Susunan yang kedua : P – M    S – M    S – P
Susunan ini tepat sekali untuk menyusun suatu sanggahan. Susunan ini juga dapat dijabarkan menjadi susunan yang pertama.
Syarat-syaratnya ialah sebuah premis harus negative, premis major harus universal.
Karena itu kombinasi-kombinasi yang mungkin ialah :EAE, AEE, EIO dan AOO (EAO dan AEO tidak lazim di sini).
5.4 Susunan yang ketiga : M – P    M – S      S – P
Susunan ini tidaklah sesederhana susunan yang pertama dan yang kedua. Karena itu janganlah susunan ini dipakai terlalu sering. Susunan ini juga bias dijabarkan menjadi susunan yang pertama.
Syarat-syaratnya ialah : premis minor harus afirmatif dan kesimpulan particular.
Karena itu kombinasi-kombinasi yang mungkin ialah :AAI, IAI, AII, EAO, OAO dan EIO.
5.5 Susunan yang keempat : P – M           M – S           S – P
Susunan ini tidak lumrah dan hampir tidak pernah dipakai. Karena itu susunan ini sebaiknya disingkirkan saja. Susunan ini dengan mudah dapat dijabarkan menjadi susunan yang pertama.
Syarat-syaratnya ialah :
Apabila premis major afirmatif, premis minor harus universal;
Apabila premis minor afirmatif, kesimpulan harus particular;
Apabila salah satu premis negative, premis major harus universal. Karena itu kombinasi – kombinasi yang mungkin ialah : AAI, AEE, IAI, EAO dan EIO (AEO tidak lazim di sini).
6. Sillogisme tersusun
Ada beberapa sillogisme yang disebut sillogisme tersusun.Sillogisme-sillogisme itu ialah :
6.1. Epicherema
Epicherema adalah sillogisme yang salah satu premisnya atau juga kedua-duanya disambung dengan pembuktiannya.Sillogisme ini juga disebut sillogisme dengan suatu premis kausal.
Misalnya : Setiap pahlawan itu agung, karena pahlawan adalah orang yang berani mengerjakan      hal-hal yang mengatasi tuntutan kewajibannya.  Jendral Sudirman adalah seorang pahlawan. Jadi, Jendral Sudirman adalah agung.
6.2. Enthymema
Enthymema adalah sillogisme yang salah satu premisnya atau kesimpulannya dilampaui. Juga disebut sillogisme yang dipersingkat.
Misalnya : Jiwa manusia adalah rohani.     Jadi, tidak akanmati.
Kalau dijabarkan menjadi sillogisme yang lengkap, sillogisme itu tersusun begini :Yang rohani itu tidak dapat (akan) mati.Jiwa manusia adalah rohani.Jadi, jiwa manusia tidak dapat (akan) mati.  
6.3. Polysillogisme
Polysillogisme adalah suatu deretan sillogisme. Sillogisme itu dideretkan sedemikian rupa, sehingga kesimpulan sillogisme yang satu menjadi premis untuk sillogisme yang lainnya.  Misalnya : Seorang, yang menginginkan lebih dari pada yang dimilikinya, merasa tidak puas.    Seorang yang rakus, adalag seorang yang menginginkan lebih dari pada yang dimilikinya.      Jadi, seorang yang rakus merasa tidak puas.            Seorang yang kikir adalah seorang yang rakus.      Jadi, seorang yang kikir merasa tidak puas.      Budi adalah seorang yang kikir.      Jadi, Budi merasa tidak puas.
6.4. Sorites
Sorites adalah suatu macam polysillogisme, suatu deretan sillogisme-sillogisme itu terdiri atas lebih dari tiga keputusan.Keputusan-keputusan itu dihubungkan satu sama lain sedemikian rupa, sehingga predikat dari keputusan yang satu selalu menjadi subyek dari keputusan yang pertama dihubungkan dengan predikat keputusan yang terakhir.
Misalnya : Orang yang tidak mengendalikan keinganannya, menginginkan seribu satu macam barang.    Orang yang menginginkan seribu satu macam barang, banyak sekali kebutuhannya.    Orang yang banyak sekali kebutuhannya, tidak tenteram hatinya.      Jadi, orang yang tidak mengendalikan keinginannya, tidak tenteram hatinya.

Minggu, 17 Agustus 2014

Hana Rufaida Heliza Putri
1501202944


BERFIKIR KRITIS:
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPERAN
dibawakan dalam
Temu Ilmiah ke-3 Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia (APPI)
Jakarta, 8 Februari 2014
Oleh:
Prof. S. Hartati R-Suradijono, M.A. Ph.D1.

Pendahuluan 
Berfikir merupakan bentuk kegiatan dari fungsi mental yang ada pada manusia. Menurut Vygotsky (1978) manusia mempunyai dua tingkatan fungsi mental yaitu yang fungsi mental dasar (elementary mental functions) dan fungsi mental luhur (higher mental functions). Fungsi mental dasar di kontrol oleh stimulus dari luar seperti ketika persepsi dan perhatian terpicu oleh objek yang secara fisik berada diluar. Fungsi mental luhur tampil dalam bentuk kemampuan manusia untuk melakukan berfikir logis dan abstrak yang tidak tergantung dari dipicu atau tidaknya oleh stimulus dari luar. Di tingkat fungsi mental dasar inilah manusia memiliki kemampuan mental yang sama dengan hewan. Sedangkan manusia berbeda dengan hewan bila ia melakukan berfikir logis dan abstrak.
Vygotsky (1978) lebih lanjut mengemukakan manusia dapat mengembangkan fungsi mental luhurnya (berfikir logis dan abstrak) melalui interaksi dengan lingkungannya. Beberapa hasil budaya (artifacts) yang sangat berperan dalam meningkatkan kemampuan fungsi luhur ini antara lain adalah sistem bahasa, sistem berhitung, tulisan, simbol/tanda yang telah disepakati, diagram, peta, serta hasil budaya lain. (psychological tools).
“… any higher intellectual functions appears twice, or on two planes… It appears first between people as an intermental category, and then within the child as an intramental category. This is equally true with regards to voluntary attention, logical memory, the formation of concepts, and the development of will” (Vygotsky dalam Miller, 1993, hal, 385). 
Dengan demikian, segala bentuk interaksi manusia dengan lingkungannya menjadi sangat penting serta menentukan dalam manusia menjalankan dan mengembangkan fungsi mental luhurnya. Pertanyaannya sekarang adalah: “Apakah manusia sudah maksimal mengggunakan psychological tools – sistem bahasa, sistem berhitung, tulisan, dsb. – agar dapat berperilaku sesuai dengan kodratnya sebagai manusia yang lebih tinggi dari makhluk hidup yang lain di ciptakan oleh Allah s.w.t.?”
Bila, menurut Vygotsky, kualitas interaksi individu dengan lingkungannyaberperan sangat besar dalam pengembangan berfikir manusia, maka menurut John Dewey (1933, dalam Ritchhart 2002) ada faktor lain dalam diri individu yang berperan, yaitu “desire.”
“… knowledge of methods alone will not suffice; there must be the desire, the will to employ them. This desire is an affair of personal disposition.”
Di tahun 1992, oleh Tishman, Jay dn Perkins (1992) “desire” tersebut dikembangkan menjadi “… abiding tendencies to explore, to inquire, to seek clarity, to take intellectual risks, to think critically and imaginatively.” Tendensi ini disebut sebagai suatu disposisi dalam berfikir (thingking disposition) sebab dia berperan memberi arah terhadap terbentuknya perilaku intelektual manusia (Perkins, Jay, & Tishman, 1993).
            Seperti halnya Tisman dkk., Ritchhart (2002) juga melihat perilaku intellectual itu sebagai hasil dari karakter intelektual yang dibentuk oleh disposisi berfikir yang dimiliki individu.
            “… thinking dispositions represents characteristics that animate, motivate, and direct our abilities toward good and productive thinking and recognize in the pattern of our frequently exhibited, voluntary behavior.” (hal.21). 
Disposisi berfikir 
Apa sebenarnya  yang di maksud dengan disposisi berfikir  atau thingking disposition ? menurut tishman , jay dan perkins (1992) disposisi berfikir  (thingking disposisitions) memiliki 3 elemen Kemapuan (abilities) , Sensitifitas / kepekaan (sentivess) dan  kecendrungan  ( incilinations) . kemampuan (abilites)  disini berhubungan dengan semua kemampuan  dan keterampilan yang di butuhkan untuk terjadinya prilaku tersebut sensitifitas / kepekaan (sentiveness) di artikan sebagai alerteness to appropriate occasions for exhibiting the behaviour  contohnya adalah kepekaan seseorang terhadap semua kesempatan dalam situasi tertentu untuk melakukan berfikir yang terencana di sertai strategi yang baik . kecendrungan (inclinations) di artikan sebagai..... the tedency to actually behave in certain way. Tishman dkk (1992) mengemukakan  tujuh macam kecendrungan (tendencies) “.... to be broad and adventurous to ward sustained intekkectual curiosity to clarify and seek understanding to plan metacognitive, dengan perkataan lain menurut tishman dkk. (1992) bila seseorang hanya memiliki dua dari tiga elemen di atas misalnya ada kemampuan (abilities) dan peka (sensitive) akan tetapi tidak memiliki tendensi inclination) untuk mengaktualisasikan dalam  bentuk prilaku berfikir (EGP) makan akan tidak berguna 
Peran movitasi internal dalam memunculkan proses berfikir yang tajam sangat besar adanya unsur motivasi dalam proses berfikir disini berati individu harus mempunyai thingking as goal bukan sebagai by product. Dengan berfikir sebagai tujuan maka individu akan memulai berfikir itu dengan tingkat kesunguhan  ( intentionality) yang tinggi di mana akan berakibat pada adanya usaha mentak (mental effort) yang besar dari individu dalam memproses informasi ( bereiter dan scardamalia, 1989) usaha mental yang di keluarkan individu dalam mengolah informasi tersebut berkaitan erat dengan jenis strategi berfikir yang di gunakan ( suradijono, 1988 ; chan , 1987). Dalam beberapa studi yang di lakukan penulis terhadap anak-anak sekolah dasar ( SD) sampai dengan sekolah menengah umum ( SMU)  (suradijono 1988; 1999 ; 2001 ) di temukaan bahwa anak-anak yang menggunakan strategi berfikir yang tinggi dalam membaca berkorelasi secara nyata ( signifikan) dengan usaha mental yang mereka tampilkan . lebih lanjut kesungguhan ( intentionally) yang di tampilkan  individu akan menjadi  wadah untuk berbentuk kondisi mental (mental stage) yang sangat  mendukung pelaksanaan tiga elemen dari disposisi berfikir diatas yaitu ability sentiveness dan inclination . flavell dan wellman (1977) menyebutkan sikap kesunguhan  dalam berkir ini sebagai suatu kemampuan untuk active monitoring , consequent regulation and orchestration of cognitive processes atau di kenal pula dengan sebutan metagognition . 
Sebelum  masuk pembahasan prihal berfikir kritis perlu di ketahui terlebih dahulu bahwa ada 6 elemen berfikir yang menurut paul dan elder (2002) harus terjadi dalam proses berfikir  yaitu purpose, question at issue information , enterpretation dan inference concepts , assumptions, implication  dan consequences and point of view . dalam menjalankan ke enam elemen tersebut agar terjadi berfikir  yang tajam , individu harus  setiap saat melakukan pemantauan terhadap tujuh aspek yaitu : kejelasan (clarity ) keakuratan ( acciracy) ketepatan ( precision) , relavansi (a) kedalaman (breadth) logis (logic) , signifikansi ( significance) dan ke adilan (fairness) ( paul & elder , 2002)


Berfikir Kritis                                   Banyak definisi untuk berfikir kritis diberikan oleh para pakar, akan tetapi dalam paparan ini saya akan menggunakan 2 definisi yaitu dari R.H. Ennis (1987) dan D.F. Halpern (2004).
Menurut Ennis, R.H. (1987) berfikir kritis adalah : “. . . mode of thinking-about any subject, content or problem in which the thinker improves the quality of his or her thinking by skillfully analyzing, assessing, and reconstructing it.” Disisi lain Diane Halpen mengatakan : “Critical thinking is the use of those cognitive skills or strategies that increase the probability of a desirable outcome. It is used to describe thinking that is purposeful, reasoned, and goal directed.” Kedua definisi tersebut jelas mendukung pemahaman tentang disposisi berfikir seperti yang telah dijelaskan diatas. Thinking critically, atau berfikir secara kritis adalah sesuatu yang harus muncul sebagai suatu “desire” sehingga sifatnya internally driven.
Dalam Harvard Project Zero-nya, Ritchhart (2002) kemudian, menarik “benang merah” dan mengajukan enam disposisi berfikir yang dilihat dari tiga dimensi  : berfikir kreatif, berfikir reflektif, dan berfikir kritis.
Berfikir Kreatif: (Creative thinking):
a. 
Open-minded : terbuka terhadap ide baru, menghasilkan dan menjelaskan berbagai alternatif (kemungkinan) yang ada, serta senantiasa melihat jauh melebihi apa yang terberi dapat diharapkan. Seseorang dengan sikap yang open-minded ini umumnya senantiasa mampu melihat suatu fenomena dari berbagai perspektif (sudut pandang), baik itu dalam sikapnya maupun perilaku berfikirnya.
b. 
Curious : rasa ingin tahu yang mendorong individu untuk melakukan eksplorasi terhadap dunia sekelilingnya, bertanya, dan berfikir mengenai kemungkinan-kemungkinan yang ada. Oleh sebab itu rasa ingin tahu sering disebut sebagai "the engine for thinking." Ia berperan bukan sebagai hasil akhir (tujuan) dari kegiatan berfikir melainkan sebagai permulaan dari suatu proses dalam menemukan (discovery) sesuatu atau pemecahan masalah.

Berfikir Reflektif: (Reflective thinking):
Metacognitive : dikenal sebagai "thinking about one's thinking" atau "awareness and control about one's own cognitive processes" (Flavell & Wellman, 1977) Ia terdiri dari kegiatan-kegiatan pemantauan, pengaturan, evaluasi serta pengarahan yang datang dalam diri individu terhadap proses berfikir dirinya sendiri. Untuk dapat menunjukkan prilaku metacognitif, sejumlah strategi metakognitif, serta tujuan yang ingin dicapai. Keterampilan metakognitif bukan merupakan sesuatu yang dibawa sejak lahir (innate), akan tetapi harus dipelajari (acquired). Oleh karena itu perbedaan antar individu dalam hal "kekayaan" dari keterampilan metakognitif ini sangat besar.
Berfikir Kritis : (Critical Thinking):
a. 
Seeking truth and understanding : kebenaran bukanlah “sesuatu” yang dapat disampaikan seseorang pada orang lain. Melainkan ia merupakan sesuatu yang mencakup keaktifan individu sendiri dalam proses berfikirnya dengan berlandaskan pada bukti-bukti yang ada. Kegiatan utama yang dilakukan umumnya dimulai dari menimbang bukti/fakta, mempelajari kesahihannya (validity), mempelajari berbagai hubungan yang ada antar bukti/fakta untuk membentuk suatu teori, serta akhirnya menguji teori tersebut terhadap bukti/fakta lain yang tidak mendukung untuk dicari penjelasannya.
b. 
Strategic : berfikir yang strategik sifatnya akan membawa individu kearah berfikir yang efisien. Mengapa? Berfikir yang strategik umumnya akan padat dengan muatan perencanaan, antisipasi, mengikuti aturan/metoda tertentu, dan hati-hati (tidak asal saja).
c. 
Skeptical : bersikap skreptis disini tidak berarti memiliki perasaan curiga atau tidak mau percaya terhadap fakta yang ada. Menurut Ritchhart (2002) skreptis disini adalah “… probing below the surface of things, looking for proof and evidence, and not accepting things at face value.”

Kesimpulan
Merujuk pada definisi berfikir kritis yang diberikan oleh Ennis dan Halpern diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1. 
Kemampuan berfikir kritis harus mulai dikembangkan sejak anak usia sekolah.
2. 
Dalam mengembangkan berfikir kritis, harus dimulai dengan mengembangkan disposisi berfikir, khususnya bagi anak-anak yang belum masuk ke tingkat formal (Piaget).
3. 
Disposisi berfikir ini merupakan suatu sikap dasar yang akan menjadi modal utama agar anak termotivasi secara internal untuk berfikir secara kritis.
4. 
Pendidikan, dalam bentuk apapun, harus menyediakan berbagai sarana yang dapat mengoptimalkan interaksi peserta didik dengan lingkungan, termasuk produk budaya (artifak).



Daftar Pustaka :

Bereiter, C., & Scardamalia, M. (1989). Intentional learning as a goal of instruction. Dalam L.B. Resnick (Ed.), Knowing, learning, and instruction: Essays in honor of Robert Glaser (hal.361-392). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

Chan, C. (1987). Levels of constructive effort in children's learning from texts. Disertasi Doktoral. University of Toronto, OSIE. Toronto, Canada.

Ennis,R.H.(1987). A taxonomy of critical thinking dispositions and abilities. Dalam J.B.

Flavell, J. H. & Wellman, H. M. (1977). Metamemory. Dalam R.V. Kail dan J. W. Haheb (eds.). Perspectives on the development of memory and cognition. Hillsdale, NJ: Erlbaum

Halpern, Dlane. F. (2004). Thought & Knowledge: An Introduction To Crtitical Thinking. 4th Edition, London: Lawrence Erlbraum Associates Publisher.

Miller, P. H. (1993). Theories of development psychology. New York: W.H. Freeman & Company.

Paul, R.W. & Linda E. (2002). Critical Thinking: Tools for Taking Charge of Your Professional and Personal Life. Financial Times Prentice Hall.

Ritchhart, R. (2002). Intellectual character: What it is, why it matters and how to get? San Fransisco: Jossey-Bass

Suradijono, S. H. (1988). The relation of self-reported knowledge lacks to understanding. Tesis tingkat Magister (MA). University of Toronto, OISE. Toronto, Canada.

Suradijono, S. H. (1999) Laporan penelitian “The Impact of ICAI Cognitive Strategy Based on the Development of Self-Directed Learning capability from Junior & Senior High School Students. URGE (University Research for Graduate Education) World Bank Grant, Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, R.I.

Suradijono, S. H. (2001) Laporan Penelitian “Intelligent Collaborative Learning Environment: The Teacher Module. URGE (University Research for Graduate Education) Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional R.I

Tishman, S., Jay, E., & Perkins, D.N. (1992). Teaching thinking dispositions: from transmission to enculturation. Hillsdale, NJ: Erlbaum.


Vygotsky,L.S. (1978). Mind in society. Cambridge,MA: Harvard University Press.

Minggu, 10 Agustus 2014

Filsafat Logika

LOGIKA

BAB I

Apakah Logika Itu?
1.       Apakah Logika Itu?
Secara singkat dapat dikatakan logika adalah ilmu pengetahuan dan kecakapan untuk berpikir lurus (tepat).
Ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan tentanf pokok yang tertentu. Kumpulan ini merupakan suatu kesatuan yang sistematis serta memberikan penjelasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Penjelasan seperti ini terjadi dengan menunjukkan sebab-musababnya.
Logoka juga merupakan ilmu pengetahuan dalam arti ini. Lapangan ilmu pengetahuan ini ialah azas-azas yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat dan sehat. Agar dapat berpikir lurus, tepat dan teratur, logika menyelidiki, merumuskan seta menerapkan hukum-hukum yang harus ditepati.
Dengan menerapkan hukum-hukum pemikirab yang lurus, tepat dan sehat, kita dimasukkan ke dalam lapangan logika, sebagai suatu kecakapan. Hal ini menyatakan bahwa logika bukanlah teori belaka. Logika juga merupakan suatu keterampilan untuk menerapkan hukum-hukum pemikiran dalam praktek. Inilah sebabnya mengapa logika disebut filsafat yang praktis.

Berpikir adalah obyek material logika. Yang dimaksudkan dengan berpikir disini ialah kegiatan pikiran, akal budi manusia. Dengan berpikir manusia ‘mengolah’, ‘mengerjakan’, dan ‘mengerjakannya’ ia dapat memperoleh kebenaran. ‘Pengolahan’, ‘pengerjaan’ ini terjadi dengan mempertimbangkan, menguraikan, membandingkan serta menghubungkan pengertian yang satu dengan pengertian lainnya. Karena itu obyek material logika bukanlah bahan-bahan kimia atau salah satu bahasa, misalnya.
Tetapi bukan sembarangan berpikir yang diselidiki dalam logika. Dalam logika berpikir dipandan dari sudut kelurusan, ketepatannya. Karena itu berpikir lurus, tepat, merupakan obyek formal logika. Kapan suatu pemikiran itu sesuai dengan hukum-hukum serta aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam logika. Kalau peraturan-peraturan itu ditepati, dapatlah pelbagai kesalahan atau kesesatan dihindarkan. Degna demikian kebenaran juga dapat diperoleh dengan lebih mudah dan lebih aman. Semua ini menunjukkan bahwa logika merupakan suatu pegangan atau pedoman untuk pemikiran.

2.       Macam-Macam Logika
Logika dapat dibedakan atas dua macam. Namun keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua macam logika itu ialah logika kodrati dan logika ilmiah.
2.1   Logika Kodratiah
Akal budi dapat bekerja menurut hukum-hukum logika dengan cara yang spontan. Tetapi dalam hal-hal yang sulit baik akal budinya maupun seluruh diri manusia dapat dan nyatanya dipengaruhi oleh keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan yang subyektif. Selain itu baik manusia sendiri maupun perkembangan pengetahuannya sangat terbatas.
Hal-hal ini menyebabkan bahwa kesesatan tidak dapat dihindarkan. Namun dalam diri manusia sendiri juga terasa adanya kebutuhan untuk menghindarkan kesesatan itu. Untuk menghindarkan kesesatan itu diperlukan ilmu khusus yang merumuskan azas-azas yang harus ditepati dalam setiap pemikiran. Karena itu muncullah logika ilmiah.
2.2   Logika Ilmiah
Logika ini membantu logika kodratiah. Logika ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran serta akal budi. Berkat pertolongan logika ini akal budi dapat bekerja dengan lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah dan lebih aman. Dengan demikian kesesatan juga dapat dihindarkan arau, paling tidak, dikurangi. Logika inilah yang dibicarakan dalam buku ini.
3.       Sejarah Ringkas Logika
3.1   Yunani Kuno
Kaum Sofis beserta Plato (427-347 seb. Kr.) telah merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang ini. Sokrates (469-399 seb. Kr.) dengan ‘metode bidan’ (metode mayeutis)nya juga telah banyak memberikan dasar bagi logika. Namun, penemuan yang sebenarnya baru terjadi oleh Aritoteles (384-322 seb. Kr.), Theophrastus (372-287 seb. Kr.) dan kaum Stoa. Aristoteles meninggalkan enam buah buku yang oleh murid-muridnya diberi nama to Organon. Keenam buku itu adalah Categoriae (tentang keputusan-keputusan), Analytica Priora (tentang sillogisme), Analytica Posteriora (tentang pembuktian), Topica (tentang metode berdebat) dan De Sophisticis Elenchis (tentang kesalahan-kesalahn berpikir).
Theophrastus memperkembangkan logika Aristoteles ini. Sedangkan kaum Stoa, terutama Chrysippus (± 280-207 seb. Kr.) mengajukan bentuk-bentuk berpikir yang sistematis.
Logika lalu mengalami sistematisasi. Hal ini terjadi dengan mengikuti metode ilmu ukur. Ini terutama dikembangakan oleh Galenus (±n130-201_ dan Sextus Empiricus (± 200).
Kemudian logikan mengalami masa dekadensi. Logika menjadi sangant dangkal dan sederhana sekali. Namun, masih ada juga karya yang pantas disebut pada masa itu. Karya-karya itu ialah Eisagoge dari Porphyrius (± 232-305), Fons Scientae dari Johanes Damascenus (± 674-749) dan komentar-komentar dari Boethius (± 480-524).
3.2   Abad Pertengahan (abad IX - XVI)
Pada masa itu masih dipakai buku-buku, seperti De Interpretatione dan Categoriae (Aristoteles), Eisagoge (Porphyrius) dan buku-buku dari Boethius (abad XII-XIII).
Ada usaha untuk mengadakan sistematisai dan komentar-komentar. Usaha ini dikerjakan oleh Thomas Aquinas (1224-1274) dan kawan-kawannya. Mereka juga serentak mengembangkan logika yang sudah ada.
Logika modern muncul dalam abad XIII-XV. Tokoh-tokoh penting dalam bidang ini ialah Petrus Hispanus (1210-1278), Roger Bacon (1214-1292), Raymundus Lullus (1232-1315), Wilhelmus Ockham (1295-1349) dan lain-lain. Khususnya Raymundus Lullus menemukan suatu metode logika yang baru. Metode ini disebut Ars Magna, yang merupakan semacam aljabar pengertian. Aljabar ini bermaksud membuktikan kebenaran-kebenaran yang tertinggi.
Kemudian logika Aristoteles mengalami perkembangan yang ‘murni’. Logika itu dilanjutkan oleh beberapa tokoh, seperti Thomas Hobbes (1588-1679) dalam Leviatannya dan John Locke (1632-1704) dalam An Essay concerning Human Understanding-nya. Namun tekanan yang merkea berikan sebenarnya juga berbeda-beda. Di sini ajaran-ajaran Aristoteles sudah diberi warna nominalistis yang sangat kuat (bdk. Wilhelmus Ockham dan kawan-kawannya).
3.3   Eropa Moderen (abad XVII – XVIII/XX)
Masa ini juga dapat disebut masa penemuan-penemuan yang baru. Francis Bacon (1561-16260 mengembangkan metode induktif. Ini terutama dinyatakannya dalam bukunya Novum Organum Scientiarum. W. Leibmitz (16460-1716) menyusun logika aljabar (bdk. Ars Magna dari Raymundus Lullus). Logika ini bertujuan menyederhanakan pekerjaan akal budi dan lebih memberikan kepastian.
Logika Aristoteles masih diperkembangkan dalam jalur yang murni. Ini dijalankan, misalnya, oleh para Neo-Thomis. Tradisi Aristoteles dilanjutkan juga dengan tekanan pada induksi. Hal ini nampak antara lain dalam buku ‘System of Logic’nya J.S. Mill (1806-1873).
Logika metafisis mengalami perkembangannya dengan Imm. Kant (1724-1804). Dia menamainya logika transcendental. Dinamakan logika karena membicarakan bentuk-bentuk pikiran pada umumnya. Dan dinamakan transcendental karena mengatasi batas pengalaman.
Kemudian logika menjadi sekadar suatu peristiwa psikologis dan metodologis. Hal ini, misalnya, diperkembangkan oleh W. Wundt (1832-1920), J. Dewey (1859-1952) dan J.M. Badlwin (1861-1934).
Dan akhirnya logistic pada abad XIX dan XX. Ini terutama diperkembangkan oleh A. de Morgan (1806-1871), G. Boole (1815-1864), W. S. Jevons (1835-1882), E. Schröder (1841-1902), B. Russel (1872-1970), G. Peano (1858-1932) dan masih banyak nama yang lain lagi.
3.4   India
Logika lahir karena Sri Gautama (± 563 – 483 seb. Kr.) sering berdebatnya dengan golongan Hindu fanatic yang menentang ajaran kesusilaannya. Dalam Nyaya Sutra logika diuraikan secara sistematis. Ini mendapat komentar dari Prasastapada (abad V ses. Kr.). Komentar ini kemudian disempurnakan oleh para penganut Buddha lainnya terutama Dignaga (abad VI ses. Kr).
Kemudian logika terus diakui sebagai metode berdebat. Lantas muncullah pelbagai komentar seperti yang dibuat oleh Uddyotakara (abad VII ses. Kr), Udayana (abad X ses. Kr.) dan lain-lain. Mereka ini habya menyusun serta meningkatkan sistematisasi ajaran-ajaran klasik saja.
Muncullah yang disebut Navya Nyaya (abda XIII ses. Kr.). Hal ini merupakan pengintegrasian secara kritis ajaran-ajaran golongan Brahmanisme, Buddhisme dan Jainisme.
3.5   Indonesia
Nampaknya logika belum begitu dipahami maknanya. Baru ‘sedikit’ orang saja yang menaruh perhatian secara ilmiah pada logika. Kiranya sudah tiba waktunya untuk memperluas serta mengembangkan studi tentang logika itu. Di sana sini usaha untuk itu sudah mulai nampak dan membawa hasil juga. Perluasan serta pengembangan ini merupkan salah satu usaha yang ‘raksasa. Dan usaha itu ialah mempertinggi taraf inteligensi setiap orang Indonesia dan bangsa Indonesia seluruhnya.
4.       Pembagian Logika
4.1   Logika memang menyelidiki hukum-hukum pemikiran. Penyelidikan itu terjadi dengan menguraikan unsur-unsur pemikiran tersebut. Penguraian unsur-unsur itu menunjukkan bahwa pemikiran manusia sebenarnya terdiri atas unsur-unsur yang berikut. Unsur yang pertama ialah pengertian-pengertian. Kemudian pengertian-pengertian disusun sedemikian rupa sehungga menjadi keputusan-keputusan. Akhirnya, keputusan-keputusan itu disusun semdemikian rupa sehingga menjadi penyimpulan-penyimpilan.
Namun demikian pemikiran manusia bukanlah suatu kegiatan yang terjadi di dalam batin saja. Pemikiran itu juga nampak dalam tanda-tanda lahiriah. Berbicara merupakan tanda lahiriah dari pemikiran. Karena itu kata-kata adalah tanda-tanda lahiriah pengertian-pengertian, kalimat-kalimat tanda-tanda lahiriah keputusan-keputusan dan pembuktian-pembuktian tanda-tanda lahirian penyimpulan-penyimpulan.
Karena itu logika membicarakan baik pengertian-pengertian, maupun kata0kata, baik keputusan-keputusan maupun kalimat-kalimat, dan akhirnyabaik penyimpulan-penyimpulan maupun pembuktian-pembuktiannya.
4.2   Ketiga unsur yang baru disebut ini merupakan tiga pokok kegiatan akal budi manusia. Ketiga pokok kegiatab akal budi itu ialah :
1.       Menangkap sesuatu sebagaimana adanya. Artinya, menangkap sesuatu tanpa mengakui atau memungkirinya.
2.       Memberikan keputusan. Artinya, menghubungkan pengertian yang satu dengan pengertian lainnya atau memungkiri hubungan itu.
3.       Merundingkannya. Artinya, menghubungkan keputusan-keputusan sedemikian rupa, sehingga dari satu keputusan atau lebih, orang sampai pada suatu kesimpulan.
Logika terutama menyentuh bagian yang akhir ini. Namun untuk sampai kepada kesimpulan, lebih dahulu orang harus menyelidiki unsur-unsur lainnya. Dan unsur-unsur lainnya yang harus diselidiki dahulu itulah adalah pengertian –pengertian dan keputusan-keputusan.
5. Pentingnya Belajar Logika
Logika membantu orang untuk berpikir lurus, tepat dan teratur. Dengan berpikir demikian ia dapat memperoleh kebenaran dan menghindari kesesatan.
Dalam semua bidang kehidupan manusi menggunakan pikirannya. Ia juga mendasarkan tindakan-tindakannya atas pikiran itu.
Semua ilmu pengetahuan hampir tidak dapat dilepaskan dari logika. Logika juga memperkenalkan analisa-analisa yang dipakai dalam ilmu filsafat. Selain logika terutama memaksa serta mendorong orang untuk berpikir sendiri.
Akhirnya, manusia pada umumnya mendasarkan tindakan-tindakannya atas pemikiran, pertimbangan-pertimbangan yang obyektif. Demikian juga halnya dengan orang-orang Indonesia sebagai pribadi dan sebagai bangsa. Bangsa Indonesia kiranya membutuhkan orang-orang yang sungguh berpikir tajam dan dapat berpikir sendiri. Dari orang-orang seperti inilah dapat diharapkan bimbingan serta pembinaan yang tepat untuk seluruh bangsa.


Sumber :
- Lanur, Alex. (1983). Logika selayang pandang. Yogyakarta: Kanisius.
- http://bintacecilia.blogspot.com/


BAB II
PENGERTIAN

1. Pengertian merupakan bagian, unsur dari keputusan

1.1 Pengertian

Mengerti berarti menangkap inti sesuatu. Inti sesuatu itu dapat dibentuk oleh akal budi. Yang dibentuk itu adalah suatu gambaran yang 'ideal' atau suatu 'konsep' tentang sesuatu. Karena itu pengertian adalah suatu gambar akal budi yang abstrak, yang batiniah, tentang inti sesuatu.

1.2 Kata

Berpikir terjadi dengan menggunakan kata-kata akal budi. Kita menggunakan kata-kata, kalau kita mau menyatakan apa yang kita pikirkan. Karena itu kata adalah tanda lahiriah (ucapan suara yang diartikulasikan atau tanda yang tertulis) untuk menyatakan pengertian dan barangnya.
Logika di sini hanyalah bunyi-bunyi atau tanda-tanda yang berarti (kata-kata yang merupakan tanda atau pernyataan pikiran dan sesuatu yang dinyatakan dengan pengertian). Yang terpenting adalah isi kata atau pengertian yang terkandung  didalamnya. Misalnya, contoh : 'Anjing makan tikus'. Yang di ungkapkan dalam pernyataan itu ialah : baik pengertiannya, maupun bendanya yang konkret.

1.3 Term

Pengertian (kata) juga dapat diselidiki dengan sudut yang lain. Sudut yang lain adalah sudut fungsinya salam suatu keputusan (kalimat) atau sebagai unsur dari padanya. Tanda atau pernyatan pikiran itu dipentingkan. Yang dipentingkan itu adalah pengertian-pengertian yang berfungsi sebagai subyek atau presikat dalam suatu keputusan (kalimat). Karena itu yang disebut term adalah kata atau rangkaiab kata yang berfungsi sebagai subyek atau predikat dalam suatu kalimat. Contoh 'Anjing itu tidur'. Anjing adalah subyek kalimat; tidur adalah predikat kalimat.
Setiap term bisa berupa term tunggal atau term majemuk. Term itu tunggal. Kalau terdiri hanya atas satu kata saja. Misalnya binatang, membeli, mahal, kuda dan sebagainya. Term itu majemuk atau tersusun, kalau terdiri atas dua atau tiga kata. Dua atau tiga kata itu bersama-sama merupakan suatu keseluruhan, menunjukkan satu benda dan berfungsi sebagai subyek atau predikat dalam suatu kalimat. Misalnya jam dinding itu mati; lapangan bola kaki penuh rumput dan sebagainya.

2. Isi dan luas pengertian

Isi sering juga disebut komprehensi, sedangkan luas sering juga disebut ekstensi. Isi suatu pengertian hendaknya dicari dalam inti pengertian itu. Sedangkan luasnya hendaknya dicari dalam benda atau hal mana yang ditunjukkan dengan pengertian itu.

2.1 Apakah isi pengerian itu?

Isi pengertian adalah semua unsur yang termuat dalam suatu pengertian. Isi pengertian dapat ditemukan dengan menjawab pertanyaan: Manakah bagian-bagian (unsur-unsur) suatu pengertian yang tertentu? Unsur-unsur itu meliputi semua unsur pokok, unsur hakiki, serta semua unsur yang langsung dapat diturunkan dari unsur pokok itu. Unsur pokok, hakiki adalah unsur yang menunjukkan inti sesuatu. Tetapj tidak mencakup unsur-unsur yang tidak hakiki. Misalnya pengerti dari 'manusia'  itu mengandung unsur-unsur pokok, seperti 'berada', 'material', 'berbadan', 'hidup', 'dapat berbicara', 'makhluk sosial' dan sebagainya. Tetapi pengertian 'manusia' itu tidak mengandung unsur-unsur seperti 'berkulit hitam', 'berkebangsaan Indonesia', 'berambut keriting' dan sebagainya.

2.2 Luas pengertian

Merupakan benda-benda (lingkungan realitas) yang dapat dinyatakan oleh pengertian yang tertentu.
Orang membedakan dua macan luas pengertian.  Yang disebut luas yang mutlak, yang lainnya disebut luas yang fungsional. Luas yang mutlak adalah luas pengertian terlepas dari fungsinya dalam kalimat. Sedangkan luas yang fungsional adalah luas pengertian dilihat dari sudut fungsinya dalam kalimat. Atau dilihat dari sudut fungsinya sebagai subyek atau predikat dalam kalimat yang tertentu.

2.3 Kesimpulan Arti dan Luas

Terdapat suatu hubungan yang kiranya tidak dapat disangkal. Sifat hubungan itu dijabarkan sebagai berikut :
Semakin banyak isinya, semakin kecil luas (daerah lingkup)nya. Semakin banyak (besar) isinya hanyalah menyatakan bahwa benda yang ditunjukkan itu menjadi semakin konkret, nyata dan tertentu. Dan sebaliknya.

3. Pembagian Kata-kata

Kata adalah penyataan lahirilah dari pengertian. Tidak sama dengan pengertian yang sama sering kali dinyatakan dengan kata-kata yang berbeda. Dan sebaliknya. Kenyataan ini menyebabkan pentingnya dan betapa pentingnya memperhatikan arti setiap kata itu.
Arti kata dari dua sudut pandang. Yang pertama ialah arti kata dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sensiri. Arti kata itu dilihat terlepas dari fungsinya dalam suatu kalimat. Yang kedua ialah arti kata dilihat dari sudut fungsinya dalam kalimat yang konkret. Yang akhir ini biasanya 'suposisi' term. 'Suposisi' ialah arti khusus suatu term dalam kalimat yang tertentu, dipandang dari sudut arti, isi dan luasnya. Karena itu kata (term) perlu dibagikan menurut arti, isi serta luasnya.

3.1 Dibagi menurut artinya, terdapatlah kata-kata :
1. Univok (sama suara, sama artinya). Kata yang menunjukkan pengertian yang sama. Contoh 'anjing'.

2. Ekuivok (sama suara, tetapi tidak sama artinya). Kata yang menunjukkan pengertian yang berlain-lainan. Contoh 'atap rumah' atau 'suatu keadaan yang gawat'.

3. Analog (sama suara, sedangkan artinya di suatu pihak ada kesamaanya, dilain pihak ada perbedaannya). Kata yang menunjukkan banyak barang yang sama namun serentak juga berbeda-besa dalam kesamaannya itu.

3.2 Di lihat daru sudut isinya, terdapatlah kata-kata :
1. Abstrak, yang menunjukkan suatu bentuk atau sifat tanpa bendanya (misalnya, 'kemanusiaan', 'keindahan') dan konkret, yang menunjukkan suatu benda dengan bentuk atau sifatnya (misalnya 'manusia').

2. Kolektif, yang menunjukkan suatu kelompok (misalnya, 'tentara') dan individual, yang menunjukkan suatu individu saja (misalnua 'Narto' = nama seseorang anggota tentara). 

3. Sederhana, yang terdiri dari satu ciri saja (misalnya, kata 'ada' yang tidak dapat diuraikan lagi) dan jamak, yang terdiri dari beberapa atau banyak ciri (misalnya kata 'manusia' yang diuraikan dengan 'makhluk' dan 'berubudi').

3.3 Dan akhirnya menurut luasnya dapatlah dibedakan:
1. Term singular. Dengan tegas menunjukkan satu individu, barang atau golongan yang tertentu. Misalnya, Slamet, orang itu, kesebelasab itu, yang terpandai dan sebagainya.

2. Term partikular. Menunjukkan hanya sebagian saja dari seluruh luasnya. Artinya, menunjukkan lebih dari satu tetapi tidak semua bawahannya. Misalnya beberapa mahasiswa, kebanyakan orang, empat orang muda dan sebagainya.

3. Term universal. Menunjukkan seluruh lingkungan dan bawahannya masing-masing, tanpa ada yang dikecualikan. Misalnya, semua orang, setiap dosen, kera adalah binatang dan sebagainya.


Sumber : Lanur, Alex. (1983). Logika selayang pandang. Yogyakarta: Kanisius.


BAB III
PEMBAGIAN (PENGGOLONGAN) DAN DEFINISI

1.Pembagian (penggolongan)
Pembagian (penggolongan) ialah sesuatu kegiatan akal budi yang tertentu. Dalam kegiatan itu akal budi menguraikan “membagi”, “menggolongkan”, dan menyusun pengertian-pengertian dan barang-barang tertentu. Penguraian dan penyusunan itu diadakan menurut kesamaan dan perbedaannya.
1.1 Ada bermacam-macam cara untuk mengadakan pembagian (penggolongan), yaitu :
1. Pembagian (penggolongan) itu harus lengkap. Artinya, kalau kita membagi-bagikan suatu hal, maka bagian-bagian yang diperincikan harus mencakup semua bagiannya.
2. Pembagian (penggolongan) itu harus sungguh-sungguh memisahkan. Artinya, bagian yang satu tidak boleh memuat bagian yang lain.
3. Pembagian (penggolongan) itu hartus menggunakan dasar, prinsip yang sama. Artinya, dalam satu pembagian (penggolongan) yang sama tidak boleh digunakan dua atau lebih dari dua dasar prinsip sekaligus.
4. Pembagian (penggolongan) itu harus sesuai dengan tujuan yang mau dicapai.

1.2 Ada beberapa kesulitan yang dapat timbul, yaitu :
1. Apa yang benar untuk keseluruhan, juga benar untuk bagian-bagiannya. Tetapi apa yang benar untuk bagian-bagian, belum pasti juga benar untuk keseluruhannya.
2. Adanya keraguan-raguan tentang apa atau siapa yang sebenarnya masuk kedalam kelompok tertentu.
3. Karena tidak berpikir panjang, orang cenderung mengambil jalan pintas. Jalan pintas itu sering kali berbentuk : menggolongkan barang, benda, dan orang hanya atas dua golongan saja. Artinya, orang mengadakan penggolongan yang hitam putih saja.
2. Definisi
Kata “definisi” berasal dari kata “definitio” (bahasa Latin), yang berarti “pembatasan”. Definisi berarti suatu susunan kata yang tepat, jelas, dan singkat untuk menentukan batas pengertian tertentu.
2.1 Ada dua macam definisi. Yang pertama disebut definisi nominal. Definisi ini merupakan suatu cara untuk menjelaskan sesuatu dengan menguraikan arti katanya.
2.2 Definisi ini dapat dinyatakan dengan beberapa cara, yaitu :
1. Dengan menguraikan asal-usul (etimologi) kata atau istilah yang tertentu. Kata “filsafat”, akhir-akhirnya berasal dari kata Yunani. Dalam bahasa Yunani kata tersebut merupakan kata majemuk. Sebagai kata majemuk terdiri atas kata “philein” (mencintai)  atau “philos” (pencinta) dan kata “Sophia” (kebijaksanaan). Atas dasar kata “filsafat” lalu berarti “mencintai” (pencinta) kebijaksanaan”.
2. Menurut asal-usul, kata “lokomotif”, misalnya, berarti sesuatu yang dapat bergerak dari tempat yang satu ketempat yang lain. Padahal dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (W. Y. S. Poerwadarminta) kata itu berarti : induk atau kepala kereta api (mesin penarik kereta api).
3. Definisi ini juga dapat dinyatakan dengan menggunakan sinonim.
2.3 Definisi yang lain itu disebut definisi real. Definisi ini selalu majemuk. Artinya, definisi itu terdiri atas dua bagian. Bagian yang pertama menyatakan unsur yang menyerupakan hal (benda), dan bagian yang kedua menyatakan unsur yang membedakan dari sesuatu yang lainnya.
2.4 Definisi real ini dapat dibedakan menjadi, yaitu :
1. Definisi hakiki (esensial). Definisi ini sungguh-sungguh menyatakan hakekat sesuatu. Hakekat sesuatu adalah suatu pengertian yang abstrak, yang hanya mengandung unsur-unsur pokok yang sungguh-sungguh perlu untuk memahami suatu golongan (species) yang lain, sehingga sifat-sifat golongan (spesies) tersebut tidak termasuk ke dalam hakekat sesuatu itu.
2. Definisi gambaran (lukisan). Definisi ini menggunakan cirri-ciri khas sesuatu yang akan didefinisikan. Ciri-ciri khas adalah ciri-ciri yang selalu dan tetap terdapat pada setiap benda tertentu.
3. Definisi yang menunjukkan maksud tujuan sesuatu. Definisi ini umumnya dipakai untuk alat-alat teknik dan dapat mendekati definisi hakiki.
4. Sering kali definisi diadakan hanya dengan menunjukkan sebab-musabab sesuatu. Misalnya, gerhana bulan terjadi karena bumi berada diantara bulan dan matahari.
2.5 Ada beberapa peraturan yang perlu ditepati untuk suatu definisi. Aturan-aturan itu ialah :
1. Definisi harus dapat dibolak-balikkan dengan hal yang didefinisikan. Artinya, luas keduanya haruslah sama.
2. Definisi tidak boleh negatif, kalau dapat dirumusklan secara positif.
3. Apa yang didefinisikan tidak boleh masuk ke dalam definisi. Kalau hal itu terjadi, kita jatuh dalam bahaya yang disebut “circulus in definiendo”. Artinya, sesudah berputar-putar beberapa lamanya, akhirnya kita dibawa kembali ke titik pangkal oleh definisi itu.
4. Definisi tidak boleh dinyatakan dalam bahasa yang kabur, kiasan atau mendua arti. Kalau hal itu terjadi, definisi itu tidak mencapai tujuannya.
 Sumber :
- OFM, Alex Lanur. 1983. Logika selayang pandang. Yogyakarta: Kanisius
- http://ilmufilsafat-ditaanggraini.blogspot.com


BAB IV
KEPUTUSAN

1. Pengertian adalah bagian dari keputusan
Baru dalam keputusan kita mengambil sikap terhadap kenyataan. Sikap itu Nampak dalam kegiatan mengakui atau memisahkan keputusan yang satu dengan lainnya. Tetapi apakah keputusan itu sebenarnya? Keputusan adalah suatu perbuatan tertentu dari manusia. Dalam dan dengan perbuatan itu dia mengakui atau memungkiri kesatuan atau hubungan antara dua hal. Juga dapat dikatakan: keputusan adalah suatu kegiatan manusia yang ertentu. Dengan kegiatan itu ia mempersatukan karena mengakui dan memisahkan karena memungkiri sesuatu.
Dalam definisi ini terkandung beberapa unsur yang perlu dijelaskan sedikit.
-  ‘Perbuatan manusia’. Sebenarnya seluruh diri manusialah yang bekerja dengan akal budinya.  Secara formal keputusan yang diambil merupakan perbuatan akal budinya.
- ‘Mengakui atau memungkiri’. Inilah yang merupakan inti suatu keputusan. Setiap keputusan mengakui tau memungkiri suatu kesatuan antara dua hal. Dalam pemikiran manusia pertama secara logis sebenarnya terdapat ‘pengakuan’, kemudian baru pemungkirannya.
-  ‘Kesatuan anara dua hal’. Hal yang satu adalah subyek, dan hal yang lain adalah predikat. Keduanya dipersatukan, dihubungkan atau dipisahkan dalam keputusan. Keadaan itu dapat diberi bagan sebagi berikut :
Subyek (S) = predikat (P)
Subyek (S) ≠ predikat (P)

1.1 Sudah dikatakan bahwa kata merupakan pernyataan lahiriah dari pengertian. Keputusan juga mempunyai penampakan lahirmya. Penampakan lahirnya adalah kalimat. Dan kalimat (biasanya kalimat sempurna atau lengkkap) adalah satuan, kumpulan kata yang terkecil, yang mengandung pikiran yang lengkap. Keputusan khusunya dilahirkan dalam kalimat berita.

1.2 Maka dapatlah dikatakan bahwa keputusan (kalimat) adalah satu-satunya ucapan yang ‘benar’ atau ‘tidak benar’. Artinya, keputusan (kalimat) selalu mengakui atau memungkiri kenyataan. Pengertian (kata) belum (tidak) bias disebut benar atau tidak benar. Sebab, sebagai pengertian (ata) belum (tidak) menyatakan sesuatu tentang kenyataan. Baru menjadi benar atau tidak benar, apabila keputusan (kata) itu dihubungkan satu sama lain. Artinya, baru dapat menjadi benar, apabila dipersatukan atau dipisahkan satu sama lain. Karena itu keputusan (kalimat) adalah benar, apabila apa yang diakui atau dimungkiri itu dalam kenyataannya juga demikian. Sebaliknya, keputusan (kalimat) tidak benar, apabila apa yang diakui atau dimungkiri itu sungguh bertentangan dengan kenyataan. Karena itu juga hanya keputusan (kalimat)lah satu-satunya ucapan yang dapat dibenarkan, dibuktikan, dibantah, disangsikan, dan sebagainya.

2. Unsur-unsur keputusan
2.1. Sebenarnya sudah dapat disimpulkan bahwa keputusan mengandung tiga unsur. Unsur-unsur itu ialah :
1. Subyek (sesuatu yang diberi keterangan);
2. Predikat (sesuatu yang menerangkan tentang subyek);
3. Kata penghubung (pernyataan yang mengakui atau memungkiri hubungan antara subyek dan predikat).
Dari ketiga unsur itu, kata penghubunglah yang terpenting. Subyek dan predikat merupakan materi keputusan. Sedangkan kata penghubung merupakan bentuk, forma-nya. Kata ini memberikan corak atau warna yang harus ada dalam suatu keutusan.

2.2 Namun perlu dicatat :
1. Keputusan (kalimat) sering tidak Nampak dalam susunan yang sederhana ini. Karena itu untuk mempermudah analisa logika, seringkali perlulah keputusan-keputusan (kalimat-kalimat) tersebut dijabarkan menjadi keputusan-keputusan dengan bentuk pokok subyek (S) = predikat (P) atau subyek (S) ≠ predikat (P). menjabarkan berarti: merumuskan suatu kalimat sedemikian rupa sehingga term subyek, predikat dan kata penghubung menjadi kentara dengan jelas. Perumusan ini memudahkan orang untuk menangkap inti suatu kalimat. Misalnya: ;Dia adalah orang yang mencuri buah-buahan itu’; ‘tidak semua yang makan banyak akan menjadi gemuk’ menjadi ‘beberapa orang yang makan banyak adalah orang yang akan menjadi gemuk’; sedikit saja orang yang memperoleh hadiah’ menjadi ‘jumlah orang yang memperoleh hadiah adalah sedkit’.
2. Term subyek sering juga disebut sebagi subyek logis. Subyek logis itu tidak selalu sama dengan subyek kalimat menurut tatabahasa.
3. Untuk menemukan term predikat (predikat logis), perlulah diperhatikan apakah yang sesungguhnya hendak diberitahukan dalam suatu kalimat. Dengan kata lain, apakah pokok berita yang mau disampaikan dalam kalimat itu, Misalnya :
Dialah yang mencuri buah-buahan itu
Yang mencuri buah-buahan itu (S) adalah dia (P)
Kenikmatanlah yang dikejar orang
Yang dikejar orang (S) ialah kenikmatan (P)
4. Dan akhirnya, suatu keputusan disebut negative, apabila kata penghubungnya negative dan tidak lain daripada itu. Misalnya; Orang yang tidak dating akan dihukum. Kata ‘tidak’ dalam ungkapan ‘tidak datang’; tidak mempengaruhi kata penghubung. Kalimat ini adalah positif atau afirmasi dan bukan negatif.

3. Macam-macam keputusan
3.1 Berdasarkan sifat pengakuan dan pemungkiran dapat dibedakan menjadi:
1. Keputusan kategoris. Dalam keputusan ini predikat (P) menerangkan subyek (S) tanpa syarat. Keputusan ini masih dapat diperinci lagi menjadi
- Keputusan kategoris tunggal (yang memuat hanya satu subyek (S) dan satu predikat (P) saja.
- Keputusan kategoris majemuk (yang memuat lebih dari satu subyek (S) atau predikat (P). Keputusan ini Nampak dalam susunan kata seperti: dan ….. dan; dimana ….., di sana dan sebagainya.
- Juga termasuk ke dalam keputusan kategorisialah susunan kata yang menyatakan modalitas, seperti: tentu niscaya, mungkin, tidak tentu, tidak niscaya, tidak mungkin, pasti, mustahil dan sebagainya.
2. Keputusan hipotesis. Dalam keputusan ini predikat (P) menerangkan subyek (S) dengan suatu syarat, tidak secara mutlak. Keputusan ini masih dapat dibedakan menjadi;
- Keputusan (hipotesis) kondisional. Biasanya ditandai dengan: Jika….. maka …..
- Keputusan (hipotesis) disyungtif, yang biasanya ditandai dengan: Atau ….. atau ….. Keputusan ini masih dapat dibedakan lagi menjadi :
- Keputusan (hipotesis) disyungtif dalam arti yang sempit (tidak ada kemungkinan yang lain lagi).
- Keputusan (hipotesis) disyungtif dalam arti yang luas (masih ada kemungkinan yang lain lagi);
- Dan keputusan (hipotesis) konyungtif, yang biasanya ditandai dengan: Tidak sekaligus ….. dan ….. 
3.2 Untuk semntara pembicaraan dibatasi khususnya pada keputusan kategoris (tunggal) saja dulu. Keputusan itu pada gilirannya dapat dibagikam sebagai berikut :
1. Berdasarkan materinya dapat dibedakan menjadi :
- Keputusan analitis dan keputusan sintetis.
Yang dimaksudkan dengan keputusan analitis ialah putusan dimana predikat (P) menyebutkan sifat hakiki, yang pasti terdapat dalam subyek (S). hal itu terjadi dengan menganalisa, menguraikan subyek (S). misalnya: Tukiman itu berbudi.
Dan yang dimaksud dengan keputusan sintesis ialah putusan dimana predikat (P) menyebutkan sifat yang tidak hakiki, tidak niscaya yang terdapat pada subyek (S), tetapi dapat dikaitkan dengan subyek (S) itu. Hal ini terjadi berdasarkan pengalaman, atau juga karena sintese. Misalnya: Tukiman itu pedagang sayur.
2. Berdasarkan bentuknya dapat dibedakan menjadi keputusan positif (afirmatif) dan negative. Pembedaan ini didasarkan atas kualitas kata penghubung. Yang dimaksudkan dengan keputusan positif (afirmatif) ialah keputusan dimana predikat (P) dipersatukan dengan subyek (S) oleh kata penghubung. Subyek menjadi satu atau sama dengan predikay. Seluruh isi predikat diterapkan pada subyek. Seluruh luas subyek dimasukkan ke dalam luas predikat. Misalnya: Kera adalah binatan. Dan yang dimaksudkan dengan keputusan negative ialah keputusan dimana subyek dan predikat dinyatakan sebagai tidak sama. Mungkin dalam banyak hal subyek dan predikat sama. Tetapi dalam satu hal keduanya tidak sama, berlainan. Misalnya: Kera bukan tikus.
3. Akhirnya, berdasarkan luasnya (artinya: menurut luas subyek), dapat dibedakan menjadi keputusan universal, particular dan singular. Keputusan universal adalah keputusan dimana predikat menenrangkan (mengakui atau memungkiri) seluruh luas subyek, Misalnya: Semua orang dapat mati. Keputusan particular adalah keputusan dimana predikat menerangkan (mengakui atau memungkiri) sebagian daro seluruh luas subyek. Misalnya: Beberapa orang dapat mati. Akhirnya keputusan singular adalah keputusan dimana predikat menenrangkan (mengakui atau memungkiri) satu barang (subyek) yang ditunjukkan dengan tegas. Misalnya: Tukiman dapat mati.
Namun perlu dicatat bahwa keputusan ‘universal’ tidak sama saja dengan keputusan ‘umum’. Dimana letak perbedaannya? Dalam keputusan ‘umum’ dikatakan sesuatu yang pada umumnya benar, tetapi selalu mungkin ada kecualiannya. Misalnya: ‘Orang Bataka pandai menyanyi’. Keputusan ‘umum’ ini tidak salah, kalau ada beberapa orang Batak yang tidak pandai menyanyi. Keputusan ‘umum’ termasuk keputusan ‘partikular’. Padahal dalam keputusan ‘universal’ dikatakan sesuatu tentang seluruh luasnya, tanpa ada yang dikecualikan.

4. Keputusan A. E, I, O
Dilihat dari sudut bentuk dan luasnya, keputusan masih dapat dibedakan menjadi :
1. Keputusan A : keputusan afirmatif (positif) dan universal (singular). Misalnya: Semua mahasiswa IKIP lulus; besi itu logam.
2. Keputusan E : keputusan negative dan universal (singular). Misalnya: Kera bukan tikus; semua yang rohani tidak dapat binasa.
3. Keputusan I : keputusan afirmatif (positif) dan partikula. Misalnya: beberapa rumah retak karena gempa bumi; tidak semua yang harum adalah bunga mawar.
4. Keputusan O : keputusan negative dan particular. Misalnya: beberapa orang tidak suka tertawa; banyak orang tidak suka makan ketimun.

5. Lukas Predikat
5.1 Keputusan disebut universal, articular, dan singular, apabila luas subyeknya universal, particular dan singular. Disamping luas subyek, perlulah juga diperhatikan luas predikat. Ada ketentuan yang menyangkut luas predikat ini.
1. Dalam keputusan afirmatif, seluruh isi predikay diterapkan pada isi subyek atau dipersatukan dengan isi subyek itu. Seluruh luas subyek dimasukkan dalam luas predikat. Misalnya: Kera adalah binatang.
2. Dalam keputusan negative, isi predikay (dalam arti; tidak semua unsurnya) tidak diterapkan pada subyek atau dipersatukan dengan subyek itu. Seluruh luas subyek tidak dimasukkan dalam luas predikat. Misalnya: Anjing bukan ayam.

5.2 Dan dalam hubungan ini dpatlah disajikan hokum untuk luas predikat itu.
1. Predikat adalah singular, jika dengan tegas menunjukkan satu individu, barang atau golongan yang tertentu. Misalnya: Dialah yang pertama-tama melihat ular itu.
2. Dalam keputusan afirmatif, predikat particular (kecuali kalu ternyata singular). Hal ini juga berlaku untuk keputusan afirmatif-partikular. Misalnya: Semua kera adalah binatang. Kera itu adalah binatang.
3. Dalam keputusan negatif, predikat universal (kecuali kalau ternyata singular). Subyek dipisahkan dari predikat dan sebaliknya. Hal yang sama juga berlaku untuk keputusan negative-partikular. Misalnya: Semua manusia bukanlah kera. Beberapa manusia bukanlah kera.

 Sumber :
- OFM, Alex Lanur. 1983. Logika selayang pandang. Yogyakarta: Kanisius
- http://filsafatilmudanlogika.blogspot.com/


BAB V
PEMBALIKAN DAN PERLAWANAN

1.      Pembalikan
Membalikkan adalah mengganti subyek dan predikat, sehingga dulunya subyek, sekarang menjadi predikat, dan yang dulunya subyek, tanpa mengurangi keputusan itu. Hal ini di mungkinkan oleh kesamaan antara subyek dan predikat tetapi sering kali tidak sama . karena itu perlulah orang mengetahui hukum-hukum pembalikan itu

1.1  Macam-macam pembalikan  yang di sebut pembalikan seluruhnya. Yang lain di sebut pembalikan sebagainya .
1.      Pembalikan seluruhnya. Adalah pembalikan dimana luasnya tetap sama. Pembalikan ini terjadi pada  keputusan E yang menjadi keputusan E dan keputusan I yang menjadi keputusan I
2.      Pembalikan sebagian, ialah pembalikan dari keputusan universal menjadi keputusan particular. Pembalikan ini terjadi pada keputusan A yang menjadi keputusan I dan keputusan E yang menjadi keputusan O

1.2  Hukum-hukum pembalikan, yaitu :
1.Keputusan A hanya boleh dibalik menjadi I.  Sebab , dalam keputusan alternatif predikat partikular  sedangkan subyek universal. Luas predikat lebih besar dari pada luas subyek
Misal: ‘semua kera adalah binatang’ hanya bisa dibalik menjadi ‘beberapa binatang adalah kera’.  
2. Keputusan E selalu boleh dibalik.
Misal : ‘semua ayam bukan tikus’ bisa dibalik menjadi ‘semua tikus bukan ayam’ atau ‘beberapa tikus bukan ayam’.
3. Keputusan I hanya dapat dibalik menjadi keputusan I lagi.
Misal : ‘Beberapa orang itu sakit’ dapat dibalik menjadi ‘beberapa yang sakit itu orang’
4. Keputusan O tidak dapat dibalik.
Misal : ‘ada manusia yang bukan dokter’ tidak dapat dibalik menjadi ‘ada dokter yang bukan manusia’.

2.      Perlawanan
Keputusan yang berlawanan adalah keputusan yang tidak dapat sama-sama benar atau tidak dapat sama-sama salah. Perlawanan itu  ada hanya kalau  keputusan itu mengenai hal yang sama , tetapi berlawanan isinya. Artinya kedua keputusan itu mempunyai subyek dan predikat yang sama tetapi bentuk dan luasnya berbeda, atau baik bentuk maupun luasnya  yang berbeda.

2.1  Kalau dibandingkan satu sama lain, nampaklah bahwa keputusan-keputusan berlawanan
1.      Menurut bentuknya. Disebut perlawan ‘kontraris dan’subkontraris’ (A – E; I – O)
2.      Menurut luasnya. Disebut perlawanan ‘altern’ (A – I; E – O)
3.      Baik menurut bentuk maupun luasnya. Disebut perlawanan ‘kontradiktoris’ (A – O;  E – I)

2.2  Contoh perlawanan, yaitu :
1.      Perlawanan kontradiktoris ( A – O; E – I)
• jika yang satu benar, yang lain tentu salah;
• Jika yang satu salah, yang lain tentu benar;
• Tidak ada kemungkinan yang ketiga.
Keputusan –keputusan ini tidak dapat sekaligus benar tetapi juga tidak dapat sama-sama sah. Dari keempat perlawanan perlawanan inilah yang paling kuat pernyataan universal dapat di jatuhkan dengan membuktikan kontradiktrisnya saja.
2. Perlawan kontraris (A – E)
Jika yang satu benar, yang lain tentu salah;
Jika yang satu salah, yang lain dapat benar, tetapi juga dapat salah;
Ada kemungkinan yang ketiga, yakni keduanya sama salah.
3. Perlawanan sub kontraris (I – O)
• Jika yang satu salah, yang lain tentu benar;
• Jika yang satu benar, yang lain dapat salah tetapi juga dapat benar;
• Ada kemungkinan yang ketiga, yakni tidak dapat keduanya sama-sama salah. Keduanya dapayt sama-sama benar.
4.      Perlawanan subaltern (A – I; E – O)
• jika yang universal benar, yang particular juga benar;
• Jika yang universal salah, yang particular dapat benar, tapi juga dapat salah;
• Jika yang particular benar, yang universal dapat salah, dapat benar;
• Jika yang particular salah, yang universal juga salah;
Singkatnya: kedua-duanya dapat benar, tapi juga dapat salah; mungkin  pula yang satu benar, yang lain salah.

Seluruh hukum ini dapat disingkat sebagai berikut :
Jika A benar, maka E salah, I benar dan O salah.
Jika E benar, maka A salah, I salah dan O benar.
Jika I benar, maka E salah, sedangkan baik A maupun O tak pasti.
Jika O benar, maka A slah, sedangkan baik E maupun I tak pasti.

Jika A salah, maka O benar, sedangkan baik E maupun I tak pasti.
Jika E salah, maka I benar, sedangkan baik A maupun O tak pasti.
Jika I salah, maka A salah, E benar, O benar.
Jika O salah, maka A benar, E salah, I benar.


 Sumber :
- OFM, Alex Lanur. 1983. Logika selayang pandang. Yogyakarta: Kanisius
- http://emaparamita.blogspot.com/