A. ORIENTASI
KE ARAH ONTOLOGI ILMU PENGETAHUAN
Socrates menggambarkan akal merupakan segalanya, dan merupakan
pokok serta satu-satunya jalan yang dapat menuntun manusia mencari kebenaran.
Ia berfilsafat untuk hidup, karena dengan berpikir maka eksistensinya sebagai
manusia dapat dipertahankan. Filsafat jika ditinjau lebih mendalam lagi bukan
sekadar ilmu logika yang lebih mengedepankan rasionalitas, karena filsafat
merupakan pondasi awal dan segala macam disiplin keilmuan yang ada. Adapun ilmu
merupakan suatu cabang pengetahuan yang berkembang dengan sangat pesat dan
waktu ke waktu. Hampir seluruh aspek kehidupan manusia menggunakan ilmu,
seperti agama, ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi.
Ilmu yaitu suatu hasil yang diperoleh oleh akal sehat, ilmiah,
empiris, dan logis. Theo Marc dalam Atang Munaja (1988) menyatakan, ilmu adalah
segala sesuatu yang berawal dari pemikiran logis dengan aksi yang ilmiah serta
dapat dipertanggung jawabkan dengan bukti yang konkret. Dan pengertian ini
dapat disimpulkan bahwa ilmu dalam bentuk yang baku haruslah mempunyai
paradigma (positivistic paradigm) serta metode yang jelas (scientific method)
yang juga dikorelasikan dengan bukti yang empiris yang mampu diterapkan secara
gamblang (transparan).
Filsafat ilmu yaitu bagian dan filsafat pengetahuan atau serjng
juga disebut epistemologi. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yakni
episcmc yang berarti knowledge (pengetahuan) dan logos yang berarti teori.
Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier pada 1854 yang membuat
dua cabang filsafat, yakni epistemologi dan ontologi (on = being, wujud, apa +
logos = teori ), ontologi (teori tentang apa). Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa filsafat ilmu yaitu dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan
memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan
yang ilmiah dan tak ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah yaitu yang disebut
ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang
telah disistematisasi dan diorganisasi sedernikian rupa, sehingga memenuhi asas
pengaturan
secara prosedural, metodologis, teknis, dan normatif akademis.
Dengan demikfan teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau
validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan Adapun
pengetahuan tak ilmiah yaitu yang masih tergolong pra-ilmiah.
Dalam hal ini berupa pengetahuan hasil serapan indriawi yang
Secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru didapat. Di samping
itu termasuk yang diperoleh secara pasif atau di luar kesadaran seperti ilham,
intuisi, wangsit, atau wahyu (oleh Nabi). Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah
diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural,
metodis dan teknis, tidak bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi
atau diuji kebenaran (validitas) ilmiahnya. Adapun pengetahuan yang pra-ilmiah,
walaupun sesungguhnya diperoleh secara sadar dan aktif namun bersifat acak,
yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan
dalam ilmu.
Dengan demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh
secara sistematis-metodologis disebut sebagai pengetahuan “naluriah”. Ahrnad
Tafsir (2006) mengemukakan perbandingan ilmu pengetahuan manusia ini
sebagaimana terlihat dalam tabel berikut:
PENGETAHUAN MANUSIA
Selanjutnya menurut Sirajuddin Zar pengetahuan terdiri dua hal,
yaitu: Pertamci, pengetahuan yang bukan berdasarkan hasil usaha aktif manusia.
Pengetahuan ini diperoleh manusia lewat wahyu Allah SWT. Manusia menerima
kebenaran wahyu lewat keimanan dalam hatinya. Kedua, pengetahuan yang
berdasarkan hasil usaha aktif manusia. Pengetahuan ini disebut dengan
pengetahuan indra, yaitu pengetahuan yang peroleh berdasarkan pengalaman
sehari-hari, seperti air yang mengalir ke tempat yang rendah, gaya gravitasi
Bumi, dan lain sebagainya. Lebih jauh Zar mengatakan, secara terminologi
pengetahuan memiliki beberapa definisi Pertama, pengetahuan yaitu apa yang
diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu ini merupakan hasil dari
kenal, sadar, dan mengerti. Pengetahuan itu yaitu semua milik atau isi pikiran.
Dengan demikian, pengetahuan merupakan hasil proses dan usaha manusia untuk
tahu. Kedua, pengetahuan yaitu proses kehidu pan yang diketahui manusia secara
langsung dan kesadarannya sendiri. Dalam hal ini yang mengetahui (subjek)
memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikian aktif,
sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam
kesatuan aktif. Ketiga, pengetahuan yaitu segenap apa yang kita ketahui tentang
suatu objek tertentu, termasuk di dalamnya ilmu, seni, dan agama. Pengetahuan
ini merupakan khazanah kekayaan mental yang secara langsung dan tak langsung
memperkaya kehidupan kita.
Pada dasarnya pengetahuan merupakan hasil tahu manusia terhadap
sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu objek tertentu.
Pengetahuan dapat berwujud barang-barang baik lewat indra maupun lewat akal,
dapat juga objek yang dipahami oleh manusia berbentuk ideal, atau yang
bersangkutan dengan masalah kejiwaan. Pengetahuan yaitu keseluruhan pengetahuan
yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik. Dapat juga dikatakan
pengetahuan yaitu informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki metode dan
mekanisme tertentu. Pengetahuan berakar pada adat dan tradisi yang menjadi
kebiasaan dan pengulangan. Dalam hal ini landasan pengetahuan kurang kuat,
cenderung kabur dan samar-samar. Pengetahuan tidak teruji, karena kesimpulan
ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu. Pencarian
pengetahuan lebih cenderung trial and error dan berdasarkan pengalaman belaka.
Amsal Bakhtiar (2009) mengatakan, ilmu memiliki ciri khusus yang
membedakan dengan bidang non-ilmu, ciri ilmu utamanya antara lain: Pertama,
ilmu yaitu sebagian pengetabuan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat
diukur dan dibuktikan. Berbeda dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas
keyakinan kepada yang gaib dan penghayatan Serta pengalaman pribadi. Kedna,
berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan
satu putusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang
mengacu ke objek (atau alam objek) yang sama dan saling berkaitan secara logis
Karena itu koherensi sisternatik yaitu hakikat ilmu. Prinsip objek dan
hubungannya yang tercermin dalam kaitan logis yang dapat dilihat dengan jelas.
Bahwa prinsip logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip prinsip
metafisis objek menyingkapkan dirinya sendiri kepada kita dalam prosedur ilmu
secara lamban, didasarkan pada sifat khusus intelek kita yang tidak dapat
dicarikan oleh visi rohani terhadap realitas tetapi oleh berpikir. Ketiga, ilmu
tidak rnernerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran
perorangan, sebab ilmu termuat di dalam dirinya sendiri hipotesis dan teori
yang belurn sepenuhnya diman. tapkan. Keein pat, ciri hakiki lainnya dan ilmu
yaitu metodologi, sebab kaitan logis yang dicari ilmu tidak dicapai dengan
penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dan banyak pengamatan ide yang
terpisabpisah. Sebaliknya, ilmu rnenuntut pengamatan dan berpikir metodis,
tentata rapi. Alat bantu metodologis yang penting yaitu terminologi ilmiah;
yang disebut belakangan ml mencoba konsep ilmu. Ciri-ciri ilmu demikjan yang
akan menandai tingkat keilmiahan suatu bidang. Ilrnu pengetahuan itu jelas ada
tanda-tanda keilmiahan,
Selanjutnya Amsal mengatakan, ilmu sebagai pengetahuan ilmiah
berbeda dengan pengetahuan biasa, dia memiliki beberapa ciri pokok, yaitu:
Pertaina, siternatis; para filsuf dan ilmuwan sepaham bahwa ilmu
merupakan pengetahuan atau kumpulan pengetahuan yang tersusun secara
sistematis. Ciri sisternatis ilrnu rnenunjukkan bahwa ilmu merupakan berbagai
keterangan, dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan itu rnernpunyai
hubungan saling ketergantungan yang teratur (pertalian tertib). Pertalian
tertib dirnaksud disebabkan, adanya suatu asas tata tertib tertentu di antara
bagian yang merupakan pokok soalnya.
Kedua, empiris; bahwa ilmu mengandung pengetahuan yang diperoleh
berdasarkan pengamatan serta percobaan secara terstruktur di dalam bentuk
pengalarnan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ilmu mengamati,
menganalisis, menalar, rnembuktikan, dan menyimpulkan hal-hal ernpiris yang
bersifat faktawi (faktual), baik berupa gejala maupun kebatinan, gejala-gejala
alani, gejala kejiwaan, gejala kemasyarakatan, dan sebagainya. Sernua hal fakta
dimaksud dihimpun serta dicatat sebagai data (datum) sebagai bahan persediaan
bagi ilmu. Ilmu dalam hal ini bukan sekadar fakta, melainkan fakta yang diamati
dalam suatu aktivitas ilmiah melalui pengalaman. Fakta bukan pula data, berbeda
dengan fakta, data lebih merupakan berbagai keterangan mengenai sesuatu hal
yang diperoleh melalui hasil pencerapan atau sensasi indriawi.
Ketiga, objektif; bahwa ilmu menunjuk pada bentuk pengetahuan yang
bebas dan prasangka perorangan (personal bias), dan perasaan subjektif berupa
kesukaan atau kebencian pribadi. Ilmu haruslah hanya mengandung pernyataan
serta data yang menggambarkan secara terus terang atau mencerminkan secara
tepat gejala yang ditelaahnya. Objek tivitas ilmu mensyaratkan bahwa kumpulan
pengetahuan itu haruslah sesuai dengan objeknya (baik objek material maupun
objek formalnya), tanpa diserongkan oleh keinginan dan kecondongan subjektif
dari penelaanya
Keempat, analitis; bahwa ilmu berusaha mencermati, mendalami, dan
membedakan pokok soalnya ke dalarn bagian-bagian yang terperinci untuk memahami
berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari bagian bagian itu. Upaya pemilahan atau
penguraian suatu kebulatan pokok soal ke dalam bagian-bagian, membuat suatu
bidang keilmuan senantiasa tersekat-sekat dalam cabang yang lebih sempit
sasarannya. Melalui itu, masing-masing cabang ilmu itu membentuk aliran
pemikiran keilmuan baru yang berupa ranting-ranting keilmuan yang terus
dikembangkan secara khusus menuju spesialisasi ilmu.
Kelima, verifikatif; bahwa ilmu mengandung kebenaran yang terbuka
untuk diperiksa atau diuji (diverifikasi) guna dapat dinyatakan sah (valid) dan
disampaikan kepada orang lain. Kemungkinan diperiksa kebenaran (verifikasi)
dimaksudlah yang menjadi ciri pokok ilmu yang terakhir. Pengetahuan, agar dapat
diakui kebenarannya sebagai ilmu, harus terbuka untuk diuji atau diverifikasi
dari berbagai sudut telaah yang berlainan dan akhirnya diakui benar. Gin
verifikasi ilmu sekaligus mengandung pengertian bahwa ilmu senantiasa mengarah
pada tercapainya kebenaran. Ilmu dikembangkan oleb manusia untuk menemukan
suatu nilai luhur dalam kehidupan manusia yang disebut kebenaran ilmiah.
Kebenaran ini dapat berupa asas-asas atau kaidah yang berlaku umum atau
universal mengenai pokok keilmuan yang bersangkutan.
Melalui itu, manusia berharap dapat membuat ramalan tentang
peristiwa mendatang dan menerangkan atau menguasai alam sekelilingnya.
Contohnya, sebelum ada ilmu maka orang sulit mengerti dan meramalkan, serta
menguasai gejala atau peristiwa alam, seperti hujan, banjir dan gunung meletus.
Orang, karena itu, lari kepada takhayul atau mitos yang gaib. Namun demikian,
setelah adanya ilmu, seperti vulkanologi, geografi, fisis, dan kimia maka dapat
menjelaskan secara tepat dan cermat bermacam-macam peristiwa itu serta
meramalkan hal-hal yang akan terjadi kemudian, dan dengan demikian dapat
menguasainya untuk kemanfaatan diri atau lingkungannya. Berdasarkan kenyataan
itulah, orang cenderung mengartikan ilmu sebagai seperangkat pengetahuan Yang
teratur dan telah disahkan secara baik, yang dirumuskan untuk maksud menemukan
kebenaran umum, serta tujuan penguasaan, dalam arti menguasai kebenaran ilmu
demi kepentingan pribadi atau masyarakat dan alam lingkungan
Selain kelima ciri ilmu di atas, masih terdapat beberapa ciri
tambahan lainnya, misalnya ciri instrumental dan ciri faktual. Ciri
instrumental dimaksudkan bahwa ilmu merupakan alat atau sarana tindakan untuk
melakukan sesuatu hal. Ilmu dalam hal ini sukar, namun, juga sangat, muda dalam
arti, senantiasa merupakan sarana tindakan untuk melakukan banyak hal yang
mengagumkan dan membanjiri dunia dengan ide- ide baru. Ilmu berciri faktual, dalam
arti ilmu tidak memberikan penilaian baik atau buruk terhadap apa yang
ditelaahnya, tetapi hanya menyediakan fakta atau data bagi si pengguna.
Pandangan terakhir ini, oleh filsuf kritis telah ditolak, karena menurut mereka
ilmu sebagai suatu hasil budaya manusia selalu bertautan atau berhubungan
dengan nilai. Ilmu, karenanya, tidak dapat membebaskan atau meluputkan diri
dari nilai dan selalu harus bertanggung jawab atasnya.
Dilihat dari sudut pertanggungjawabannya, ilmu pengetahuan ilmiah
dapat dilihat dari tiga sistem, yaitu: Pertama, sistem aksiomatis, artinya
sistem ini berusaha membuktikan kebenaran suatu fenomena atau gejala
sehari-hari mulai dari kaidah atau rumus umum menuju rumus khusus atau konkret.
Atau mulai teori umum menuju fenomena/gejala konkret. Cara ini disebut
deduktif-nomologis. Umumnya yang menggunakan metode ini yaitu ilmu-ilmu formal,
misalnya matematika. Kedua, sistem empiris, sistem ini berusaha membuktikan
kebenaran suatu teori mulai dari gejala/fenomena khusus menuju rumus umum atau
teori. Jadi, bersifat induktif dan untuk menghasilkan rumus umum digunakan alat
bantu statistik. Urnumnya yang menggunakan metode ini yaitu ilmu pengetahuan
alam dan sosial. Ketiga, sistem semantik atau linguistik, dalam sistem
kebenaran didapatkan dengan cara menyusun proposisi secara ketat. Umumnya yang
menggunakan metode ini yaitu ilmu bahasa . (linguistik)
Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat mandiri atau milik orang
banyak (intersubjektif). Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat otonom dan
mandiri, bukan milik perorangan (subjektif) melainkan merupakan konsensus antar
subjek (pelaku) kegiatan ilmiah. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan ilmiah itu
harus ditopang oleh komunitas ilmiah. Ilmu pengetahuan bukanlah kumpulan
pengetahuan semesta alam atau kegiatan yang dapat dijadikan dasar bagi kegiatan
yang lain, melainkan merupakan teori, prinsip atau dalil yang berguna bagi
perkembangan teori, prinsip atau dalil baru. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan
merupakan rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling berkaitan dan
telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan yang bermanfaat untuk
percobaan lebih lanjut. Pengertian percobaan di sini yaitu pengkajian atau
pengujian terhadap kerangka konseptual, ini dapat dilakukan dengan penelitian
(pengamatan dan wawancara) atau dengan percobaan (eksperimen).
Definisi tersebut memberi tekanan pada makna dan manfaat ilmu
pengetahuan. Kesahihan gagasan baru dan makna penemuan eksperimen baru atau
juga penemuan penelitian baru akan diukur hasilnya, yaitu hasil dalam kaitan
dengan gagasan lain dan eksperimen lain. Dengan demikian, ilmu pengetahuan
tidak dipahami sebagai pencarian kepastian, tetapi sebagai penyelidikan yang
berhasil hanya sampai pada tingkat yang ber
kesinambungan.
Dilihat dari sudut sejarah perkembangannya, ilmu pengetahuan di
zaman dahulu bermula dari tingkat berpikir yang lazim disebut tahap mistik,
tidak terdapat perbedaan di antara pengetahuan yang berlaku juga untuk
objeknya. Pada tahap mistik ini, sikap manusia seperti dikepung oleh kekuatan
gaib di sekitarnya, sehingga semua objek tampil
dalam kesemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi
tidak jelas batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan itu
mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan
dalam pengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui segalanya.
Fenomena ini sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang belum mengenal
berbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi belum adanya
diversifikasi pekerjaan.
Seorang pemimpin dipersepsikan dapat merangkap fungsi apa saja
antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima perang pejabat
pernikahan. ini berarti pula bahwa pemimpin itu mampu menyelesaikan segala
masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang dicanangkan kepadanya.
Tahap berikutnya yaitu tahap ontologis, Yang membuat manusia telah terbebas
dari kepungan kekuatan gaib, sehingga mampu mengambil jarak dan objek di
sekitarnya, dan dapat menelaah nya.Orang-orang yang tidak mengakui status
ontologis objek metafisika pasti tidak akan mengakui status ilmiah dan ilmu
tersebut. Itulah mengapa tahap ontologis dianggap merupakan tonggak ciri awal
pengembangan ilmu. Dalam hal ini subyek menelaah objek dengan pendekatan awal
pemecahan masalah, semata-mata mengandalkan logika berpikir secara nalar. Hal
ini merupakan salah satu ciri pendekatan ilmiah Yang kemudian dikembangkan
lebih lanjut menjadi metode ilmiah yang makin mantap berupa proses berpikir
secara analisis dan sintesis.
Dalam proses tersebut berlangsung logika berpikir secara deduktif
yaitu menarik kesimpulan khusus dan yang umum. Hal ini mengikuti teori
koherensi, yaitu perihal melekatnya sifat yang terdapat pada sumbernya yang
disebut premis-premis yang telah teruji kebenarannya, dengan kesimpulan yang
pada gilirannya otomatis mempunyai kepastian
kebenaran. Dengan kata lain kesimpulan itu praktis sudah diarahkan
oleh kebenaran premis yang bersangkutan. Walaupun kesimpulan itu sudah memiliki
kepastian kebenaran, namun mengingat bahwa prosesnya dipandang masih bersifat
rasional abstrak, maka harus dilanjutkan dengan logika berpikir secara
induktif. Hal ini mengikuti teori korespondensi, yaitu kesesuaian antara hasil
pemikiran rasional dan dukungan data empins melalui penelitian, dalam rangka
menarik kesimpulan umum dan yang khusus. Sesudah melalui tahap ontologis, maka
dimasukkan tahap akhir yaitu tahap fungsional. Pada tahap fungsional, sikap
manusia bukan saja bebas dari kepungan kekuatan gaib, dan tidak semata-mata
memiliki pengetahuan ilmiah secara empiris, tetapi lebih daripada itu.
Sebagaimana diketahui, ilmu itu secara fungsional dikaitkan dengan kegunaan
langsung bagi kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Tahap fungsional
pengetahuan sesungguhnya memasuki proses aspek aksiologi filsafat ilmu, yaitu
yang membahas amal ilmiah serta profesionalisme terkait dengan kaidah moral.
Sementara itu, ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan
pengetahuan dalam satu napas tercakup pula telaahan filsafat yang menyangkut
pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dari segi ontologis, yaitu tentang
apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. ini berarti sejak awal kita
sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini menyangkut yang mempunyai
eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, dan terjangkau oleh pengalaman
indriawi.
Dengan demikian, meliputi fenomena yang dapat diobservasi, dapat
diukur, sehingga datanya dapat diolah, diinterpretasi, diveriflkasi, dan
ditarik kesimpulan. Dengan kata lain, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti
soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan. kedua, dari segi
epistemologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan
pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode, dan teknik
memperoleh data empiris. Kesemuanya itu lazim disebut metode ilmiah, meliputi
langkah-langkah pokok dan urutannya, termasuk proses logika berpikir yang
berlangsung di dalamnya dan sarana berpikir ilmiah yang digunakannya. Ketiga
dan segi aksiologi, sebagaimana telah disinggung di atas, terkait dengan kaidah
moral pengembangan penggunaan ilmu yang diperoleh. Jujun S. Suriasumantri
(1983), memberikan gambaran ketiga aspek ini seperti tergambar dalam
tabel di halaman 174.
B. HAKIKATONTOLOGI ILMU
PENGETAHUAN
Ontologi yaitu cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang
hakikat ilmu pengetahuan. Noeng Muhadjir (2011) menjelaskan bahwa ontologi itu
ilmu yang membicarakan tentang the being; yang dibahas ontologi yaitu hakikat
realitas. Dalam penelitian kuantitatif, realitas tampil dalam bentuk jumlah.
Adapun dalam penelitian kualitatif, ontologi
muncul dalam bentuk aliran, misalnya idealisme, rasionalisme,
materialisme. Keterkaitan antara penelitian kuantitatif dan kualitatif memang
tidak perlu diragukan. Jadi, ontologi itu yaitu ilmu yang membahas seluk beluk
ilmu.
Secara etimologi ilmu dalam bahasa Inggris berarti science.
Pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris, yaitu knowledge. Dalam
encyclopedia of philosophy dijelaskan, bahwa deflnisi pengetahuan yaitu
kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief,). Ontologi itu ilmu
yang menelusuri tentang hakikat ilmu pengetahuan.
TAHAPAN DAN
ASPEK ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, DAN AKSIOLOGI DALAM ILMU PENGETAHLJAN
Tahapan
|
Aspek
|
Ontologi (Hakikat
Ilmu)
|
- Objek apa yang telah ditelaah ilmu?
- Bagaimana wujud yang hakiki dan objek tersebut?
- Bagaimana hubungan antara objek tadi dan daya tangkap manusia
(seperti berpikir, merasa, dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan?
- Bagaimana proses yang memungkinkan digalinya pengetahuan yang
berupa ilmu?
- Bagaimana prosedurnya?
|
Epistemologi
(Cara Mendapatkan
Pengetahuan)
|
- Bagaimana proses yang memungkinkan digalinya pengetahuan yang
berupa ilmu?
- Bagaimana prosedurnya?
- Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan
pengetahuan dengan benar?
- Apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri?
- Apa kriterianya?
- Sarana/cara/teknik apa yang membantu kita dalam mendapatkan
pengetahuan yang berupa ilmu?
|
Aksiologi
(Guna Pengetahuan)
|
- Untuk apa pengetahuan tersebut digunakan?
- Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dan kaidah
moral?
- Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral?
- Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma- norma moral/profesional?
|
Ilmu pengetahuan adalah keberadaan suatu fenomena kehidupan yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Ontologi merupakan salah satu di
antara lapangan penyelidikan keflisafatan yang paling kuno. Awal pemikiran
Yunani telah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Dalam
ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dan
segala yang ada. Pertama kali orang dihadapkan pada persoalan materi
(kebenaran), dan kedua pada kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan). Kedua
realitas mi, yaitu lahir dan batin, merupakan hakikat keilmuan manusia. Manusia
memiliki dua sumber ilmu, yaitu (1) ilmu lahir yang kasatmata dan bersifat
observable, tangible; dan (2) ilmu batin, metafisik yang tidak kasatmata.
Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas, yaitu segala yang ada
dan yang mungkin ada. Hakikat yaitu realitas, artinya kenyataan yang
sebenarnya. Pembahasan tentang ontologi sebagai dasar ilmu berusaha untuk
menjawab pertanyaan “apa itu ada,” yang menurut Aristoteles merupakan the first
philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda-benda (sesuatu). Sebenarnya
bukan sekadar benda yang penting, melainkan fenomena di jagat raya ini, apa dan
mengapa ada. Di alam Seimesta ini, kalau direnungkan banyak hal yang
menimbulkan tanda tanya besar.
Selanjutnya dikatakan Muhadjir, pengertian ontologi menurut bahasa
berasal dari bahasa Yunani, yaitu ontos = being atau ada, dan logos ilmu. Jadi,
ontologi adalah the theory of being quq being (teori tentang keberadaan sebagai
keberadaan). Atau bisa juga disebut sebagai ilmu tentang yang ada atau
keberadaan itu sendiri. Maksudnya, satu pemikiran fisafat selalu diandaikan
berasal dari kenyataan tertentu yang bersifat
ada atau yang sejauh bisa diadakan oleh kegiatan manusia. Tegasnya,
bila suatu pemikiran tidak merniliki keberadaan (landasan ontologi) atau tidak
mungkin pula untuk diadakan, maka pikiran itu hanya berupa khayalan, dorongan
perasaan subjektif, atau kesesatan berpikir yang dapat ditolak atau disangkal
kebenarannya. Hakikat ada atau realitas ada itu, bagi filsafat, selalu bersifat
utuh (eksistensial). Misalnya, bila secara ilmu hukum kita berpikir tentang
kebenaran atau keadilan, maka dapat ditunjukkan bahwa kebenaran atau keadilan
itu ada atau bisa diadakan dalam hidup manusia sehingga bisa dibuktikan atau
ditolak (disangkal) kebenarannya. Konsekuensinya, bila berpikir tentang Tuhan
atau jiwa maka sekurang-kurangnya harus dapat dibuktikan atau ditunjukkan bahwa
Tuhan atau jiwa itu ada, bila tidak maka pikiran itu hanya berupa suatu ide
kosong atau khayalan yang mudah ditolak kebenarannya. Realitas ontologis itulah
yang menjadi dasar pemikiran hukum, teologi, atau psikologi, sehingga pemikiran
hukum, teologi, atau psikologi ini bias buktikan dan didukung (diafirmasi) atau
difalsiflkasikan (ditolak), atau disingkirkan (dinegasi). Realitas ada yang
menjadi objek pemikiran dan pembuktian suatu pemikiran flisafat selalu dipahami
sebagai suatu kenyataan yang utuh, sempurna, dan dinamis, baik dari sisi materi
maupun rohani, atas-bawah, hitarn-putih, dan sebagamnya. Ontologi terbagi atas
dua, yaitu ontologi umurn yang disebut metafisika, dan ontologi khusus
seperti kosmologi, theodice, dan sebagainya.
Heidegger (1981) mengatakan, istilah ontologi pertama kali diperke
nalkan oleh Rudolf Goclenius pada 1936 M , untuk menamai hakikat yang ada bersifat
metafisis. Dalarn perkernbangannya, Christian Wolf (1679-1754) membagi
metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan khusus. Metaflsika umum yaitu
istilah lain dan ontologi. Dengan demikian, metafisika atau ontologi yaitu
cabang filsafat yang membahas tentar prinsip yang paling dasar atau paling
dalam dan segala sesuatu yang adal Adapun metaflsika khusus masih terbagi
menjacli Kosmologi, Psikologj dan Teologi. Ontologi cenderung dekat dengan
metafisika, yaitu ilmu tentang keberadaan di balik yang ada,
Dua pengertian ini merambah ke duniahakikat suatu ilmu. Ontologi
membahas masalah ada dan tiada. Ilmu itu ada, tentu ada asal mulanya Ilmu itu
ada yang tampak dan ada yang tidak tampak. Dengan berpikir ontologi, manusia
akan memahami tentang eksistensi suatu ilmu. Menurut Heidegger eksistensi
membicarakan masalah ada, misalnya cara manusia ada. Manusia ada ketika dia
sadar diri, pada saat memahami tentang “aku”. Ada semacam ini menjadi wilayah
garapan ontologi keilmuan.
Objek yang menjadi kajian dalam ontologi ini yaitu realitas yang
ada. Ontologi yaitu studi tentang yang ada secara universal, dengan mencari
pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam
setiap kenyataan atau menjelaskan yang ada dalam setiap bentuknya. Jadi,
ontologi merupakan studi yang terdalam dan setiap hakikat kenyataan, misalnya;
(a) dapatkah manusia sungguh-sungguh memilih sesuatu; (b) apakah ada Tuhan di
dunia mi; (c) apakah nyata dalam hakikat material ataukah spiritual; (d) apakah
jiwa sungguh dapat dibedakan dengan badan; (e) apakah hidup dan mati itu dan
sebagainya.
Jadi, ilmu pengetahuan merupakan usaha manusia dan proses berpikir
kritis, Akal budi manusia yang melahirkan ilmu pengetahuan. Dalam fenomena
hidup yang sangat sederhana pun akan terkait dengan ilmu pengetahuan. Orang
yang gemar memelihara belut pun butuh ilmu pengetahuan. Orang yang gemar
memelihara ular pun begitu. Tidak ada satu pun fenomena yang lepas dan ilmu pengetahuan.
Maka, di jagat perguruan tinggi sudah lahir sekian banyak cabang ilmu
pengetahuan yang mungkin kita tidak begitu mengenal. Pemikiran keilmuan
bukanlah suatu pemikiran biasa. Pemikiran keilmuan yaitu pemikiran yang
sungguh-sungguh, suatu cara berpikir yang penuh kedisiplinan. Seorang pemikir
ilmuwan tidak akan membiarkan ide dan konsep yang sedang dipikirkannya
berkelana tanpa arah, namun semuanya itu akan diarahkannya pada suatu tujuan
tertentu, yaitu pengetahuan. Jadi, berpikir keilmuan secara fliosofis, yaitu:
(a) berpikir sungguh-sungguh; (b) disiplin; (c) metodis; dan (d) terarah kepada
pengetahuan. Berpikir keilmuan, secara fllosofis, karenanya hendak mengatasi
kekeliruan dan kesesatan pikir serta mempertahankan pemikiran yang benar terhadap
kekuatan fantasi dan omong kosong.
C. CARA BERPIKIR ONTOLOGIS
DALAM ILMU PENGETAHUAN
Menurut Muhadjir (2011), cara berpikir ontologis dapat berbenturan
dengan suatu agama. Agama selalu berpikir tentang ada atas dasar iman atau
keyakinan. Filsafat ilmu ontologi tidak mengajak berdebat antara ilmu dan iman.
Ontologi hendak meletakkan dasar keilmuan. Dalam filsafat ilmu Jawa, misalnya
ada pemikiran ontologi: benarkah Tuhan itu tidak tidur. Jawaban atas realitas
abstrak ini perlu dijawab secara ontologisme melalui perenungan ilmiah.
Masalahnya ketika orang memberiarkan hasil renungannya tentang Tuhan dan tidur,
berarti Tuhan itu mengenal lelah dan kantuk. Jika hal mi benar, berarti Tuhan
itu apa bedanya dengan manusia. Jika manusia tidak memperoleh jawaban yang
memuaskan, muncul lagi pertanyaan bagaimana wujud yang hakiki dan Tuhan?
Bagaimana hubungan antara Tuhan dan daya tangkap manusia seperti berpikir,
merasa, dan mengindra yang membuahkan pengetahuan? Lebih lanjut, apa sebenarnya
yang disebut dengan dengan ilmu pengetahuan, apa saja jenis-jenis ilmu
pengetahuan? Dan mana sumbernya? Banyak prtanyaan yang menggelitik tentang
hakikat kesemestaan. Semakin kritis seseorang berpikir tentang ada, maka dunia
mi seolaholah semakin rumit dan semakin menarik dikaji.
Hal-hal tersebut semakin memperjelas ontologi sebagai cabang
filsafat ilmu yang mencoba mencermati hakikat keilmuan. Membahas ilmu dan dasar
keilmuan itu ada, bentuk ilmu, wajah ilmu, serta perbandingan satu ilmu dengan
yang lain akan menuntun manusia berpikir ontologis. Ontologi menjadi pijakan
manusia berpikir kritis tentang keadaan alam semesta yang sesungguhnya. Itulah
esensi dan peta jagat raya yang misterius penuh dengan teka-teki. Ilmu itu
telah tertata sistematis dengan pengalaman metodologi yang rapi. Sebelum
menjadi ilmu, sebenarnya masih berupa pengetahuan. Pengetahuan yaitu
keseluruhan yang diketahui yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun
fisik. Pengetahuan yaitu informasi yang berupa common sense masih terserak dan
umum. Pengetahuan itu juga pengalaman manusia, pengalaman yang mantap akan
menjadi ilmu pengetahuan. Ilmu seperti lidi yang sudah diraut dan telah menjadi
sekumpulan sapu lidi, sedang pengetahuan sepertilidi yang masih berserakan di
pohon kelapa, di pasar, dan di tempat lain yang belum tersusun dengan baik.
Dengan ontologi, orang akan mampu membedakan mana ilmu dan mana pengetahuan,
mana ilmu pe-. ngetahuan dan mana non ilmu.
Pemahaman tentang arti dan hakikat filsafat itu sendiri akan
menjadi lebih jelas bila dilihat dalam posisi perbandingan dengan ilmu lain.
Filsafat dalam hal ini lebih merupakan suatu pemikiran yang universal,
menyeluruh, dan mendasar, sementara ilmu lainnya lebih merupakan pemikiran yang
lebih spesifik atau khusus, karena dibatasi pada objek dan sudut pandang
pemikirannya yang khas. Objek penelitian flisafat mencakup segala sesuatu,
sejauh bisa dijangkau oleh pikiran manusia. Filsafat berusaha menyimak dan
menyingkap seluruh kenyataan dan menyelidiki sebab-sebab dasariah dan segala
sesuatu. Filsafat, karenanya ingin mengkritisi dan menembusi berbagai sekat
pemikiran ilmu lainnya, serta berusaha mencapai sebab terakhir dan mutlak
(absolut) dan segala yang ada.
Titik berangkat filsafat yang pertama yaitu kegiatan manusia,
dalam hal ini secara khusus kegiatan pengetahuan dan kehendak manusia yang
merupakan kegiatan pertama yang secara langsung dialami oleh manusia. Manusia,
di dalarn kegiatannya yang pertama dimaksud, menjadi sadar akan eksisteflsiflya
sendiri dan eksistensi orang atau hal lainnya. Filsafat, karena itu, berusaha
mendalami, rnenyingkap, dan menjelaskan kesadaran eksistensi din manusia dan
sesama yang lain, secara luas dan mendalam sampai ke akar-akar realitasnya yang
fundamental. Proses penelitian filsafat itu mulai dan bentuk pengetahuan biasa
yang dimiliki individu dalam kehidupan sehari-harinya, warisan budaya masa
lalu, dan juga hasil penelitian dan pemikiran ilmu Iainnya yang bersifat
khusus. Jenis pengetahuan khusus mi sungguh membantu filsafat, tetapi juga
membantu bentuk-bentuk pengetahuan khusus dan ilmu lain itu untuk makin
memantapkan dan menyempurnakan prinsip-prinsip dasarnya.
Filsafat berusaha menerangi dunia dengan rasio manusia, dan
karenanya, filsafat lebih merupakan “kebijaksanaan duniawi”, bukan
“kebijaksanaan Ilahi” yang sempurna dan mutlak abadi. Maka itu filsafat berbeda
dengan ilmu teologi. Teologi berusaha melihat Allah dan kegiatannya di dalam
dunia berdasarkan wahyu adikodrati. Biarpun filsafat merupakan kegiatan dan
produk rasio, ia tetap bukan ciptaan rasio semata. Alasannya, karena rasio itu
sendiri merupakan bagian integral dan keutuhan eksistensi manusia yang terkait
dengan aspek-aspek lainnya dan tatanan eksistensi manusia itu sendiri yang
bersifat “monopluralis” (satu di dalam banyak dan banyak di dalam satu). Filsafat
tidak hanya berupaya memuaskan pencarian manusia akan kebenaran, tetapi ia juga
berusaha
menerangi dan menuntun arah atau orientasi kehidupan manusia
secara kritis dan jelas, bukan dengan spekulasi yang absurd, hambar, dan penuh
khayalan yang sia-sia.
Filsafat tidak pernah akan menerima secara buta berbagai
pemikiran, keyakinan, egoisme keilmuan, atau pardangan kepribadian yang
bersifat ihdividual semata. Justru filsafat berusaha menguji, mengkritisi, dan
berusaha mengajukan pertanyaan secara baru dan menjawabnya secara baru pula,
berdasarkan aktualitas dan tuntutan dinamika perkembangan yang dihadapi.
Filsafat, karena itu, tidak akan pernah menjadikan dirinya sebagai kebenaran
ideologis yang serba sempurna dan serba oke, yang membelenggu manusia. Justru
filsafat tetap yaitu suatu program pencerahan dalam rangka otonomi, emansipasi,
dan perkembangan manusia. Immanuel Kant, dalam Kunto Wibisono (1997)
mengatakan, untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dengan yang lainnya
memang tidaklah mudah. Khazanah kehidupan manusia yang begitu luas memang
memungkinkan menguasai berbagai pengetahuan. Seseorang dapat memiliki berbagai
pengetahuan mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks. Setiap pengetahuan
tentu memiliki ciri khasnya, hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai
pengetahuan yang ada Seperti ilmu pengetahuan, seni, dan agama, serta
meletakkan mereka pada tempatnya masing-masing sehingga memperkaya kehidupan
kita. Orang dapat mengenal hakikat bahasa, sastra, dan budaya menurut katagori
tertentu. Tanpa mengenal katagori dan ciri khas setiap pengetahuan dengan
benar, maka kita tidak dapat menggunakannya secara maksimal bahkan dapat
menjerumuskan kita. Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu
dan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat
menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang
filsafatlah yang mampu mengatasi hal itu.
Selanjutnya dikatakan Kant dalam Kunto, bahwa filsafat merupakan
disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan
manusia secara tepat. Francis Bacon menyebut filsafat Sebagai ibu agung dan
ilmu (the great mother of the sciences). Lebih lanjut Koento Wibisono dkk.
(1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher
level of knowledge,” maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan
filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek
sasarannya: ilmu (pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan
pada komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu
ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffl
(dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mecari
pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaima ditunjukkan oleh
ilmu.
Pengetahuan (knowledge) yaitu sesuatu yang diketahui langsung dan
pengalaman, berdasarkan pancaindra dan diolah oleh akal budi secara spontan.
Pengetahuan masih pada tataran indriawi dan spontanitas belum ditata melalui
metode yang jelas. Pengetahuan berkaitan erat dengan kebenaran, yaitu
kesesuaian antara pengetahuan yang dimiliki manusia dengan realitas yang ada
pada objek. Namun kadang-kadang kebenaran yang ada dalam pengetahuan masih
belum tertata dengan rapi, belum teruji secara metodologis. Orang melihat
kebakaran, itu pengetahuan orang melihat tsunami lari ke tempat yang tinggi,
itu pengetahuan. Pengetahuan masih sering bercampur dengan insting.
Ilmu (sains) berasal dan bahasa Latin, scientia, yang berarti
knowledge. Ilmu dipahami sebagai proses penyelidikan yang memiliki disipun
tertentu. Ilmu bertujuan untuk meramalkan dan memahami gejala alam. Meramalkan
tidak lain suatu proses. Meramalkan bisa saja melalui penafsiran. Ilmu
sebenarnya juga suatu pengetahuan, namun telah melalui proses penataan yang
sistematis. Ilmu telah memiliki metodologi yang handal. Ilmu dan pengetahuan
sering kali dikaitkan sehingga membentuk dunia ilmiah. Gabungan ilmu dan
pengetahuan selalu terjadi di ranah penelitian apa PUfl. HI-flu tanpa
pengetahuan tentu sulit terjadi. pengetahuan yang disertai ilmu jelas akan
lebih berarti.
Ilmu pengetahuan yaitu pengetahuan yang telah diolah kembali dan
disusun secara metodis, sistematis, konsisten, dan koheren. Metodis, berarti
dalam proses menemukan dan mengolah pengetahuan menggunakan metode tertentu
tidak serampangan. Sistematis, berarti dalam usaha menemukan kebenaran dan
menjabarkan pengetahuan yang diperoleh rnenggunalcan langkah-langkah tertentu
yang terarah dan teratur sehingga menjadi suatu keseluruhan yang terpadu.
Selain tertata, tersistem, dan terpadu pengetahuan perlu disintesiskan secara
koheren. IKoheren, berarti setiap bagian dan jabaran ilmu pengetahuan itu
merupakan rangkaian yang saling terkait dan berkesesuaian. Konsistensi
(conistence) merupakan ciri dari ilmu pengetahuan yang disebut ilmiah. Iimiah
yaitu kadar berpikir, berakal budi yang disertai penataan.
Wilayah ontologi yaitu ruang penataan eksistensi keilmuan. dan
ciri-ciri ilmu pengetahuan seperti inilah yang membedakan dengan pengetahuan
biasa. Agar pengetahuan menjadi ilmu, maka pengetahuan itu harUs dipilah
(menjadi suatu bidang tertentu dan kenyataan) dan disusun secara metodis,
sistematis, dan konsisten. Melalui metode ilmiah suatu pengalaman bisa
diungkapkan kembali secara jelas, perinci, dan akurat. Penataan pengetahuan
secara metodis dan sistematis membutuhkan proses.
Thales, Plato, dan Aristoteles ialah tokoh Yunani yang memiliki
pandangan yang bersifat ontologis dan meletakkan dasar ilmu pengetahuan.
Sebagaimana pengetahuan, hakikat maupun sejarah perkembangan ilmu ito sendiri
merupakan suatu problem di dalam filsafat. Pada zaman Yuflani Kuno, ilmu
dipandang sebagai bagian dan filsafat; pada saat lain, terpisah dan filsafat.
Ilmu dahulu dipandang sebagai disiplin tunggal (bersifat monistik), dan
sekarang dipandang sebagai seperangkat disipun yang dinamis dan terlepas-lepas
berdasarkan spesialisasi ilmu atau keahlian. Dahulu ilmu dipandang sebagai hal
yang berurusan dengan kenyataan (fakta) fisik, sekarang ilmu dianggap bergumul
dengan fenomena (gejala fisik dan nonfisik). Karenanya, ilmu kemudian
dikategorikan ke dalam tipe deduktif dan induktif.
Pada zaman Yunani Kuno, filsafat (yang dipahami sebagai ilmu).
Filsafat dan ilmu bersifat saling menjalin dan orang tidak memisahkan keduanya
sebagai hal yang berbeda. Filsafat dan ilmu berusaha mene liti dan mencari
unsur-unsur dasariah alam semesta. Usaha ini sekarang disebut usaha keilmuan
(usaha ilmiah).
Thales (640-546 SM) merupakan pemikir pertama, yang dalam sejarah
filsafat disebut the Father of Philosophy (Bapak Filsafat). Banyak sarjana
kemudian mengakui Thales sebagai ilmuwan yang pertama di dunia. Bangsa Yunani
rnenggolongkan Thales sebagai salah seorang dan seven wise men of greece (tujuh
orang arif Yunani). Thales mengembangkan filsafat alam (kosmologi) yang
mempertanyakan asal mula, sifat dasar, dan struktur komposisi alam semesta.
Thales, dalam penyelidikan keilmuannya, menyimpulkan bahwa penyebab utama
(causa prima) dan semua alam itu adalah “air” sebagai materi dasar dan kosmis.
Sebagai ilmuwan, Thales mengembangkan fisika, astronomi, dan matematika, dengan
antara lain mengemukakan beberapa pendapat keilmuannya: bahwa bulan bersinar
karena memantulkan cahaya matahari, menghitung terjadinya gerhana matahari, dan
membuktikan dalil-dalil geometri. Prestasi Thales dalam sejarah keilmuan,
ditunjukkannya dalam hal pembuktian dalilnya bahwu kedua sudut alas dari satu
segitiga sama kaki, sama besarnya. Thales, melalui itu, menunjukkan bahwa ia
ialah ahli matematika dunia yang pertama dan Yunani. Para ahli dewasa mi,
justru itu, menyebut Thales sebagai ‘ the Father of Deductive Reasoning’ (Bapak
Penalaran Deduktif). Pythagoras (572-497 SM) ialah ilmuwan Yunani Kuno yang
muncul sebagai ilmuwan matematika.Ia mengajarkan bahwa bilangan merupakan
intisari dan semua benda serta dasar pokok dari sifat-sifat benda.
Dalil Pythagoras tersebut “number rules the universe” (bilangan
memerintahkan jagat raya ini). ia berpendapat bahwa matematika merupakan salah
satu sarana atau alat bagi pemahaman filsafat. Plato (428-348 SM) ialah
filsafat besar Yunani dan ilmuwan spekulatif, yang menegaskan bahwa filsafat
atau ilmu merupakan pencarian yang bersifat perekaan (spekulatif) tentang
seluruh kebenaran. Plato, dalam hal mi memandang ilmu sebagai hal yang
berhubungan dengan opini atau ajaran (doxa). Ia mengajarkan bahwa geometri
merupakan ilmu rasional berdasarkan akal murni, yang berusaha membuktikan
pernyataan (proposisi) abstrak mengenai ide yang abstrak, misalnya segitiga
sempurna, lingkaran sempurna, dan sebagainya.
Aristoteles (382-322 SM) lebih memahami ilmu sebagai pengetahuan
demonstratif, tentang sebab-sebab utama segala hal (causa prima). Ilmu dalam
hal mi bersifat teoretis (ilmu tertinggi), praktis (ilmu terapan), dan
produktif (ilmu yang bermanfaat), semuanya dalam kesatuan utuh (tidak bersifat
ilmu majemuk). Aristoteles mempelajari berbagai ilmu, antara lain biologi,
psikologi, dan politik. Ta juga mengembangkan ilmu tentang penalaran (logika),
yang dalam hal mi disebutnya dengan nama analitika, yaitu ilmu penalaran yang
berpangkal pada premis yang benar; dan dialektika, yaitu ilmu penalaran yang
berpangkal pikir pada hal-hal yang bersifat tidak pasti (hipotesis). Semua
tulisan Aristoteles tentang ilmu tentang penalaran (logika) itu ditulis dalam
enam naskah yang masingmasingnya berjudul Categories, On Interpretation, Prior
Analytics, Posterior Analytics, Topics, Sophistical Refitations. Jelasnya,
perkembangan sejarah ilmu pada abad Yunani Kuno telah berkembang dalam empat
bidang keilmuan, yaitu filsafat (kosmologi), ilmu biologi, matematika, dan
logika, dengan ciri perkembangannya masing-masing. Selama abad pertengahan,
ilmu atau scientia dipahami sebagai jenis pengetahuan yang dipunyai Allah
tentang manusia. Ilmu, karenanya, dilihat semata-mata dalam perspektif ilmu
teologi, artinya ilmu memiliki kedudukan dan peranan sebagai pelayanteologi. Triviwn, yaitu gramatika, retorika, dan
dialektika; dan quardriviwn, yaitu
aritmatika, geomerti, astronomi, dan musik, di pihak lain memuat sejumlah studi
yang dianggap sebagai ilmu dalam arti yang kurang ketat. Averroes menganggap
being (yang ada) sebagai istilah yang seragam sama persis (univok) untuk
memandang ilmu sebagai pengetahuan abadi yang berurusan dengan ke apaan semua
hal.
Ilmu mengalami perkembangan revolusioner pada abad modern. Muncul
para tokoh pembaru seperti Galileo Galilei, Francis Bacon, Roger Bacon, René
Descartes, dan Ishak Newton yang memperkenalkan matematika dan metode
eksperimental untuk mempelajari alam. Ilmu akhirnya berkembang dengan sifatnya
yang eksperimental, bercabang-cabang, dan partikular (saling terpisah), serta otonom.
Bahkan, sejarah keilmuan abad modern telah menampilkan spesialisasi sebagai
ciri keilmuan modern itu sendiri. Roger Bacon, sejak awal zaman modern telah
mengembangkan dasar-dasar keilmuannya yang bersifat ilmu eksperimental. Roger
Bacon, dalam hal ini berusaha mengembangkan ilmu dengan melibatkan kegiatan
pengamatan (observasi), prosedur metodik (induktif), maupun matematika yang
dianggap lebih tinggi dan ilmu-ilmu spekulatif (misalnya teologi), yang
dikembangkan sebelumnya pada Abad Pertengahan. Paham keilmuan mi kemudian lebih
diperkuat lagi oleh Francis Bacon, yang menandaskan peranan metode induktif di
dalam ilmu. Francis Bacon menunjukkan bahwa metode induktif merupakan jalan
satu-satunya menunju kebenaran ilmu, serta menunjukkan kegunaan ilmu itu sendiri.
Menurut Francis Bacon, ilmu bersifat majemuk karena mencermin yang kan aneka
fakultas (kemampuan) manusiawi. Misalnya, ilmu alam berawal dan kemampuan akal,
sementara sejarah berasal dari kemampuan ingatan. Thomas Hobbes, di kemudian
han, membagi ilmu ke dalam dua tipe, yaitu ilmu yang berasal dan fakta seperti
nyata dalam ilmu empiris eksperimental, dan ilmu yang berasal dan akal seperti
nyata dalam ilmu spekulatif. Galileo Galilei menjalankan sepenuhnya metode yang
digariskan oleh Roger Bacon. Menurut Galileo (ilmuwan besar dunia dan Itali)
ilmu berkembang dan filsafat alam yang lebih dikenal sebagai ilmu alam, melalui
pengukuran kecepatan cahaya sampai penimbangan obor udara Sebagai ilmuwan
matematika, ia mengajarkan suatu ucapannya yang sangat terkenal, yaitu
“Filsafat ditulis dalam sebuah buku besar, tetapi buku itu tidak dapat dibaca
dan dimengerti bila orang tidak lebih dahulu belajar memahami bahasa dan
membaca huruf-huruf yang dipa-kai untuk menyusunnya, yaitu matematika.”
Perkembangan ilmu mencapai puncak kejayaannya di tangan Ishak
Newton. Menurut Newton, inti keilmuan yaitu pada pencarian pola data matematis,
dan karena itu ia berusaha membongkar rahasia alam dengan menggunakan
matematika. Ilmuwan dunia dan Inggris mi berhasil merumuskan suatu teori
tentang “gaya berat” dan “kaidah mekanika” yang semuanya tertulis melalui
karyanya yang berjudul Philosophiae Natural is Principia Mathematica
(Asas-ascis Mateinatika dan Filsafat Alain), diterbitkan pada 1687.
Perkembangan pada kemudian han, ternyata Plillosophia Naturalis memisahkan din
dan filsafat dan para ahli menyebutnya dengan nama fisika. Jelasnya, pandangan
keilmuan abad modern yang berciri empiris-eksperimental dengan pendekatan
induktifnya yang ketat, telah dikembangkan secara lebih progresif oleh Ishak
Newton dalam suatu perspektif keilmuan yang berciri positivistik. René
Descartes, menunjukkan suatu kecenderungan lain di dalam paham keilmuannya.
Kenyataan mi makin menunjukkan ciri perkembangan keilmuan modern yang bersifat
majemuk dan partikular (terpisah-pisah). Menurut Descartes, ilmu tidak memiliki
basis lain kecuali akal budi. Metode akal budi dapat diterapkan dalam problem
apa pun. Ilmu memiliki keterkaitan batiniah dengan kepastian dan
sungguh-sungguh disejajarkan dengan paham Abad Pertengahan tentang
premis-premis ketuhanan dalam ilmu.
Dunia keilmuan modern mengalarni perkembangan dengan munculnya
cabang-cabang keilmuan modern. Perkembangan mana terjadi karena berkat
penerapan metode empiris yang makin cermat serta pemakaian alat-alat keilmuan
yang lebih lengkap. Bahkan, perkembangan mi disebabkan pula oleh adanya arus
komunikasi antar-ilmuawan yang senantiasa meningkat. Hal mana lebih menonjol
pada 1700-an. Setelah memasuki usia dewasa, cabang-cabang ilmu mi memisahkan
din dan flusafat, sebagaimana yang terjadi dengan fisika. Pemisahan mi
pertamatama dilakukan oleh biologi, pada awal abad XIX, dan kernudian
psikologi, yang kemudian disusul lagi oleh sosiologi, antropologi, ilmu
ekonomi, dan politik. Ciri perkembangan dunia keilmuan modern mi ditentukan
oleh tokoh-tokoh berikut.
Auguste Comte, di sisi lain, makin memantapkan iklim pertentangan
(konflik dan kontroversi) di dalam alam keilmuan modern. Comte mengonstatasi
adanya kecenderungan keilmuan yang makin mengarah dan spektrum keabstrakan,
misalnya matématika yang kian berkembang men1nju tahap positif dalam ilmu
kemasyarakatan yang utuh dan sempuma (sosiologi). Tahapan perkembangan ilmu
dimaksud sesuai urutan pemunculannya di dunia. “Positivisme” dalam keilmuan
terletak pada pernyataan bahwa penjelasan ilmiah (eksplanasi) merupakan unsur
dominan dalam setiap bidang pengalaman manusia. Tahapan perkembangan ilmu mi
disebut hukum perkembangan.
Hukum tiga tahap tersebut mengingatkan pada pandangan Hegel dan
Marx dengan ajaran dialektikanya yang memandang perkembangan sebagai suatu
gerak linier dan “tertutup.” Artinya, mereka melihat proses perkembangan
pemikiran atau pengetahuan dan ilmu dalam tahap yang saling terpisahkan dan
tidak secara utuh (holistik) serta menyeluruh (komprehensif). Perkembangan ilmu
pun cenderung dilepaskan secara total dan keseluruhan realitas kemanusiaan yang
merupakan sumber utama pengetahuan dan ilmu itu sendiri. Perkembangan
pengetahuan dan ilmu hanya berusaha untuk memenggal dan mengambil sebagian saja
dan realitas itu, yaitu realitas fisik materialnya untuk menjadi objek atau
dasar ontologis dalam mengembangkan ilmunya.Ontologi materialistik ini telah
melahirkan pandangan keilmuan yang pincang tentang realitas serta menciptakan
orientasi kehidupan yang sangat materialistik dalam kehidupan manusia modern.
Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara pengetahuan
yang memuat penampakan dan kenyataan. Kedua hal mi dalam pandangan Thales
sebagai filsuf pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi
terdalam yang merupakan asal mula Se- gala sesuatu. Dia tampaknya melihat
realitas dan sisi yang tampak; yang tampak itulah realitas (kenyataan). Secara
saksama, dia sebenarnya telah berpikir ontologi tentang sangkaan peran alam
semesta. Kita jarang menyadari bahwa dalam tubuh kita berasal dan air. Namun
yang lebih penting, pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu
berasal dan satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada
berdiri sendiri). Ada ketergantungan dalam suatu ilmu pengetahuan me.mang sulit
dielakkan. Ilmu pengetahuan apa pun, secara ontologismn tentu berkait dengan
sumber yang lain. Maka kemandirian dalam ilmu atau otonomi ilmu pengetahuan itu
hampir tidak mungkin. Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara
mendasar tentang hakikat dan ilmu pengetahuan itu, bahkan hingga implikasinya
ke bidang kajian lain seperti ilmu kealaman. Dengan demikian, setiap perenungan
yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam ka-
wasan filsafat.
Menurut Kunto Wibisono (1984), filsafat dan suatu segi dapat
dideflnisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakikat dan sesuatu
“ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu pengetahuan yang
merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya merupakan ilmu yang
berusaha untuk memahami apakah hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Lebih lanjut Koento Wibisono mengemukakan bahwa hakikat ilmu
menyangkut masalah keyakinan ontologis, yaitu suatu keyakinan yang harus
dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan tentang apakah “ada”
(being, sein, het zijn) itu. Inilah awal mula, sehingga seseorang akan memilih
pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis, agnostisistis, dan
lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan dalam pemilihan
epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil dalam upaya menuju
sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi, yaitu nilai-nilai,
ukuran mana yang akan digunakan dalam seseorang mengembangkan ilmu.
Dengan memahami hakikat ilmu itu, menurut Poespoprodjo dalam
Koento, dapatlah dipahami bahwa perspektif ilmu, kemungkinan pengembangannya,
keterjalinannya antar-ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu, dan lain
sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dan itu,
dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu kita akan didorong untuk memahami kekuatan
serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya, struktur
pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian rupa,
sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dan kecongkakan serta kerabunan
intelektualnya.
D. KARAKTERISTIK ILMU PENGETAHUAN SECARA ONTOLOGIS
Pengetahuan dan ilmu pengetahuan tentu berkaitan dengan realitas.
Orang yang mempelajari pengetahuan dan ilmu pengetahuan akan menelusuri
realitas secara cermat. Hakikat kenyataan atau realitas memang bisa didekati
dan sisi ontologi dengan dua macam sudut pandang kuantitatif dan kualitatif.
Secara sederhana, ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari
realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Realitas itu yang menarik
perhatian para ilmuwan. Tanpa realitas kitasulit menyebut apa yang ada di dunia
dan hakikat yang ada di dalamnya.
Ontologi sebagai cabang filsafat ilmu telah melahirkan sekian banyak
aliran ontologisme. Tiap aliran ontologi biasanya memegang pokok pikiran yang
satu sama lain saling mendukung dam melengkapi. Beberapa aliran dalam bidang
ontologi yakni realisme, naturalisme, dan empirisme. Aliran ini yang membangun
pemikiran para ahli filsafat ilmu untuk memahami esensi suatu ilmu. Ilmu itu
dapat ditinjau dan tiga aliran itu untuk menemukan hakikat.
Atas dasar ketiga aliran tersebut, ontologi selalu memiliki
ciri-ciri khusus. Setiap aliran memberikan gambaran luas suatu cabang keilmuan.
Ciri-ciri khas terpenting yang terkait dengan ontologi antara lain: Pertama,
yang ada (being), artinya yang dibahas eksistensi keilmuan. Kedua, kenyataan
atau realitas (reality), yaitu fenomena yang didukung oleh data-data yang
valid. Ketiga, eksistensi (existence), yaitu keadaan fenomena yang sesungguhnya
yang secara hakiki tampak dari tidak tampak. Keempat, esensi (essence), yaitU
pokok atau dasar suatu ilmu yang lekat dalam suatu ilmu. Kelima, substansi (substance),
artinya membicarakan masalah isi dan makna suatu ilmu bagi kehidupan manusia.
Keenam, perubahan (change), artinya ilmu itU cair, berubah setiap saat, menuju
ke suatu kesempurnaan. Ketujuh, tunggal (one) dan jamak (many), artinya keadaan
suatu ilmu dan fenomena itu terbagi menjadi dua. Ontologi akan mengungkap apa
dan seperti apa benda, sesuatu, dan fenomena itu ada. Ada dalam konteks mi
masih boleh dibantah.
Ontologi itu pantas dipelajari bagi orang-orang yang ingin
memahami secara menyeluruh tentang dunia mi dan berguna bagi studi-studi empiris,
misalnya antropologi, sosiologi, kedokteran, ilmu budaya, fisika, dan ilmu
teknik. Orangyang belajar ontologi akan paham tentang hakikat suatu ilmu. Tentu
saja hakikat itu perlu disadari, diresapi, dan dinikmati. Setiap aliran
ontologi tentu memiliki objek keilmuan yang berbeda-beda Objek telaah ontologi
yaitu tentang ada. Ada dalam konteks ilmu, perlu didukung oleh fakta dan
konfirmasi. Studi tentang yang ada pada dataran studi filsafat pada umumnya
dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi banyak digunakan ketika
kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada yang tidak terikat oleh satu
perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada dan bersifat universal,
menampilkan pemikiran yang universal. Setiap ilmu memiliki kekuatan universal
yang berlaku dalam konteks kesejagatan. Ontologi berupaya mencari inti yang
termuat dalam setiap kenyataan atau menjelaskan yang ada yang meliputi semua
realitas dalam semua bentuknya. Realitas alam sernesta memang tidak mudah
dijelaskan karena memang sulit untuk dipahami. Tidak semua ilmu itu mudah
dijelaskan jika tanpa pemahaman yang tajam.
Dasar ontologi ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat
diuji oleh pancaindra manusia. Jadi, rnasih dalam jangkauan pengalaman manusia
atau bersifat empiris. Objek empiris dapat berupa objek material seperti ide,
nhlai-nilai, tumbuhan, binatang, batu-batuan, dan manusia itu sendiri. Ontologi
merupakan salah satu objek lapangan penelitian kefilsafatan yang paling kuno.
Untuk memberi arti tentang suatu objek ilmu, ada beberapa asumsi yang perlu
diperhatikan, yaitu: Pertama, suatu objek bisa dikelompokkan berdasarkan
kesamaan bentuk, sifat (substansi), struktur atau komparasi, dan kuantitatif
asumsi. Kedua, kelestarian relatif, artinya ilmu tidak mengalami perubahan
dalam periode tertentu (dalam waktu singkat). Ketiga, determinasi, artinya ilmu
menganut pola tertentu atau tidak terjadi secara kebetulan.
Objek ontologi sama halnya dengan objek fllsafat seperti yang
telah dibahas sebelumnya, yakni: Pertaina, objek formal, yaitu objek formal
ontologi sebagai hakikat seluruh realitas. Objek formal mi yaitu cara memandang
yang dilakukan oleh peneliti terhadap objek materialnya. Objek formal dan suatu
ilmu tidak hanya memberi keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama
mernbedakannya dengan bidang yang lain. Satu objek formal dapat ditinjau dan
berbagai sudut pandang sehingga menimbulkan ilmu yang berbeda-beda. Kedua,
objek material, yaitu sesuatu hal yang dijadikan sasaran pemikiran, sesuatu
yang diselidiki atau sesuatu hal yang dipelajari. Objek material mencangkup hal
konkret, misalnya manusia, tumbuhan, batu, atau hal-hal yang abstrak seperti
ide, nilai-nilai, dan kerohanian. Kedua objek ini akan membingkai pada berbagai
penelitian. Penelitian akan menyangkut dua metode besar, yaitu metode
kualitatif dan kuantitatif.
Metode kuantitatif merupakan suatu realitas yang tampil dalam
kuantitas atau jumlah, sedangkan kajiannya akan menjadi kualitatif, realitas
akan tampil menjadi aliran materialisme, idealisme, naturalisme,
atau.hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu banyak sekali.
Hylomorphisme diketengahkan pertama kali oleh Aristoteles dalam bukunya de
anima. Dalam tafsiran para ahli selanjutnya dipahami sebagai upaya mencari
alternatif bukan dualisme, melainkan menampilkan aspek materialisme dan mental.
Baik aspek mental maupun material, jika dipadukan akan memunculkan abstraksi
manusia. Abstraksi pula yang membangun sejumlah ide dan jawaban terhadap
keraguan ilmuwan. Jika direnungkan hampir tidak ada ilmu pengetahuan yang lahir
tanpa melewati proses abstraksi. Ada tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi,
yaitu: Pertama, abstraksi fisik, menampilkan keseluruhan sifat khas suatu
objek. Kedua, abstraksi bentuk, mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri
semua yang sejenis. Ketiga, abstraksi metafisik, mengetengahkan prinsip umum
yang menjadi dasar dan semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi
yaitu abstraksi metafisik. Ketiga abstraksi ini merupakan bagian dan berpikir
ontologi, yaitu mernikirkan tentang hakikat suatu fenomena. Abstraksi akan
membangun kemampuan berpikir yang logis terhadap suatu keadaan.
Dalam pemahaman ontologi ada beberapa karakter pemikiran, di an
taranya monoisme. Paham ini menganggap bahwa hakikat yang berasal dari
kenyataan yaitu satu saja, tidak rnungkin dua. Haruslah satu hakikat sebagai
sumber asal, baik berupa materi maupun rohani. Paham ini terbagi menjadi dua aliran:
(a) Materialisme, aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu mateni,
bukan rohani. Aliran ini sering disebut naturalisme. Menurut aliran ini zat
mati merupakan kenyataan dari satu-satunya fakta yaitu materi, sedangkan jiwa
atau roh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. (b)
Idealisme, sebagai lawan dan materialisme yang dinamakan spiritualisme.
Idealisme berasal dari kata “ideal,” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.
Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam
itu semua berasal dan roh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang
tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat ini hanyalah suatu jenis
dan penjelmaan rohani, yang meliputi:
Pertama, dualisme, aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari
dua macam hakikat, sebagai asal sumbernya yaitu hakikat materi dan rohani,
benda dan roh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari benda, sama-sama
hakikat, kedua macam hakikat ini masing-masing bebas dan berdiri sendiri,
sama-sama abadi, hubungan keduanya menciptakan kehidupan di alam mi. Tokoh dan
paham mi ialah Descartes (1596-1650 SM) yang dianggap sebagai Bapak Filsuf
Modern.
Kedua, pluralisme, paharn ini beranggapan bahwa segenap macam
bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dan keseluruhan dan mengakui
bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata, tokoh aliran ini pada masa
Yunani Kuno ialah Anaxagoras dan Empedcoles, yang menyatakan bahwa substansi
yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan
udara.
Ketiga, nihilisme, berasal dan bahasa Yunani yang berarti nothing
atau tidak ada. Istilah nihilisme dikenal oleh Ivan Turgeniev, novelis asal
Rusia, doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani Kuno,
terbukti dalam pandangan Grogias (48 3-360 SM) yang memberikan tiga proporsi
tentang realitas: (a) Tidak ada sesuatu pun yang eksis. Realitas itu sebenarnya
tidak ada. (b) Bila sesuatu itu ada, maka hal itu tidak dapat diketahui karena
disebabkan oleh pengindraan itu tidak dapat dipercaya, pengindraan itu sumber
ilusi. (c) Sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, hal itu tidak akan dapat
kita beritahukan kepada orang lain.
Keempat, agnotisisme, paham mi mengingkani kesanggupan manusia
untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat rohani, kata
agnotisisme berasal dan bahasa Yunani. Ignotos berarti unknow, artinya not, Gno
artinya Know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal
dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri
dan dapat dikenal.
BAB
9
KONSTRUKSI
EPISTEMOLOGI
ILMU
PENGETAHUAN
A. HAKIKAT EPISTEMOLOGI ILMU
PENGETAHUAN
Manusia pada dasarnya ialah makhluk pencari kebenaran. Manusia
tidak pernah puas dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari
kebenaran yang sesungguhnya dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban.
Namun setiap jawaban itu juga selalu memuaskan manusia. Ia harus mengujinya
dengan metode tertentu untuk mengukur apakah yang dimaksud di sini bukanlah
kebenaran yang bersifat semu, melainkan kebenaran yang bersifat ilmiah yaitu
kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah. Perkembangan pengetahuan
yang semakin pesat sekarang ini, tidak lah menjadikan manusia berhenti untuk
mencari kebenaran. Justru seba liknya, semakin menggiatkan manusia untuk terus
mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori yang sudah ada sebelumnya
untuk menguji suatu teori baru atau menggugurkan teori sebelumnya. Sehingga
manusia sekarang lebih giat lagi melakukan penelitian yang bersifat ilmiah
untuk mencari solusi dan setiap permasalahan yang dihadapinya. Karena itu
bersifat statis, tidak kaku, artinya ia tidak akan berhenti pada satu titik,
tapi akan terus berlangsung seiring dengan waktu manusia dalam memenuhi rasa
keingintahuannya terhadap dunianya.
Jujun S. Suriasumantri (2010) mengatakan pengetahuan merupakan
khazanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turut
memperkaya kehidupan kita. Pengetahuan juga dapat dikatakan sebagai jawaban dan
berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan. Dan suatu pertanyaan
diharapkan mendapatkan jawaban yang benar. Maka dan itu muncullah masalab,
bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar? Masalah inilah yang pada
ilmu filsafat disebut dengan epistemologi.
Lahirnya epistemologi pada hakikatnya yaitu karena para pemikjr
melihat bahwa pancaindra manusia merupakan satu-satunya alat peng. hubung
antara manusia dengan realitas eksternal. Dalam memahami dan memaknai realitas
eksternal mi kadang kala dan bahkan senantiasa melahirkan banyak kesalahan dan
kekeliruan, dengan demikian, sebagian pemikir tidak menganggap valid lagi indra
lahir itu dan berupaya membangun struktur pengindraan valid yang rasional.
Namun pada sisi lain para pemikir sendiri berbeda pendapat dalarn banyak persoalan
mengenai akal dan rasionalitas, dan keberadaan argumentasi akal yang saling
kontradiksi dalam masalah pemikiran kemudian berefek pada kelahiran aliran
sofisme yang mengingkari validitas akal dan menolak secara mutlak segala bentuk
eksistensi eksternal.
B. SEJARAH
KONSTRUKTIVISME EPISTEMOLOGI
Jujun S. Suriasumntri (2010) mengatakan epistemologi merupakan
cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan. Epistemologi mencoba untuk
menjawab pertanyaan mendasar: apa yang membedakan pengetahuan yang benar dan
pengetahuan yang salah? Secara praktis, pertanyaan mi ditranslasikan ke dalarn
masalah metodologi ilmu pengetahuan. Misalnya, bagaimana kita bisa
mengembangkan suatu teori atau model yang lebih baik dan teori yang lain?
sejalan dengan mi, Littlejohn (2005) mengatakan sebagai salah satu komponen
dalam fllsafat ilmu, epistemologi difokuskan pada telaah tentangbagaimana cara
ilmu pengetEihuan memperoleh kebenarannya, atau bagaimana cara mendapatkan
pengetahuan yang benar, atau bagaimana seseorang itu tahu apa yang mereka
ketahui. Jadi, di sini tampaknya “how” menjadi kata kunci dalam upaya menemukan
“rahasia” di balik kemunculan konsep teoretis dalam suatu teori komunikasi.
Sesungguhnya banyak cara yang dapat dilakukan dalam usaha menemukan esensi dan
kata “how” tadi.
Salah satunya yang paling utama menurut sejarah epistemologi itu
sendiri. Bila ditinjau menurut sejarah epistemologi, maka terlihat adanya suatu
kecenderungan yang jelas mengenai bagaimana riwayat cara-cara menemukan
kebenaran (pengetahuan), kendatipun riwayat dimaksud memperlihatkan adanya
banyak kekacauan perspektif yang posisinya saling bertentangan. Misalnya, teori
pertama pengetahuan dititikberatkan pada keabsolutannya, dan karakternya yang
permanen. Adapun teori berikutnya menaruh penekanannya pada kerelativitasan
atau situation
(keadaan) dependence (ketergantungan).
Kerelativitasan pengetahuan tersebut berkembang secara terus
menerus atau berevolusi, dan pengetahuan secara aktif campur tangan terhadap
the world dan subyek maupun. objeknya. Secara keseluruhan cenderung bergerak
dan suatu kestatisan, pandangan pasif pengetahuan bergerak secara aktif ke arah
penyesuaian demi penyesuaian. Menurut Plato, pengetahuan yaitu suatu kesadaran
mutlak, universal Ideas or forms, keberadaan bebas suatu subjek yang perlu
dipahami. Sementara itu, pemikiran muridnya Aristoteles Iebih menaruh penekanan
pada metode logika dan empiris bagi upaya penghimpunan pengetahuan, dia masih
menyetujui pandangan bahwa pengetahuan seperti itu merupakan suatu apprehension
of necessary and universal prin ciples (penangkapan prinsip yang diperlukan dan
universal). Pada masa Renaisans, tendapat dua epistemologikal utama yang
posisinya mendominasi adalah filsafat, yaitu empirism dan rationalism.
Einpirism (empirisme) yaitu suatu epistemologi yang memahami bahwa pengetahuan
itu sebagai produk persepsi indriawi.
Sedangkan rationalism (rasionalisme) melihat pengetahuan itu
Sebagai Adapun produk refleksi rasional. Pengembangan terbaru yang di lakukan
empirisme melalui eksperimen ilmu pengetahuan telah berimplikasi pada
berkembangnya pandangan ilmu pengetahuan yang secara eksplisit dan implisit
hingga sekarang masih dipedornani oleh banyak ilmuwan. Pedoman dimaksud yaitu
reflection-correspondence theory. Menurut pandangan mi pengetahuan dihasilkan
dan sejenis pemetaan atau refleksi objek eksternal melalui organ indriawi kita,
yang dimungkinkan terbantu melalui alat pengamatan berbeda menuju ke otak atau
pikiran kita.
Meskipun pengetahuan tidak mempunyai keberadaan priori, seperti
dalam konsepsi Plato, tetapi mesti dibangun dengan pengamatan, dalam arti bahwa
setiap bagian dari pengetahuan yang diusulkan seharusnya benar-benar baik
sesuai dengan bagian dan realitas eksternal. Meskipun dalam pandangannya tidak
pernah mencapai pengetahuan yang lengkap atau absolut, tetapi pengetahuan ml
tetap sebagai batas refleksi yang lebih tepat dan realitas. Ada teori penting
yang dikembangkan pada periode yang layak untuk diikuti, yaitu menyangkut
sintesis rasionalisme. dan empirismenya para pengikut Kant. Menurut Kant,
pengetahuan itu dihasilkan dan diorganisasi dan persepsi berdasarkan struktur
kogrljtif bawaan, yang disebutnya kategori. Kategori mencakup ruang, waktu,
ohjek, dan kausalitas.
Epistemologi tersebut menerima kesubjektivitasan konsep dasar,
seperti ruang dan waktu, dan ketidakmungkinan untuk menjangkau objektif dan
sesuatu yang ada dalam dirinya. Jadi, kategori apriori masib tetap bersifat
stalls atau given. Tahap berikutnya dan perkembangan epistemologi disebut
pragmatis (pragmatic,).
Bagian-bagian dan perkembangan dimaksud dapat dijumpai pada
masa-masa mendekati awal abad ke-20, misalnya seperti logika positivisme,
konvensionalisme, dan mekanika kuantum menurut Copenhagen interpretation
filsafat masih mendominasi kebanyakan cara kerja ilmiah dalam cognitive science
dan artificial intelligence. Epistemologi pragmatis memandang pengetahuan
terdiri atas model yang mencoba merepresentasikan lingkungan sedemikian rupa
guna penyederhanaan secara maksjmal pemecahan masalah, secara maksimal menyederhanakan
pemecahan masalah.
Pemahaman demikian karena diasumsikan bahwa tidak ada model yang
pernah bisa diharapkan untuk mampu menangkap semua informasi yang relevan.
Sekalipun model yang lengkap seperti itu ada, model itu mungkin akan sangat
rumit untuk digunakan dalam cara praktis apa pun. Karena itu, kita harus
menerima keberadaan kesejajaran model yang herbeda, sekalipun model dimaksud
mungkin terlihat saling bertentangan. Model yang akan dipilih tergantung pada
masalah yang akan dipecahkan. Ketentuan dasarnya yaitu bahwa model yang
digunakan sebaiknya menghasilkan perkiraan (melalui pengujian) yang benar (atau
approximate) atau problem-solving, dan sesederhana mungkin.
Epistemologi pragmatis tidak memberikan jawaban jelas terhadap
pertanyaan mengenai asal-usul pengetahuan atau model. Ada asumsi tersirat bahwa
model dibangun dan bagian-bagian model lain, dan data empiris yang perolehannya
didasarkan pada prinsip coba-coba-salah (trial and error) yang dilengkapi
dengan beberapa heuristics atau ilham. Pandangan yang lebih radikal ditawarkan
oleh para penganut constructivism. Kalangan mi mengasumsikan bahwa semua
pengetahuan dibangun dan goresan subjek pengetahuan. Tidak ada sesuatu yang
“givens”, data atau fakta empiris yang objektif, kategori bawaan sejak lahir,
atau struktur-struktur kognitif.
Gagasan korespondensi atau refleksi realitas eksternal menjadi
sesuatu hal yang ditolak, karena kekurangan hubungan di antara model dan hal
yang mereka representasikan in maka bahayanya bagi constructivism yaitu bahwa
mereka mungkin cenderung menjadi relativisme. Sebab dengan keyakinan mereka,
bahwa sernua pengetahuan dibangun dan scratch by the subject of knowledge, maka
cara untuk membedakan pengetahuan memadai atau “sebenarnya” dan pengetahuan
yang tidak cukup atau “palsu” menjadi tiada. Kita bisa membedakan dua
pendekatan yang mencoba menghindari “kemutlakan relativisme.” Pendekatan yang
pertama disebut konstruktivisme individual (individual constructivism,); dan
kedua, konstruktivisme sosial (social constructivisin). Konstruktivisme
individual mengasumsikan bahwa seorang individu mencoba mencapai koherensi di
antara perbedaan potongan-potongan pengetahuan itu. Pembuatan atau
pengkonstruksian yang tidak konsisten dengan mayoritas pengetahuan lain akan
menyebabkan individu jadi cenderung untuk menolaknya. Pengkonstruksian yang
berhasil dalam mengintegrasikan potongan-potongan pengetahuan yang sebelumnya,
tidak bertautan (incoherent) akan dipelihara. Konstruktivisme sosial memahami
mufakat antara subjek berbeda sebagai ketentuan tertinggi untuk menilai
pengetahuan. Kebenaran atau kenyataan hanya akan diberikan terhadap
pengkonstruksian yang diseber- tujui kebanyakan orang dan suatu kelompok
masyarakat. Dalam filsafat ini, pengetahuan tampak sebagai suatu hipotesis realitas
eksternal yang sangat independen.
Satu-satunya kriteria dasar yaitu bahwa perbedaan mental entitas
atau perbedaan proses kejiwaan di dalamnya atau di antara individu Sebaiknya
menjangkau semacam keseimbangan. Melalui pendekatan kondap struktivis tampak
penekanannya lebih banyak pada soal perubahan dan sifat relatif dan
pengetahuan, dan cara-cara mereka yang mengunggulkan kesepakatan sosial atau
koherensi internal dalam menemukan kebenaran, ini menyebabkan mereka tetap
masih memiliki ciri yang absolut. Dengan kata lain, keabsolutan mi ditandai
oleh keyakinan para konstruktivis bah‘isin. wa pandangan sintetis yang
ditawarkan oleh bentuk-bentuk yang berbeda atau epistemologi evolusioner.
Melalui cara mi dianggap bahwa pengetaatau huan itu dikonstruksikan oleh subjek
atau kelompok subjek dalam rangka beradaptasi dengan lingkungan mereka dalam
artian luas.
Pengkonstruksian itu merupakan suatu proses yang terus berkelan.
jutan pada tingkatan yang berbeda, baik secara biologis maupun psjko logis atau
sosial. Pengkonstruksian terjadi melalui variasi potongan pengetahuan, dan
retensi selektif kombinasi baru dan mereka yang entab bagaimana berkontribusi
untuk kelangsungan hidup reproduksi dan subjek di dalam lingkungan mereka.
Heylighen mengatakan, pengetahuan pada dasarnya masih merupakan
alat pasif yang dikembangkan oleh organisme dalam rangka untuk membantu mereka
dalam pencarian mereka untuk bertahan hidup. Sekalipun pengetahuan itu
menyebabkan din individu pengangkut mana pun, kemungkinan sama sekali tidak mampu
dan juga berbahaya bagi kelang-. sungan hidupnya. Dalam pandangan mi, sepotong
pengetahuan mungkin succesful sekalipun mungkin prediksinya salah sama sekali,
sejauh pengetahuan itu cukup meyakinkan bagi para individu yang berperan
sebagai penggagas pengetahuan baru. Di sini tampak gambaran di mana subjek
pengetahuan pun sudah kehilangan keunggulannya sendiri, dan pengetahuan menjadi
kekuatan yang membangun dirinya sendiri.
Pendekatan konstruktivis sangat menutup din atas pengetahuan yang
merupakan hasil konstruksi individu atau masyarakat, maka kita telah bergerak
ke pendekatan memetik, yakni pendekatan yang melihat masyarakat dan individu
yang dihasilkan oleh pengkonstruksian melalui suatu proses evolusi yang
terus-menerus dan fragmentasi independen pengetahuan yang berkompetisi derni
dominasi. Dan riwayat singkat tentang cara-cara menemukan kebenaran
(pengetahuan) sebelumnya, kiranya memberikan gambaran bahwa melalui
argumentasinya masingmasing, kalangan ilmuwan tidak memiliki cara yang sama
dalam upayanya menemukan kebenaran pada objek ilmu.
C. PENGERTIAN EPISTEMOLOGI
PENGETAHUAN
Menurut Kattsoff (1992), bahwa ontologi dan epistemologi merupakan
hakikat kefilsafatan, artinya keduanya membicarakan mengenai kenyataan yang
terdalam dan bagaimana mencari makna dan kebenaran. Adapun aksiologi berbicara
mengenal masalah nilai-nilai atau etika dalam kaitannya dengan mencari
kebahagiaan dan kedamaian bagi umat manusia,
Imam Wahyudi (2007) memahami, secara etimologis, epistemologi
berasal dan bahasa Yunani, yaitu epistelne dan logos. Episteme artinya
pengetahuan; logos biasanya clipakai untuk menunjuk pengetahuan sistematik.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa epistemologi yaitu pengetahuan sistematik
tentang pengetahuan. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh J.F. Ferier
pada 1854, yang membuat dua cabang filsafat sekaligus sebagai pembeda keduanya,
yakni epistemology dan ontology. Selanjutnya Kattsoff dan Wahyudi mengatakan,
secara sederhana dapat dipahami bahwa filsafat ilmu merupakan dasar yang
menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. ini
berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tidak ilmiah. Adapun yang
tergolong ilmiah yaitu yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja,
yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi
sedemikian rupa, sehingga memenuhi asas pengaturan Secara prosedural,
metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran
ilmiahnya, sehingga memenuhi kesahihan atau
validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa epistemologi merupakan salah
satu cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai masalah hakikat pengetahuan.
Dengan kata lain, epistemologi merupakan disiplin filsafat yang secara khusus hendak
memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan. Adapun pengetahuan yang tidak
ilmiah masih tergolong prailmiah. Dalam hal ini berupa pengetahuan basil
serapan indriawi yang secara sadar diperoleh, baik yang telah lama maupun baru
didapat. Di samping itu, sesuatu yang diperoleh secara pasif atau di luar
kesadaran seperti ilharn, intuisi,wangsit, atau wahyu (oleh Nabi). Dengan kata
lain, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas
proing- sesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak,
kemuaya- dian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran (validitas)
ilmiahnya.
Adapun pengetahuan yang pra-ilmiah sesungguhnya diperoleh Secara
sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode, apalagi yang berupa
intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan demikian, pengetahuan
pra-ilmiah karena tidak diperoleh secara sistematis-metodologis ada yang
cenderung menyebutnya sebagai pengetahuan “naluriah”, Dalam sejarah
perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut tahap mistik, tidak
terdapat perbedaan di antara pengetaumat huan yang berlaku juga untuk objeknya.
Pada tahap mistik, sikap manusia seperti dikepung oleb kekuatan gaib di
sekitarnya, sehingga semua objek tampil dalam kesemestaan dalam artian satu sama
lain herdifusi menjadi tidak jelas batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara
penge. tahuan itu mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang
memiliki kelebihan dalam pengetahuan untuk dipandang sebagaj pemimpin yang
mengetahui segalanya.
Fenomena ini sejalan dengan tingkat kebudayaan primitif yang belum
mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan sebagai implikasi belum adanya
diversifikasi pekerjaan. Seorañg pemimpin dipersepsjkan dapat rfierangkap
fungsi apa saja, antara lain sebagai kepala pemerintahan, hakim, guru, panglima
perang, dan pejabat pernikahan. mi berarti bahwa pemimpin itu mampu
menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman fungsional yang
dicanangkan kepadanya.
Selanjutnya Kattsoff mengatakan, ketika kita membicarakan
tahap-tahap perkembangan pengetahuan dalam satu napas, tercakup pula telaahan
filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Pertama, dan segi
ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. mi
berarti sejak awal kita sudah ada pegangan dan gejala sosial. Dalam hal ini
menyangkut yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan waktu, serta
terjangkau oleh pengalaman indriawi. Sampai fenomena dapat diobservasi, dapat
diukur, dan datanya dapat diolah, diinterpretasi, diverifikasi, kemudian
ditarik kesimpulan. Dengan kata lain, tidak menggarap hal-hal yang gaib seperti
soal surga atau neraka yang menjadi garapan ilmu keagamaan. Kedua, dan segi
epis- temologi, yaitu meliputi aspek normatif mencapai kesahihan perolehan
pengetahuan secara ilmiah, di samping aspek prosedural, metode, dan teknik
dalam memperoleh data empiris,
Epistemologi juga disebut sebagai cabang fllsafat yang relevan
dengan sifat dasar dan ruang lingkup pengetahuan, pra-anggapan, dan dasar-dasarnya,
serta rehabilitas umum dan tuntutan akan pengetahuan. Epistemologi secara
sederhana dapat dideflnisikan sebagai cabang filsafat yang mengkaji asal mula,
struktur, metode, dan validitas pengetahuan. Berdasarkan berbagai deflnisi itu
dapat diartikan, bahwa epistemologi yang berkaitan dengan masalah kata Kattsoff
meliputi: Pertama, filsafat yaitu sebagai cabang filsafat yang berusaha mencari
hakikat dan kebenaran pengetahuan. Kedua, metode sebagai metode bertujuan
mengatur manusia untuk memperoleh pengetahuan. Ketiga, sistem sebagai suatu
sistern bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan itu sendiri.
Masalah epistemologi berkaitan dengan pertanyaan tentang
pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan
bagaimana dan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita
mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui
hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat diketahui. Seienarnya kita baru dapat
menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti
pertanyaan-pertanyaan epistemologi. Kita mungkin erpaksa mengingkari
kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan
bahwa apa yang kita punyai hanya kemungkinan kemungkinan dan bukannya
kepastian, atau mungkin dapat menetapkan batas-batas antara bidang-bidang yang
memungkinkan adanya kepastian yang mutlak, dengan bidang-bidang yang tidak
memungkinkannya. Manusia tidaklah memiliki pengetahuan yang sejati, maka dari
itu kita dapat mengajukan pertanyaan bagaiinanakah caranya kita ,nemperoleh pen
getahuan?, pertanyaan mendasar inilah yang harus dijawab di dalam epistemologi
pengetahuan.
D. METODE UNTUK MEMPEROLEH
PENGETAHUAN
Ada beberapa metode yang populer dan dijadikan rujukan dalam
memperoleh sumber pengetahuan dalam epistemologi pengetahuan, Sebagaimana
dikemukakan Imam Wahyudi (2007) sebagai berikut:
1. Metode Empirisme
Empirisme yaitu suatu cara atau
metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan
melalui pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada
waktu manusia dilahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula
rasa), dan di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman indriiuan. awi.
Menurut Locke, seluruh sisa pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan
serta memperbandingkan ide-ide yang diperoleh dan pengindraan serta refleksi
yang pertama-pertama dan sederhana tersebut. Ta memandang akal sebagai sejenis
tempat penampungan yang secara pasif menerima basil pengindraan itu. mi berarti
semua pengenar- tahuan kita, betapa pun rumitnya dapat dilacak kembali sampai
kepada pengalaman indriawi yang pertama-tama dapat diibaratkan sebagai atom
yang menyusun objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dindiri.
lacak kembali secara demikian itu bukanlab pengetahuan, atau setidaknge- nya
bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.
2. Metode Rasionalisme
Rasionalisme yaitu satu cara atau
metode dalam memperoleh sum ber pengetahuan yang berlandaskan pada akal. Bukan
karena rasionalis me mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman
paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Para penganut
rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide kita,
dan bukannya di dalam dan barang sesuatu. Jika kebenaran mengandung makna dan
mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran
hanya ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal budi.
3. Metode Fenomenalisme
Fenomenalisme yaitu satu cara atau
metode dalam memperoleh sumber ilmu pengetahuan dengan rnenggali pengalaman dan
dalam dirinya sendiri. Tokoh yang terkenal dalam metode mi ialah Immanuel Kant.
Kant membuat uraian tentang pengalaman sesuatu sebagaimana terdapat clalam
dirinya sendiri, dengan merangsang alat indriawi kita dan diterima oleh akal
kita dalam bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan
penalaran. Karena itu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang barang
sesuatu seperti keadaanya sendiri, tetapi hanya tentang sesuatu seperti yang
menampak kepada kita, artinya pengetahuan tentang gejala (phenomenon).
Bagi Kant, para penganut empirisme
benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan didasarkan pada pengalaman,
meskipun benar hanya untuk sebagian. Tetapi para penganut rasionalisme juga
benar, karena akal memaksakan bentuknya sendiri terhadap barang sesuatu serta
pengalaman.
4. Metode Intuisionisme
Intuisionisme yaitu satu cara atau
metode dalam memperoleh sumber ilmu pengetahuan dengan menggunakan sarana
intuisi untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisis, atau
pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat
menggantikan hasil pengenalan secara langsung dan pengetahuan intuitif. Tokoh
yang terkenal dalam aliran mi ialah Bergson. Salah satu di antara unsur-unsur
yang berhanga dalam intuisionisme menurut Bergson, dimungkinkan adanya suatu
bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati oleh indra.
Dengan demikian, data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan
tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan i. oleh
pengindraan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan
didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman harus meliputi
baik pengalaman indriawi maupun pengalaman intuitif.
Ada yang khas dan aliran in dia tidak mengingkari nilai pengalaman
jndriawi yang biasa dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intuisionisme
dalam beberapa bentuk hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap diperoleh
melalui intuisi, sebagai lawan dan pengetahuan yang nisbi yang meliputi
sebagian saja yang diberikan oleh analisis. Ada yang berpendirian bahwa apa
yang diberikan oleh indra hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dan
apa yang diberikan oleh intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang
sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan
hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan kepada kita keadaan senyatanya.
E. PROBLEM DAN JUSTIFIKASI
KEBENARAN DALAM EPISTEMOLOGI
Menurut Titus dalam Imam Wahyudi (2007), ada tiga problem pokok
epistemologi yang harus dirumuskan sebagai penyelidikan filsafat terhadap
epistemologi pengetahuan, antara lain: Pertama, menyangkut watak pengetahuan,
dengan pertanyaan pokok: apakah ada dunia yang benarbenar berada di luar
pikiran kita, dan kalau ada apakah kita dapat mengetahuinya?. Kedua, menyangkut
sumber pengetahuan, dengan pertanyaan pokok: dan manakah pengetahuan yang benar
itu datang? Atau apakah yang merupakan asal mula pengetahuan kita? Bagaimanakah
cara kita mengetahui bila kita mempunyai pengetahuan? Apakah yang merupakan
bentuk pengetahuan itu? Corak pengetahuan apakah yang ada? Bagaimanakah cara
kita memperoleh pengetahuan? Ketiga, menyangkut kebenaran pengetahuan, dengan
pertanyaan pokok apakah kebenaran dan kesesatan itu? Apakah kesalahan itu?
Apakah pengetahuan kita benar? Dan bagaimana kita dapat membedakan antara
pengetahuan yang benar dan pengetahuan yang salah?
Dalam membahas masalah epistemologi dipakai pendekatan secara
terpadu, baik pola kefilsafatan maupun pola ilmiah, sebab dalam perkembangan
epistemologi terjadi integrasi antara kegiatan kefilsafatan dan kegiatan
ilmiah, meskipun sulit untuk merientukan metodologi tunggal dalam meneliti
episternologi. Dengan kata lain pendekatan espitemologi mesti secara
multidisipliner, integrated, dan interkoneksi.
Dengan memahami problem kebenaran dalam epsitemologi kita
diantarkan kepada metodologi dalam penggalian ilmu secara lebih mendalam.
Demikian juga dengan memahami bahwa epistemologi tidak bisa hanya ,didekati dan
satu sudut metodologi tunggal, terlebih dalam studi yang memerlukan terapan
sosial dan keagamaan seperti historis, hermeneutika, al-turats, dan penelitian
kualitatif sosial dan budaya seperti pendidikan, manajemen, psikologi, hukum,
dan ekonomi sangat dibutuhkan keterkaitan dan integrasi dengan disiplin ilmu
lainnya. Karena dengan cara itulah peneliti dapat memberikan justifikasi
objektif dan kebenaran ilmiah dalam espitemlogi pengetahuan.
Imam Wahyudi (2007) memberikan beberapa cara untuk melakukan
justifikasi epistemologi pengetahuan, yakni: Pertama, evidensi. Evjdensi yaitu
cara bagaimana kenyataan ml dapat hadir atau “perwududan dan yang ada bagi
akal.” Konsekuensi dan pengertian itu yaitu, bahwa evidensi sangatlah
bervariasi. Akibat lebih lanjut yaitu persetujuan yang dijamin oleh kehadiran
ada yang bervariasi mi juga akan bervariasi. Seorang positivis mungkin
menyatakan pengandalan bahwa masa depan mirip dengan masa lampau. Namun
evidensi yang menjamin kepastiannya bukanlah kepastian yang sedemikian rupa
sehingga kejadian sebaliknya tidak terbayangkan.
Evidensi dan perilaku manusia tentu berbeda dengan hal yang
Semata-mata bersifat fisik, sebab kepastian manusiawi bersifat hipotesis.
Misalnya saya yakin secara moral bahwa apabila supir bus itu normal maka ia
tidak akan menabrakkan mobilnya ke pohon. Kesaksian adalah salah satu sumber
dan keyakinan moral kepastiannya agak diremehkan. Namun banyak orang yang lebih
yakin pada pernyataan pernyataan yang bersumber dan kesaksian daripada tentang
hukum gravitasi. Kedua, kepastian. Kepastian dalam hal mi memuat kebenaran
dasar atau yang disebut sebagai kebenaran primer. Prinsip pertama yaitu suatu
“kepastian dasar yang mengungkapkan eksistensi subjek.” Subjek yang mengetahui
tidak mesti identik dengan kegiatannya, ada perbedaan subjek dan aktivitasnya.
Kepastian dasar mi tidak saja merupakan jawaban yang mendasar
terhadap berbagai macam sikap dan ajaran seperti skeptisisme dan relativisme,
tetapi karena kepastian dasar merupakan dasarnya segala kepastian. Ketiga,
keraguan. Ada dua bentuk aliran yang mempertanyakan kepastian mengenai adanya
kebenaran. Keduanya dapat dianggap sebagal aliran yang mempermasaiahkan,
meragukan, dan mempertanyakan kebenaran dan adanya kebenaran, yaitu: (a) Aliran
skeptisisme-doktriner yang berkeyakinan bahwa pengetahuan dan kebenaran itu
tidak ada, yang kurang ekstrem mengatakan sesungguhnya tidak ada cara untuk
menetahui bahwa kita mempunyai pengetahuan. Misainya, ajaran ini menganirukan
agar orang tidak meiibatkan din dalam kegiatan intelektual tertentu karena
mempunyai pendapat tentang sesuatu, maka hal itu mengandung kontradiksi, sebab
ajaran untuk tidak meiibatkan ml secara intelektuai sudah merupakan kegiatan
inteiektual. (b) aliran skepetisisme-metodik menyatakan bahwa pengetahuan dan
kebenaran ada, tidak sebagai doktrin tetapi sebagai metode untuk menemukan
kebenaran dan kepastian. Aliran ini merupakan jalan untuk menemukan kepastian
kebenaran.
F. PARADIGMA DALAM
EPISTEMQLOGI PENGETAHUAN
Menurut Mohamad Musilih (2005), persoalan epistemologi tidak
perepan nah berhenti sampai kapan pun dikarenakan manusia hidup senantiasa
berhajat kepada ilmu pengetahuan. limu pengetahuan memberikan kita kemudahan
dalam menghadapi semua tantangan di alam semesta, dan sampai saat mi telah
banyak penemuan dalam berbagai bidang ilmu yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Sebut saja di bidang ilmu sosial, kedokteran, biologi,
farmasi, psikologi, dan lain sebagainya. Penemuan dan iahirnya disiplin ilmu
diperuntukkan bagi kelangsungan hidup manusia.
Akan tetapi sadarkah manusia bagaimana rancang bangun dan
pemikiran dan ilmu pengetahuan itu. Bagaimana kesinambungan satu teori dengan
teori lainnya sehingga menjadikan pengetahuan yang iebih utuh. Setidaknya
persoalan mi telah mengilhami dan mewarnai kajian filsaat baik di dunia Barat
maupun di dunia islam sendiri. Pemikiran epitemologis telah membentuk tata cara
berpikir dan melahirkan ilmu pengetahuan. Sehingga epistemologi menjadi titik
tolak maju mundurnya laju ilmu pengetahuan.
Pada abad ke-20 hingga abad ke-21, pengaruh positivisme dan neo
Positivisme telah memengaruhi secara luas metode ilmu pengetahuan
(epistemology), Sehingga menjadikan ilmu objek pragmatis, berorientasi pada
manfaat semu semata dan mengabaikan tingkatan yang dicapai oleh daya imajinatif
dan rasio manusia (metafisika, bahkan agama).
Cara pandang manusia (paradigm) diarahkan kepada manfaat praktjs
dan sesaat saja, budaya konsumtif menjadikan manusia hanya menguta. makan din
sendiri. Menempatkan manusia sebagai satu—satunya makhluk yang hanya memiliki
hak untuk hidup. Ringkasnya semua makh— luk hanya diperuntukkan bagi
kelangsungan hidup manusia, sehingga menafikan eksistensi dan makhluk lainnya.
Dapat kita lihat misalnya dalam perkembangan ilmu alarn, bagaimana eksploitasi
terhadap alam dilakukan tanpa mengindahkan stabilitas dan susunan alam itu
sendiri. Lihat juga dalam perkembangan ilmu sosial, bagaimana prinsip-prinsip
hidup bersama hanya untuk rnenaikkan satu golongan dan mendiskreditkan golongan
lainnya. Pada dasarnya berawal dan persoalan epistemologi yang mendasar, yaitu
perihal wujud bangun dan rancang bangun ilmu pengetahuan.
1. Paradigma Popper
Di awal abad ke-20 muncul seorang filsuf, Karl Raimund Popper,
yang mengajukan kritik terhadap arus neopositivisme yang bercorak
deduktif-veriflkatif. Dia mengemukakan solusi ilmu dengan epistemologi yang
dikenal dengan konjektur dan falsifikasi. Sebelum masuk kepada memahami teori
falsiflkasi yang dikembangkan oleh Karl Popper, hendaknya terlebih dahulu
membahas mengenai induksi dan verifikasi. Pada dasarnya teori falsifikasi yang
dibangun oleh Popper merupakan bantahan dan sanggahan dan induksi dan
verifikasi yang banyak dikembangkan oleh para fllsufsebelumnya. Sebut saja
Francis Bacon (1561-1626), yang disebut sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan, sangat
mengandalkan metode induksi dalam menerima kebenaran suatu teori, kemudian
metode mi dikemas ulang oleh Ihon Stuart Mill (1806-1873). Teori apa saja akan
dianggap benar dengan cara penarikan kesimpulan berdasarkan kepada metode
induksi. Metode induksi berarti juga metode ‘proses generalisasi’. Induksi
dipahami dengan metode pengetahuan yang bertitik pangkal pada perneriksaan
(eksperimen) yang teliti dan telaten mengenai data- data partikular,
selanjutnya rasio bergerak menuju suatu penafsiran atas alam.
Kemudian metode induksi terus menjadi asas oleh para ilmuwan dan
hampir tidak pernah diperdebatkan. Noeng Muhadjir (2001) mengatakan, metode
induksi mi menjadi karakter dalam ilmu pengetahuan utamanya sosial dengan
melakukan generalisasi dan hal-hal yang partikular, atau dikatakan juga metode
induksi berangkat dan beberapa kasus particular kemudian dipakai untuk
menciptakan hukum umum dan mutlak perlu. Misalnya berdasarkan pengamatan
terhadap beberapa angsa yang ternyata berwarna putih, maka dengan melakukan
induksi dapat dibuat teoni yang lebih urnum bahwa semua angsa berwarna putih.
Metode induksi mi terus mengalami penguatan oleh para filsuf, di antaranya
Jhon. S. Mill yang lebih khusus menyusun kerangka berpikir induktif sebagai
metode ilmiah yang valid.
Selanjutnya dikatakan Muhadjir, Popper juga dihadapkan oleh metode
verifikasi, balk yang dikembangkan oleh filsuf dalam lingkaran WIna maupun di
luar Wina sendiri. Verifikasi telah memproklamasikan din sebagai satu-satunya
metode untuk menguji ilmiah atau tidaknya suatu teori. Atau, dikatakan juga
apakah sesuatu itu ineaningfull (memiliki arti) atau bersifat meaningless
(tidak berarti), juga untuk menilai apakah suatu ilmu dapat disebut dengan ilmu
sejati (true science, atau ilmu Seai : mu ‘pseudo science,). Artinya, jika
suatu pernyataan epistemologi atau dugaan dapat diverifikasi maka ia berarti
bermakna, sebaliknya apabila tidak dapat diverifikasi maka berarti Ia tidak
bermakna.
Prinsip verifikasi menyatakan bahwa suatu proposisi bermakna jika
ia dapat diuji dengan pengalaman dan dapat diverifikasi dengan pengamatan
(observasi). Sebagai akibat dan prinsip itu maka filsafat tradigkan sional
seperti pembahasan mengenai “ada yang absolute,” haruslah ditoyang lak. Karena
ungkapannya melampaui pengalaman dan tidak dapat untuk diamati terlebih lagi
untuk diuji, termasuk juga hal-hal yang berkenaan dengan teologi maupun
metafisika.
Bisa jadi prinsip yang dibangun dengan metode verifikasi telah
mengepada antarkan ilmu pengetahuan sampai pada kemajuannya saat ini Ilmu
peralisa ngetahuan telah mencapai kemajuan yang sangat pesat, bahkan dengan
metode verifikasi memuclahkan manusia untuk memperoleh jawaban dan solusi
terhadap persoalan yang dihadapi dalam kehidupan manusia. Sehingga posisi ilmu
dengan veriflkasinya telah menjadi komponen tenpenting dalam menjaga kehidupan
manusia di alam. Ilmu yang telah meanlalui verifikasi dipandang sebagai
kebenaran yang absolut, sedangkan selainnya hanyalah dianggap sebagai
pernyataan semu yang menipu.
Selanjutnya terkait konjektur, dalam kaitan membangun hipotesis
untuk objektiV1ta5 mi menjadi suatu tagihan dalam epistemologi deduktif.
Konjektur secara bahasa berarti dugaan, prakonsepsi, atau dapat juga disebut
dengan aSUmSi. Konjektur dipandang oleh Popper sesuatu Yang harus ada sebelum
seseorang melakukan analisis terhadap suatu objek permasalahaan..
Dalam memberika atau melakukan atau mencari jawaban terhadap satu
masalah, Bergson & Wettersten memberikan pemaham an, bahwa seseorang mesti
memiliki konjektur (dugaan) dalam hipotesisnya (sebelum penelitian dilakukan).
Sehingga Popper menyusun dna asas dalam teorinya. Pertaima, penyelidikan tidak
boleh dimulai dengan usaha observasi yang tidak memihak, tetapi justru harus
fokus terhadap satu persoalan Peneliti harus bertanya: Apa masalahnya? Apa
solusi alternatifnya Bagaimana kekuatan dan kelemahannya? Kedria, usaha Untuk
menemuk suatu solusi tidak boleh merupakan usaha yang menghindari dan fakta
yang adahanya memilah fakta yang mendukung teori yang diyakifli, akan tetapi
mestilah berpegang pada prinsip penggabungan antara dugaafl yang berani dan
kritisisme yang tajam (bold colljecture and severe critic).
Selanjutnya dikatakan Muhadjir, perkembangan ilmu pengetahuan pada
dasarnya berlandaskan kepada konjektur yang dimiliki oleh para peneliti.
menurut Popper perkembangan ilmu dimulai dan usulan hipotesis yang imajinatif,
yang merupakan insight individual dan terprediksikan apakah akan menjadi teori.
Hipotesis imajinasi tersebut lebih berupa grand theory yang nantinya akan diuji
untuk menentukan layak atau tidaknya ia dijadikan teori yang ilmiah.
Teori prakonsepsi tentunya menimbulkan pertanyaan bahwa seorang
peneliti akan terlepas dari sikap objektivitasnya. Dikarenakan dia telah
terikat oleh teori yang ia yakini, tentunya hal ini akan memengaruhi proses dan
hasil penelitian yang ia hadapi. Berkenaan dengan hal ini, Karna Popper
mengatakan bahwa objektivitas seorang peneliti tidak harus terbebas dari
prakonsepsi. Malah sebaliknya objektivitas Justru diperoleh dengan membuat
jelas prakonsepsi dan secara kritis membandingkan dengan teori lain.
Prakonsepsi (konjektur) memiliki peran penting dalam penelitian,
yaitu sebagai upaya artikulasi terhadap persoalan yang diteliti. Dengan mengartikulasi
persoalan kita memiliki peluang untuk membandingkan dengan teori, mengkritisi
dan membangun kemapanan teori baru. Ring: kasfiya, manusia pada dasarnya
melakukan proses belajar dengan cara menduga dan melakukan penolakan. Proses
menduga yaitu upaya untuk inemunculkan jawaban sementara (konjektur),
selanjutnya melakukan usaha penolakan terhadap prakonsepsi atau dugaan
(konjektur). Apabila dugaan mi tidak tertolak, maka ia diyakini dapat dipandang
sebagai teori sementara yang tentunya masih membuka peluang untuk terus diuji
dan dibantah dalam upaya menuju kesempurnaan pengetahuan dan kebenaran.
Lebih jauh Popper melihat ada jarak atau demarkasi antara true
science dan pseudo scince, sebagaimana dikatakan Muhadjir seperti telah
disinggung di atas, Karl Popper bereaksi terhadap metode filsafat ilmu yang
telah lama berkembang sebelumnya. Di satu pihak ia bereaksi terhadap metode
induksi yang ‘mempatenkan dirinya sebagai metode ilmiah yang valid, dan di lain
pihak ia juga berhadapan dengan metode verifikasi yang dikembangkan oleh filsuf
positivisme, khususnya pengaruh yang ditebar oleh para filsuf di lingkaran
Wina.
Untuk membantah kedua metode tersebut, sebagaimana dijelaskan
Bergson & Wettersten, Karl Popper mengangkat fokus bahasan dalam membedakan
atau memisahkan antara pernyataan yang mengandung makna (meaningful) dan
pernyataan yang tidak bermakna (meaningless), atau antara sains sejati (true
science) dan sains semu (pseudo sains). Dalam pandangan tradisional tentang
perbedaan antara sains sejati dan sains semu, bahwa sains sejati berisikan
hukum yang kebenarannya bisa dibuktikan melalui observasi (pengamatan) dan
eksprimen (percobaan). Sebaliknya sains semu hanya berisikan fantasi yang tidak
terbukti dengan fakta.
Pemisahan antara kedua macam sains di atas oleh Muslih dikenal
dengan istilah demarkasi atau dapat juga diartikan dengan garis batas, dalam
hal mi dipahami dengan ungkapan ilmiah dan tidak ilmiah suatu pengetahuan.
Persoalan demarkasi merupakan titik tolak Popper untuk membangun metodologi
pengetahuannya. Ia menolak pandangan tradisional mengenai demarkasi yang
dikembangkan oleh kalangan tradisional, dikarenakan Popper memandang bahwa
ungkapan yang tidak bersifat ilmiah tidak dapat dibukitkan dengan observasi,
dan eksprimen memiliki kemungkinan sangat bermakna (meaningful). Berapa banyak
inunculnya teori-teori dalam ilmu pengetahuan, baik dalam ilmu alam maupun
sosial, diawali oleh ungkapan yang imainatif tanpa di ajukan eksprimen.
Hal ini disebabkan bahwa ungkapan imajinatif atau disebut juga
insight individual bukan berasal dan
pengamatan partikular (observasi) yang ken dian berujung kepada proses
generalisasi induksi. Sebagai Contoh, kefl porn manusia untuk membangun
peradaban dan teknologj banyak lahir dan kemampuan yang tidak diperoleh dengan
metode induksi, aka tetapi muncul dalam tataran umum kemudian menjelma Secara
lebTh nyata dalam hal-hal yang partikular. Dengan demikian, Popper lebjh
nenyetujui metode deduksi yang sejatinya merupakan metode induksi, akan tetapi muncul dalam tataran umum
kemudian menjelma Secara lebih nyata dalam hal-hal yang partikular. Dengan
demikian, Popper lebjh nenyetujui metode deduksi yang sejatinya merupakan
metode
endapatkan ilmu pengetahuan.
Dengan diketengahkannya metode deduksi kata Muslih, maka membuka
kenal makna ilmiah terhadap kajian yang selama ini disingkirkan
oleh meto induksi-veriflkasi. Kajian dalam teologi dan metafisika
dapat dihadapi kembali dalam kerangka ilmu pengetahuan. Maka tidak serta me1ta
seorang peneliti menjustifikasi bahwa suatu teori tidak ilmiah ataupun ilmiah
hanya dengan berpatokan pada memiliki arti atau tidak memiliki arti,
dikarenakan Sejatinya segala sesuatu memiliki arti karena ia dapat dipahami.
lebih mendasar, kata Muslih, Popper mengungkapkan dalam metode induksi dan
veriflkasi, antara lain: Pertama, prinsip verifikasi tidak pernah mungkin
digunakan untuk menyatakan kebe hukum umum. Hukum umum dalam ilmu pengetahuan
tidak
pernah dapat diveriflkasi. Karena, seperti halnya metafisika,
harus diakui seluruh ilmu pengetahuan alam yang sebagian besar terdiri dan
hokum umum) yaitu tidak bermakna. Kedua, Berdasarkan prinsip verifikasi, meta
disebut tidak bermakna, tetapi dalam sejarah dapat disaksikan bah acap kali
ilmu pengetahuan lahir dan pandangan metafisis atau bahkan mistis tentang
dunia. Suatu ungkapan metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi bisa juga
benar, meski pun baru menjadi ilmiah kalau sudah diuji dan dites. Ketiga, untuk
menyelidiki bermakna tidaknya suatu ungkapm ataU teori, lebih dahulu harus bisa
dimengerti, sebab bagaimana bisa dimengerti jika tidak bermakna.
Ketiga hal di atas menjadi landasan oleh Popper untuk melakukan
sanggahan terhadap verifikasi yang diklaim sebagai ciri utama teori ilmiyah
verifikasi hanya berupaya untuk menunjukkan kelebihan dan satu teori sehingga
mengaburkan sisi keburukan dan kesalahan yang dikandung sebagai contoh tes atau
uji terhadap teori hanya diberlakukan untuk membuktikan benarnya suatu teori
dengan mengedepankan contoh yang mendukung kebenaran teori tersebut proses ini
berlangsung dengan metode induksi generalisasi terhadap partikular yang ada
suatu. Metode ini tentunya hanya menampilkan sisi baik dan suatu teori
berdasarkan akumulasi kebenaran yang sudah terencana.
Sikap seperti mi merupakan karakter dan verifikasi induktif, di
satu sisi yang paling terlihat akan menunjukkan kebenaran suatu teori. Sebagai
ilustrasi sederhana, seorang peneliti menyampaikan basil penelitiannya bahwa
seluruh angsa berwarna putih, kemudian ia memperlihatkan 100 ekor angsa yang
berwarna putih dan mengabaikan angsa-angsa lain yang tidak berwarna putih.
Sehingga dengan demikian diakui secara ilmiah bahwa semua angsa berwarna putih.
Hasil seperti ini tentunya merupakan kebenaran semu dan palsu.
Melihat hal ini, Popper mengemukakan solusi baru terhadap masalah
demarkasi (pemisahan antara ilmu sejati dan ilmu semu) dan ciri utama kebenaran
ilmiah. Popper menaikkan ke permukaan metode deduksi dan teori falsifikasi yang
sejatinya merupakan karakter ilmiah suatu teori.
Perihal falsifikasi yang juga dipahami sebagai falsibilitas. Kata
falsify itu sendiri merupakan kata kerja jadian yang terbentuk, dan kata sifat
false yang berarti salah dan ditambahkan kepadanya akhiran ify yang berarti
menyebabkan “menjadi”. Adapun falsification yaitu bentuk kata benda dan kata
kerja falsify. Dengan demikian, jelaslah bahwa kata sifat false diubah menjadi
kata kerja dengan menambahkan akhiran ify sehingga menjadi falsify dan
dibendakan dengan menambahkan akhiran action sehingga ia berubah menjadi
falsification yang diindonesiakan menjadi falsifikasi yang berarti hal
peinbuktian salah.
Falsifikasi yaitu lawan dan verifikasi. Istilah verifikasi dipakai
oleh para ilmuwan dan filsuf yang menjadi anggota lingkaran Wina yang memegang
teguh metode induksi dan yang semisal dengan mereka. Sebaliknya, Popper tidak
percaya pada induksi sama sekali meskipun dia benar-benar memercayai empirisme.
Menurut Popper, manusia dalam
memperoleh pengetahuan berdasarkan rasio yang ia miliki. Pandangan
ini sesuai dengan pandangan kaum rasionalis yang mengakui bahwa ada prinsip
dasar dunia tertentu yang diakul benar oleh manusia. Dan, prinsip ini diperoleh
pengetahuan deduksi yang ketat tentang dunia. Prinsip pertama ini bersumber
dalam budi manusia dan tidak dijabarkan
pengalaman, bahkan apa yang dialami dalam pengaaman empiris
bergantung pada prinsip ini.
Dengan demikian, pengetahuan muncul dalam diri seseorang atau dan
insight individual (pengetahuan terdalam seseorang). Sehingga dengan demikian,
pengetahuan dalam tataran teologis, metafisis, bahkan mistis sekalipun dapat
dianggap sebagai ungkapan (pengetahuan) Yang bermakna (meaningful). Persoalan
selanjutnya yaitu bagaimana untuk membuktikan pengetahuan itu, apakah ia
merupakan teori ilmiah atau ilmu sejati, atau ia tidak ilmiah dan hanya
merupakan pengetahuan semu belaka. Untuk ini Popper mengajukan kritenia ilmiah
tidaknya pengeta huan, yaitu kemampuannya atau kualitasnya untuk diuji dalam
lingkup bisa diuji (testability), bisa disalahkan (falsifihity) memiliki
prinsip atau istilah substansi, René Descartes menyebutnya dengan ide bawaan
(innate ideas), Leibniz menyebutnya dengan pusat kesadaran (manacle) dan bisa
disangkal (refutability). Maka dengan konsep keterujian dan penolakan ia
menjawab persoalan demarkasi, apabila teori dapat diuji dan memenuhi komponen
untuk disangkal maka ia telah memenuhi syarat keilmuan.
Perlu ditekankan bahwa tes terhadap teori bukan berorientasi men-
can pendukung kebenaran suatu teori, melainkan tes dilakukan dengan prinsip
falsifikasi, yaitu upaya untuk membantah, menyangkal, dan menolak teori itu.
Maka rangkaian tes berisi komponen penolakan terhadap teori itu, maka Popper
lebih memilih hipotesis untuk menyebut teori yang diuji, dikarenakan ia akan
selamanya hanya berupa hipotesis (dugaan Sementara) yang akan terus-menerus
diuji. lnilah prinsip ilmu sejati, dan tentunya seorang ilmuwan sejati tidak
akan takut untuk menghadapi penolakan, bantahan, kritik terhadap hipotesis yang
dikemukakannya. Bahkan sebaliknya, ia akan terus mengharapkan sanggahan untuk
tercapai kebenaran sejati.
Karakter berpikir Popper banyak dilandaskan oleh pengamatannya
dalam bidang ilmu alam, di mana pada masanya kemapanan fisika Newton dapat
digugurkan oleh teori relativitas Einstein. Maka dengan demikian, ilmu mencapai
hasil yang terus mendekati kebenaran. Dan, secara sadar diakui bahwa hal mi
berawal dan pengetahuan terdalam manusia yang menjelma menjadi suatu hipotesis,
kemudian mengalami kritikan terus-menerus sepanjang masa sehingga memunculkan
hipotesis baru yang nantinya juga terbuka untuk terus dikritisi.
Pandangan ini menunjukkan seperti kata Bergson dan Jhon (2003),
bahwa proses pengembangan ilmu bukanlah diawali dengan membantah setiap
pengetahuan sebelum diuji, dan juga bukan dengan proses akumulasi, dalam arti
mengumpulkan bukti-bukti positif untuk mendukung suatu teori, sebagaimana
pandangan neopositivisme. Bagi Popper, proses pengembangan ilmu yaitu dengan
jalan eliminasi terhadap kemungkinan kekeliruan dan kesalahan (error elimination).
Semakin suatu teori dapat bertahan dan penyangkalan dan penolakan maka ia akan
semakin kukuh dalam keilmuan, mi yang disebut Popper sebagai teori pengukuhan
(the mu omy of corraboration). Teori inilah yang kemudian mengantarkan Popper
dipandang sebagai filsuf sekaligus epistemolog rasional-kritis.
2. Paradigma Gerakan Zaman
Baru Capra
Menurut Capra (1991), dalam sejarah ilmu pengetahuan diketahui
bahwa fisika modern dimulai sejak Galileo, yang memilki ciri kombinasi antara
pengetahuan empiris dan matematika. Oleh karena itu, Capra melihat Galileo
sebagai bapak dan sains modern. Tetapi ia juga melihat bah wa akar dan
perkembangan sains bermula dan filsafat Gerika, khususnya dan arus pikir
Milesian, yang dapat dikatakan sangat mirip dengan konsep pikir monistis dan
organis, flisafat India dan China Kuno. Paradigma inilah yang diimpor dan
mewarnai pikiran Capra di dalam meninjau seluruh perkembangan sains modern. Hal
mi jelas, seperti yang diakuinya, bahwa pikiran itu mulai berkembang di
tengah-tengah masyarakat Barat sekitar 20 tahun terakhir, akibat masuknya
mistisisme Timur ke Barat. Itu alasan mengapa kemudian Capra menyoroti sains,
khususnya sains modern, bukan sebagai suatu permasalahan rasional, seperti
paradigma yang dipegang selama mi di kalangan ilmuwan, mencapai lainkan lebih
melihatnya sebagai suatu “jalur hati.” Penggabungan kedua problem besar i,
menurut Capra haruslah dipandang dengan terlebih dahulu menyelesaikan
pengertian “mengetahui” dan bagaimana pengetahuan itu diekspresikan. Sehingga
kita sulit menyadari akan keterbatasan dan relativitas pengetahuan konseptual
kita. Kita akan sulit membedakan antara realitas yang sesungguhnya dan konsep
atau simbol realitas itu, yang diutarakan oleh pengetahuan konseptual kita, di
sinilah mistisisme Timur memberilcan jalan keluar untuk kita tidak perlu
bingung lagi. Untuk mi, paradigma pengetahuan kita harus diubah, dan
pengetahuan konseptual menuju kepada pengetahuan eksperimental, agar kita dapat
langsung bertemu dengan realitas itu sendiri. Pengetahuan eksperimental ini
melampaui pengetahuan intelektual. dan juga persepsi indriawi.
Oleh karena itu, Capra mengusulkan untuk menggabungkan kedua
sistem pengetahuan. Kedua sistem mi saling tumpang-tindih di dua dunia
(realism) tersebut. Bahkan Iebih jauh, Capra mengargumentasjk bahwa the
rational part of research would, in fact, be useless if it were not
complemented by the intuition that gives scientist new insights and makes them
creative.
Di sini Capra melangkah lebih jauh dengan meletakkan pengetahuan
intuitif (intuitive knowledge) di atas pengetahuan nasional, bahkan riset
rasional. Memang kemudian ia mengatakan bahwa wawasan intuitiftidak terpakai di
dunia fisika, kecuali ia bisa diformulasikan di dalam kerangka kerja matematis
yang didukung dengan suatu penafsiran dalam bahasa yang gamblang. Sebaiknya, ia
juga mengargumentasikan adanya elemen rasional di dalam mistisisme Timur.
Memang tingkatan pemakaian rasio dan logika berbeda-beda di setiap arus
pikiran. Ta melihat bahwa Taoist sangat mencurigai rasio dan logika. Dan di
dalam dunianya, mistisisme Timur didasarkan pada wawasan langsung ke dalam
nature realitasnya, sedangkan fisika didasarkan pada penelitian terhadap
fenomena natural di dalam pengujian ilmiah. Dan dalam hal mi keduanya masuk ke
dalam dunia relatif.
Fisika baru ini dimulai dengan keharusan kita mengadopsi pandangan
yang lebih penuh, menyeluruh, dan ‘organik’ terhadap nature. Untuk itu kembali
Capra menekankan perlunya kita meninggalkan paradigma lama dan fisika kiasik.
Pada tingkat lanjut, Capra memasukkan konsep Panteisme dan mistisisme Timur
sebagai paradigma sains, yaitu memandang seluruh keberadaan sebagai keberadaan
tunggal, yang menyatu dan tidak perlu dan tidak bisa diperbedakan lagi.All
things are seen as interdependent and inseparable parts of this cosmic whole;as
different mnanifestations of the same ultimate reality. Capra mengacu bahwa
manusia sering tidak menyadari realitas seperti mi, karena manusia selalu
membagi dunia mi di dalam berbagai objek dan peristiwa. Capra mengakul perlunya
pembagian ml untuk menjalankan kehidupan sehari-hari, tetapi itu semua bukanlah
unsur fundamental dan realitas.
Paradigma ini didukung oleh perkembangan fisika atom, di mana
konstituen setiap materi dan fenomena dasar atomik mi sangat berkaitan erat
satu sama lain dan saling bergantung satu dengan yang lain; sehingga mereka
tidak lagi dapat dimengerti sebagai suatu unsur yang berdiri sendiri, tetapi
hanya bisa dimengerti sebagai satu bagian integral dan suatu keseluruhan. Di
dalam komentar edisi keduanya ini, Capra melanjutkan bahwa sifat interkoneksi
(saling berelasi dan bergantung) di dalam sains berkembang ke berbagai bidang,
sampai ke parapsikologi. Maka, dengan mi Capra melihat seluruh fenomena dunia
ini bersifat semu, dan realitas dasar pada hakikatnya tunggal. Realitas sains
bisa ber satu dengan dunia paranormal.
Dengan penerimaan panteisme dan mistisisme merasuki dunia sains,
maka seluruh realitas materi kini dilihat sebagai realitas yang hidup.
Pergerakan elektron dalam molekul kayu diinterpretasikan sebagai kehidupan
materi. Dengan lebih tajam lagi, dapat dikatakan bahwa benda yang selama ini
dianggap mati kini dianggap hidup, bahkan setara dengan manusia. Gagasan ini
memiliki implikasi yang luas. Urbanus Weruin (2001) mengatakan, bahwa dalam
memandang alam sebagai benda mati telah berakibat fatal bagi ekologi. Manusia
seolah-olah boleh mengeksploitasi alam semaunya. Sebagai alternatifnya, ia
menyodorkan paradigma dan mistisisme Timur untuk melestarikan lingkungan hidup.
Memandang alam sebagai “makhluk hidup” bahkan setara dengan manusia, akan
menjadikan manusia menyayangi alam dan bisa menyatu dengan alam.
Karena semuas realitas pada dasarnya tunggal, maka tidak mungkin
ada satu pun fenomena yang bisa dipertentangkan. Semua dualisme, Seperti pagi
dan petang, hidup dan mati, haruslah dilihat hanya sebagai dua sisi dan satu
realitas tunggal. Di sini seluruh konsep pembagian, keteraturan, keterbatasan,
kekhususan, tidak boleh lagi membatasi perkembangan pemikiran sains dan cara
mengerti realitas dunia ini. Capra berargumen, justru karena pemikiran akan
struktur keteraturan, maka manusia tidak pernah bisa mengerti pergerakan
elektron, sampai manusia menerima bahwa pergerakan elektron memang pengerakan
yang tidak bisa diduga dan tidak pasti adanya. Capra menekankan bahwa di dalam
paradigma sains modern, keko songan dan kepenuhan (emptiness and form) bukan
dua hal yang berten tangan lagi, melainkan lebih merupakan satu realitas
tunggal. Akibatnya, jelaslah bahwa paradigma Newton tidak dapat lagi diterapkan
di dalam paradigma yang baru mi. Penggabungan antara kekosongan dan bentuk,
menjadikan seluruh realitas tidak dapat lagi dimengerti secara biasa, tetapi
menuntut adanya pola pandang yang baru.
Paradigma yang dikemukakan Capra telah mendapat sambutan ha- I
nyak orang, karena paling tidak ia memberikan beberapa hal yang dapat i
dianggap positifbagi dunia sains khususnya dan dunia luas pada urnumnya,
beberapa di antaranya: Pertarna, dukungan hipotesis relativitas Enstein.
Paradigma Newton dan Cartesian memang mendapatkan pukul- an berat dan jatuh
dengan terbuktinya beberapa bagian dan hipotesis Einstein. Hipotesis Einstein
telah memaksa hukum mekanika Newton mengalami perbaikan jika ingin diterapkan
kepada materi yang bergera dengan kecepatan sangat tinggi (seperti gerak
elektron atau gelombang elektromagnetik).
Akibatnya, dimensi ruang dan waktu yang menjadi batasan di dalam
paradigma Newton, kini direlasikan menjadi suatu relasi relatif melalui
hipotesis Einstein. Suksesnya perkembangan hipotesis Einstein di dalam
memperkembangkan ilmiah nuklir (yang memang memiliki unsur pergerakan
elektromagnetik dan gerak elektron yang berkecepatan sangat tinggi), menjadikan
hipotesis mi seolah-olah boleh disahkan menjadi suatu teori mekanika baru yang
dapat diterapkan di semua bidang dan semua benda. Akibatnya, paradigma Newton
dan Cartesian tidak mendapatkan tempat sama sekali di percaturan sains modern.
Dalam memadang manusia, Capra mengatakan sebagai pusat. Artinya,
dasar utama pemikiran paradigma baru mi yaitu penolakan terhadap pandangan
penciptaan dunia mi oleh Tuhan yang berdaulat. Capra, menolak pandangan mi.
Mereka berargumentasi bahwa dengan melihat alam mi sebagai ciptaan, maka alam
menjadi materi yang mati yang terbatas dan terikat oleh hukum kausalitas.
Sebagai alternatif, mereka memilih melihat manusialah dengan intuisinya menjadi
pusat dan segala pemikiran sains dan interpretasi alam. Di sini semangat
humanisme diangkat ke puncaknya.
Pikiran ini sangat disenangi oleh masyarakat modern, yang memang
pada hakikatnya sudah menolak Tuhan dan ingin mengembangkan pemikiran humanisme
setinggi-tingginya. Paradigma Capra memungkinkan manusia mengembangkan sains
sambil mencapai tujuan humanismenya, di mana manusia tidak perlu mengakui Tuhan
sebagai pencipta alam semesta ataupun pengatur pergerakan sejarah manusia.
Paradigma Capra sekaligus menjunjung tinggi manusia ke posisi Tuhan. Manusialah
yang menjadi penentu segala sesuatu. Intuisi (yang didukung dengan mistisisme
Timur) diagungkan sebagai dasar penentu pergerakan dan perkembangan sains
(bahkan ke semua bidang ilmu).
Sejak manusia meninggalkan Tuhan dan menuju ke ateisme, maka tanpa
sadar manusia mengalami kekeringan rohani. Selama sekitar satu abad manusia
mencoba bertahan, tetapi pada akhirnya manusia mau tidak mau menyadari tidak
terhindarnya manusia bertemu dengan realitas metafisika. Namun manusia tidak
rela kembali kepada Tuhan, sehingga akhirnya mereka lebih cenderung untuk
mengadopsi mistisisme Timur, yang memberikan kepuasan metafisika tanpa perlu
mengakui Tuhan yang berdaulat dan manusia yang berdosa. Dengan menerima
mistisisme Timur yang berkembang pesat di tengah pikiran Barat, dan sejak
sekitar 1960-an paradigma sains Capra segera mendapatkan tempat pula. Bahkan
dapat dikatakan, Capra sendiri telah terlebih dahulu berpindah ke paradigma
mistisisme Timur, dan dengan paradigma ia merekonstruksi ulang seluruh teori
sainsnya. Itu alasan paradigma sains Capra tidak mengalami kesulitan penerimaan
di tengah masyarakat yang memang telah mempunyai paradigma yang sama. Di
samping itu, rusaknya ekosistem, meluasnya polusi, dan munculnya berbagai
dampak negatif perkembangan teknologi modern, menja dikan manusia dengan senang
hati berpindah ke paradigma Capra yang dilandasi pikiran mistisisme Timur.
Pikiran mistisisme Timur dianggap dapat membuat manusia lebih mencintai alam
dan memperhatikan lingkungan. Berbagai slogan, seperti “back to nature”
mengajak masyarakat modern memandang alam sebagai kesatuan dengan dirinya
sendiri, sehingga manusia bisa lebih memelihara kelestarian lingkungannya.
Namun, untuk menerima paradigma Capra, kita perlu mempertim
bangkan beberapa hal secara serius. Pendekatan Capra yang mengawinkan filsafat
Barat dengan mistisisme Timur dikenal saat mi sebagai perkembangan filsafat
Barat yang terbaru, yang berkembang sejak 1960-an hingga saat ini, yang diberi
julukan Gerakan Zaman Baru (New Age Move
pe- ment). Arus ini merupakan kelanjutan dan perkembangan filsafat
modernisasi dan pascamodernisme, yang kecewa pada Barat selama ini.
Mereka berasumsi bahwa pendekatan Barat telah gagal membawa
manusia menuju kepada kebahagiaan dan kesejahteraan hidup yang seutuhnya. Oleh
sebab itu, mereka mulai beralih dan mencoba mengawinkan pikiran mereka dengan
pikiran Timur yang bersifat mistis (monistis dan panteis). Apabila ditelusuri
secara mendalam, justru di dalam
pembicaraan paradigma Capra, persoalan bergeser justru menjadi
masalah verifikasi religius. Capra membawa dunia dan alam fisika ke dala format
mistik dan panteistis, di mana manusia akan dibawa melihat alam sebagai bagian
atau diri Tuhan.
Alam dan dunia fisika tidak lagi dilihat sebagai ciptaan Tuhan,
Yang dicipta menurut rancangan dan kehendak Tuhan, dan harus dipertang..
gungjawabkan kembali kepada Tuhan, tetapi sebagai alam yang bergera bebas liar semaunya
sendiri tanpa perlu keterikatan pada Penciptanya (karena tidak ada konsep
pencipta dalam pikiran Capra). Alam juga tidak dilihat sebagai alam yang
bersifat materi dan mati, tetapi dilihat sebagaj “yang hidup,” sehingga alam
tidak lagi di posisi bawah dan tatanan semesta dan hubungan antara Tuhan,
manusia, dan alam, tetapi menjadj sejajar atau bahkan menggantikan posisi Tuhan
(karena posisi Tuhan ditiadakan). Jelas bahwa hal mi mendobrak total seluruh
paradigma dasar sains yang seharusnya.
Del Ratzsch, dalam bukunya Philosophy of Science mengatakan
paradigma Capra telah merusak definisi dan metodologi sains. Untuk itu,
beberapa dasar asumsi yang harus ditegakkan untuk membangun paradigma sains
yang kukuh, yang dapat memberikan aspek dasar pengetahuan perlu adanya:
Pertaina, merupakan disiplin ilmu yang berunsur teoretis. Kedua, bersifat
rasional; memiliki penjelasan natural. Ketiga, bersifat objektif dan terbukti
secara empiris. Dengan mi, pendekatan ilmu pengetahuan alam (natural) haruslah
dibatasi di wilayah yang empiris dan natural. Namun jika diperhatikan secara
saksama, paradigma Capra yang sudah diwarnai mistisisme Timur telah
mencampurkan beberapa aspek yang sulit dikatakan ilmiah lagi.
Capra telah mencampur dunia fisika dengan dunia metafisika, dan ia
juga mencampur antara hasil pengujian empiris dan dugaan metafisik (antara
ilmiah sejati dan ilmiah semu). Paham mi sebenarnya bukanlah hal yang baru,
melainkan telah mengikuti perkembangan pemikiran mistis, baik di Timur maupun
di Barat, yang telah ditolak oleh kekristenan.
Suatu komentar pemenang hadiah Nobel untuk bidang fisika, Steven
Weinberg mengatakan, “Meskipun sudah mengenal pengetahuan modern, tetapi setiap
kali ada temuan atau ada sesuatu yang berhubungan dengan parapsikologi,
masyarakat awam maupun ilmuwan beramai-ramai membicarakannya dan berusaha turut
menyelidikinya. ini namanya langkah mundur ke permulaan lagi. Pertanyaan yang
kemudian muncul, dunia macam apakah yang kita diami sekarang ini?”
Gejala mi dengan sendirinya menimbulkan kerisauan ilmiah.
DelRatzSCh menyoroti percampuran dua dunia mi (sains dan mistis), mengakibatkan
pencampuran dan dua pendekatan dan dua kenyataan yang berbeda. Pendekatan
terhadap dunia metafisika seharusnya berbeda dengan pendekatan terhadap dunia
fisika. Dunia metafisika berada di luar wi1ayah ilmu pengetahuan fisika,
sehingga harus diakui adanya keterba tasan di dalam wilayah ilmu pengetahuan
fisika. Oleh karena itu, Ratzsch menekankan keterbatasan ilmu pengetahuan agar
kebenaran ilmiah dapat tetap terjamin.
Banyaknya distorsi yang telah dikemukakan Ratsch di dalam bukunya,
mengharuskan ia menguraikan batasan ilmiah secara lebih teliti. Oleh sebab itu,
di dalam bukunya ia mengemukakan apa yang ada didalam dan di luarbatasan ilmu
pengetahuan. Ketika Capra menginterpretasi alam, paradigmanya telah menyesatkan
kesimpulan yang didapat Ketika ia menganggap reaksi alam sebagai “makhluk
hidup” (living creature), Capra telah meloncat secara iman menurut konsep
mistisisme Timurnya. Kekacauan seperti mi akan menjadi bumerang yang
menghancurkan dunia sains.
Rusaknya batasan dunia sains akibat paradigma sains-mistis Capra,
batasan menjadi kabur. Seolah-olah seluruh alam semesta menjadi tidak terbatas,
penggunaan teori atau hipotesis sains bisa diterapkan di segala bidang secara
tanpa batas. Pengetahuan sains-mistis berasumsi bahwa hipotesis Einstein
berlaku dan bisa diterapkan di semua materi, tanpa memperhitungkan keterbatasan
sifat materi itu sendiri.
Ketika mengacu kepada paradigma baru, Capra seolah berusaha
menghapus sama sekali semua paradigma lama, padahal keadaan semacam itu tidak
mungkin dilakukan (dan ia pun di beberapa aspek mengakuinya). Dengan menyadari
keterbatasan sains, maka sains akan mawas diri. Di sini Capra sendiri mengalami
dualisme yang ia tentang dan tidak mau akui. Pola sains yang dualistik dan
kontradiktif seperti ini akan merusak pola sains sendiri, dan pada akhirnya
akan merusak seluruh perkembangan ilmiah di masa yang akan datang. Ia akan
merupakan faktor perusak diri sendiri (self-defeating factor) yang akan
meruntuhkan paradigma ilmu secara epistemologis.
3. Paradigma Thomas Kuhn
Paradigma Thomas Kuhn berusaha melakukan dobrakan, dunia sains
dituntut untuk meginterpretasi ulang perkembangan sejarahnya. Kuhn melihat
bahwa sains bukanlah merupakan suatu pergerakan sinambung dan sains-normal
(normal-science), melainkan lebih merupakan loncatan paradigma sebagai akibat
terjadinya revolusi sains (sciencer evolution). Maka dunia sains merupakan
dunia pergolakan teori sains yang bergerak dan satu paradigma ke paradigma
lain. Paradigma Kuhn membuka Wawasan untuk melihat sains sebagai teori yang
senantiasa berkembang dan berubah, menurut paradigma yang mendasarinya. Dunia
modern yang bersifat relatif sangat menyukai gagasan Kuhn in Dunia modern sudah
mengalarni traumatik akibat konsep kernutlakkan yang dipegangnya sejak
pencerahan di abad ke XVII dan gugur di dalam Perang Dunia I dan II, karena
penyimpangan dalam penggunaan sains.
Semangat kemutlakkan berbalik menjadi semangat pragmatis dan
relatif. Masyarakat modern menuduh keyakinan akan kemutlakkan yang telah
menyebabkan timbulnya pertikaian dan peperangan. Sebaliknya, semangat
relativitas dan pragmatis akan menolong manusia lebih luwes dan bersahabat.
Semangat mi saling memengaruhi timbal balik dengan timbulnya paradigma sains
Capra.
Giyanto (2008) mengatakan, dewasa mi banyak bermunculan berbagai
pandangan episternologi, baik positivisme, fenomenologi, strukturalisme,
hermeneutika, materialisme histosis, maupun postmodernisme. Semua aliran
epistemologis mi telah tumbuh subur dengan berbagai pengikutnya. Sepanjang
berjalannya sejarah, berbagai pandangan epistemologis beserta outputnya yang
berupa ilmu pengetahuan dianggap sebagai kebenaran absolut. Kalangan ilmuwan
meyakini bahwa mereka menjunjung dan berbagi nilai-nilai kebenaran yang sama
ketika meneliti sesuatu, sebab itu hasilnya yang berupa ilmu pengetahuan
merupakan suatu kebenaran.
Pandangan dominan dan mapan ini kemudian goncang ketika Thomas
Kuhn mencecar dunia ilmiah dengan pandangannya yang tak lazim. Di antaranya
tentang “bias dan subjektivisme” yang pasti terjadi dalarn proses menghasilkan
ilmu pengetahuan. Ia menuntut pula suatu paradigma perubahan paradigma yang
nantinya akan berujung pada revolusi ilmu pengetahuan. Inilah yang muncul dalam
karya besar Kuhn, yaitu The Structure of Scientific Revolution yang lazim
disebut Structure saja. Karya inilah yang menyeruak dan menjadi buku populer di
kalangan akademisi dan ilmuwan di era 60-an hingga kini. Kemunculan buku ini,
yang terbit pada 1962 telah dikutip dan menjadi rujukan karya-karya lain
sebanyak 9.268 kali mulai 1990 hingga 2007, bahkan sampai sekarang karya ini
tetap menjadi karya yang monumental di kalangan ilmuwan dan para filsuf.
Kuhn dapat mengubah pandangan dunia terhadap kebenaran ilmu
pengetahuan dan perlunya perubahan paradigma yang menuju kepada revolusi ilmu
pengetahuan, oleh karenanya menarik untuk dibahas Secara singkat dan padat
mengenai bagaimana revolusi ilmu pengetahuan Thomas Kuhn. Menurut van Gelder
(1996) dilihat dan sudut sejarah, Kuhn yang terlahir dengan nama Thomas Samuel
Kuhn, putra dan Samuel L. Kuhn dan Annette Stroock. Ia dilahirkan pada 18 Juli
1922, di Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat.
Paradima Kuhn menjelaskan panjang lebar tentang apa dan bagaimana
suatu ilmu pengetahuan terbentuk, dan bagaimana ilmu pengetahuan itu diyakini
sebagai kebenaran oleh para ilmuwan yang mengembang kannya, serta kritik yang
Kuhn lancarkan mengenai hal ini dan alasan Kuhn tentang alternatif yang bisa
dilakukan beserta argumentasi yang ia bangun, di antara idenya yaitu
menyangkut:
Pertama, ide tentang paradigma. Paradigma yaitu tema pokok Kuhn
dalam bukunya, The Structure. Pada setiap kali kesempatan menampilkan ide baru,
Kuhn menggunakan tema paradigma ini dengan arti yang berbeda. Dewasa ini term
paradigma muncul di berbagai diskursus, sering kali dalam arti cara “berpikir”
atau “pendekatan terhadap masalah.” Walau Kuhn secara umum berhasil
memopulerkan penggunaannya, tapi dalam kenyataannya kepopuleran tema mi tidak
beriringan dengan aspek utama argumentasi Kuhn pada The Structure.
Kuhn menekankan bahwa paradigma tidak dapat disederhanakan menjadi
sekelompok kepercayaan atau daftar peraturan saja. Karena Sesungguhnya para
ilmuwan harus mempelajarinya dengan cara melakukannya, secara mental dengan
berpikir tentang konsep yang digunakan di lapangan ilmu pengetahuan tertentu
dan secara fisik dengan memanipulasi material untuk memunculkan fenomena. Kuhn
berpandangan bahwa sejarah ilmu pengetahuan mudah dikenali sebagai periode
stabil yang ia sebut normal science, ditandai dengan perubahan revolusioner
yang kemunculannya lebih jarang.
Paradigma yaitu konsep utama Kuhn dalam hal in sejak masa normal
science hingga terjadinya revolusi ilmu pengetahuan (yang Kuhn membahasakannya
sebagai perubahan paradigma). Dalam pola kemunculannya, paradigma mulanya
merupakan publikasi sebuah buku yang menghentak, yang memuat suatu problem
sekaligus solusinya, kemudian pihak-pihak lain mengadopsi tujuan dan metode
yang akhirnya memunculkan periode normal science. Melawan pandangan umum bahwa
masa Renaissance Eropa yaitu cikal bakal munculnya sebagai revolusi ilmu
pengetahuan, Kuhn justru menjumpai revolusi yang terjadi berkali-kali pada
sejarah ilmu pengetahuan, yaitu kejadian di mana suatu paradigma yang baru
mengganti paradigma ilmu pengetahuan sebelumnya.
Paradigma dalam Oxford English Dictionary didefinisikan sebagai
pattern (pola) atau example (contoh). Kuhn yang secara lebih jauh memercayai
bahwa normal science biasanya terjadi atas munculnya buku penting dan sering
kali atas eksperimen yang berkelanjutan, Kuhn juga mempunyai ide bahwa
paradigma yaitu pola yang akan diikuti oleh pikiran ketika ia menjelaskan
pandangan-pandangannya. Aspek kunci dan paradigma yaitu bagaimana menghadapi
masalah dan bagaimana menyelesaikannya. Sebagai misal, hukum gerak Newton dan
kekuatan gravitasi digabungkan untuk menjelaskan pergerakan planet. Kuhn juga
berpikir bahwa pada ilmuwan yang bekerja dalam paradigma yang sama, para ahli
sejarah akan menemui metode yang seragam, standar yang seragam, bahkan tujuan
yang seragam pada mereka.
Masa normal science biasanya bersifat konsensus, bersifat
kesepakatan bersama, khususnya mengenai hal-hal fundamental. Dan, kesepakatan
mi menimbulkan spesialisasi yang diistilahkan Kuhn sebagai “pekerjaan para ahli
atau pro fesional.” Normal science yaitu untuk memperluas hasil kerja utama
dengan mempraktikkan metode di area baru di samping di area yang lama untuk
memperkukuh paradigma. Sebab normal science berdasarkan atas kesepakatan dan
mempunyai parameter yang telah ditentukan yang dimungkinkan untuk melakukan
proses dan mengumpulkan pengetahuan.
Kritik atas ambiguitas term paradigma Kuhn dimunculkan oleh
Margaret Masterman, seorang ilmuwan komputer yang bekerja di bidang komputasi
linguistik. Ia menyatakan bahwa definisi dan penggunaan Kuhn terhadap kata
paradigma berbeda hingga 21 makna. Walau tentang argumeniasi Kuhn secara umum
ia sepakat, tapi ia menyatakan bahwa ambiguitas yang Ãa jumpai berkontribusi
atas kesalahpahaman peluang kritik secara filosofis, yang juga melemahkan
efektivitas argumentasi secara menyeluruh. Kuhn merespons kritik Masterman mi
dengafl catatan khusus di edisi ketiga The Structure, dengan menggunakan term
“disciplinary inatrix’ tidak dengan term “paradigin”bila hendak inenyampaikan
rnaksud tentang sekelompok konsep, nilai, teknik, dan ,etodologi.
Ide tentang revolusi ilmu pengetahuan dan Kuhn pada dasarnya
melawan konsepsi yang lebih umum, dengan menyatakan bahwa ilmuwan sesungguhnya
ialah sosok pemikir yang tidak objektif dan tidak independen. Bahkan, mereka
ialah individu konservatif yang menerima apa yang telah mereka pelajari dan
menggunakan apa yang mereka ketahui untuk menyelesaikan suatu persoalan sesuai
apa yang dituntun oleh teori. Kebanyakan mereka, secara mendasar merupakan
puzzle solver pemecah puzzle yang bertujuan untuk menyingkap ulang apa yang
telah mereka ketahui secara lebih lanjut.
Menurut Frank Pajares, mereka ialah orang yang berusaha keras
untuk memecahkan masalah yang ada dengan panduan pengetahuan dan teknik yang
sudah ada. Kuhn menyatakan bahwa normal science sesungguhnya melemahkan fondasi
keilmuannya sendiri. Ia menyatakan bahwa penelitian tidak ditujukan untuk
menyingkap apa yang belum diketahui, tetapi malah bentuk pengabdian yang
dipaksakan atas kerangka konseptual yang diberikan pendidik profesional.
Untuk itu diperlukanlah suatu komitmen para profesional untuk
melakukan pergeseran dan berbagi asumsi yang menghasilkan suatu anomall dan
mengubah pondasi ilmu pengetahuan. Ia menyebutnya sebagai scientific
revolution—revolusi ilmiah, yang mentradisikan saling melengkapi dan melawan
tradisi normal science yang serba terikat. Pandangan atau asumsi baru yang ia
sebut paradigma, yang akan merekonstruksi dan revaluasi asumsi dan fakta-fakta
sebelumnya. Hal mi ia akui sangat sulit dan memakan waktu, dan akan sangat
ditentang oleh masyarakat yang mapan.
Selanjutnya kata Frank Pajares, menurut Kuhn, paradigma sangat
penting dalam penelitian ilmiah, karena dasar kenyataan bahwa secara alamiah
tidak ada sejarah yang dapat diinterpretasi tanpa kehadiran, setidaknya
beberapa ikatan implisit yang terjalin dan kepercayaan teoretis dan metodologis
yang memungkinkan seleksi, evaluasi, dan kritik. Paradigma akan memandu usaha
penelitian masyarakat ilmiah, dan paradigma inilah yang dapat memberikan
kriteria yang paling jelas dalarn mengidentifikasi suatu bidang ilmu
pengetahuan. Argumentasi Kuhn dapat disimpulkan bahwa pola khas perkembangan
paradigma ke paradigma lain secara revolusioner. Ketika pergeseran paradigma
berlangsung, maka seorang ilmuwan secara kualitatjfberubah dan secara kuan
titatif diperkaya oleh pondasi baru baik berupa fakta maupun teori.
Ketika masa normal science masih berlangsung, tugas ilmuwan yaitu
membawa teori yang diterima dan fakta ke dalam suatu kesepakatan AkhirnYa,
ilmuwan kadang mengacuhkan penemuan riset yang mungkin mengancam paradigma
sebelumnya yang sesungguhnya menjadi energi semakin berkembangnya paradigma
yang baru dan kompetitif. Dalam mendapatkan ilmu pengetahuan, Kuhn menyingkap
“keindahan dan kemenarikan akan ini muncul hanya melalui kesulitan, diwujudkan
dengan perlawanan, dan melawan anggapan yang mapan.”
Kritik atas ide tentang revolusi ilmu pengetahuan muncul dan
Steven Toulmin pada karyaflya The Uses of Arguinent, ia berpendapat bahwa
perubahan pada ilmu pengetahuan secara praktis dan realistis yaitu revisi
secara bertahap dan berkali-kali, bukan seperti apa yang dicontohkan di The
Structure yang beupa revolusi yang dramatis dan radikal. Menurut pandangan
Toulmin, revisi berkali-kali justru terjadi melalui apa yang disebut oleh Kuhn
“nonnal science”. Dan bila Kuhn menyatakan bahwa revisi semacam itu disebut
sebagai “penyelesaian puzzle secara nonparadigmatis,” maka Kuhn mempunyai beban
untuk menjelaskan perbedaan mendasar ilmu pengetahuan paradigmatis dan
nonparadigmatis.
Berdasarkan kritik yang dimunculkan Toulmin, dalam hal itu muncul
ide tentang incommensurability yang dimaksudkan untuk menguatkan klaim bahwa
tidak ada piranti percobaan dan penelitian yang dapat membantu ilmuwan untuk
menentukan paradigma mana yang benar. Kuhn sendiri memberikan argumen bahwa
percobaan Gestalt menampilkan bagaimana sangat dimungkinkan seorang ilmuwan
melihat dunia dengan pandangan yang begitu berbeda setelah mengganti paradigma.
Contoh bahwa ilmuwan melihat hal yang jauh berbeda setelah
perubahan paradigma seperti berikut. Pada masa sebelumnya Bumi dilihat sebagai
pusat alam, kemudian sebagai planet yang mengorbit di salah satu bintang.
CahaYa sebelumnya dianggap sebagai partikel, kemudian berubah dianggaP sebagai
gelombang, dan yang terakhir dianggap sebagai foton. Uranus sebelumnya dilihat
sebagai bintang, kemudian berubah pendapat itu menjadi komet, dan yang terakhir
sebagai planet ketika William Herschel “menemukannya” sebagai temuan mutakhir.
Kuhn berargumen bahwa perubahan revolusioner yang dicontohkan
bukan sekadar mengganti nama atas sesuatu (partikel, kemudian gelombang,
kemudian foton pada cahaya misalnya), melainkan sesungguhnya para ilmuwan
bekerja pada paradigma yang berbeda dan mengumpulkan data yang berbeda serta
bekerja di ranah yang berbeda. Sesuatu yang sebelumnya perlu atas penjelasan
bisa jadi terlihat sangat wajar di bawah paradigma yang baru. Sebaliknya, apa
yang dianggap wajar pada masa sebelumnya, maka buku penjelasan ketika dibawa
kepada paradigma yang baru. Oleh karena itu Kuhn menyatakan, “para ahli sejarah
keilmuan harus menycztakan bahwa ketika paradigma berubah, inaka dunia itu akan
otomatis berubah inengikuti paradigina tersebut.”
Walaupun ia sering menyatakan hal-hal yang kontradiktif di The
Structure, Kuhn setidaknya mengakui bahwa para ilmuwan yang bekerja di
paradigma yang berbeda sesungguhnya mereka hidup di dunia yang berbeda.
Paradigma tidak dapat dikatakan sebagai interpretasi atas dunia sebagai objek
tunggal, karena sesungguhnya “interpretasi” itu sendiri terjadi hanya melalui
paradigma yang berbeda. Kita tidak akan melihat dunia ini dalam bentuk yang
sesungguhnya, tapi yang terjadi yaitu kita belajar melihat dunia, dibimbing
oleh paradigma itu.
Tanpa paradigma, maka tidak ada ilmu pengetahuan sama sekali, yang
ada hanyalah kebingungan. mi merupakan salah satu poin yang dibuat Kuhn atas
hasil dan referensinya tentang percobaan permainan kartu anomalinya Jerome S.
Bruner dan Leo Postman serta pandangan terbaliknya George M. Stratton. Kuhn
mengenalkan term incoinmensurabiliy untuk menerangkan sulitnya membandingkan
satu paradigma dengan paradigma yang lain. Karena di sini tidak ada metode uji
atas paradigma secara menyeluruh untuk membandingkan prediksi yang di hasilkan
oleh suatu paradigma dengan paradigma lain. Sebab metode uji sudah lazim di
kalangan ilmuwan ketika mereka menguji teori mereka. Kuhn memberikan argumen
bahwa ketika ada kejadian yang mengguna kan kata yang sama di paradigma yang
berbeda atau ketika ada fenomena yang dapat diterangkan di paradigma yang
berbeda, kata itu sesungguhnya mempunyai arti yang berbeda di tiap paradigma
dan fenomena yang terjadi itu sesungguhnya tidaklah sama.
Kritik terhadap incommensurability yang dikemukakan Toulmin belum
berhenti di sana, pada awal 70-an CR. Kordig menerbitkan beberapa karya tulis
yang ia tempatkan untuk menengahi Kuhn dan teori filsafat ilmu yang lebih tua.
Poin krusial atas analisis Kordig berkisar di antara nyata dan wujudnya
ketidakberubahan dalam süatu observasi.
Kritiknya menyatakan bahwa tesis Kuhn tentang incommensurability
sangat radikal, hingga hal mi membuat tidak mungkin untuk menjelas kan
konfrontasi atas teori-teori jumlah yang sering kali muncul. Menu rut Kordig,
pada faktanya sangat dimungkinkan revolusi dan perpindahan paradigma pada ilmu
pengetahuan dan masih dimurigkinkan ketika hal itu terjadi, suatu teori yang
berdasar paradigma yang berbeda dapat dibandingkan dan dikonfrontasikan dalam
rangka penelitian. Mereka yang mendukung tesis incommensurability seharusnya
membatalkan dukungannya karena mereka sesungguhnya mengakui atas
ketidakberlanjutan berbagai paradigma, sebab mereka memaksakan perubahan
radikal pada hal itu.
Kordig menyatakan bahwa ada rangka penelitian umum yang dapat ditempuh.
Sebagai contoh, ketika Kepler dan Tycho Brahe mencoba menjelaskan variasi
relatif jarak matahari melalui cara membandingkannya di garis horizon ketika
terbitnya, keduanya melihat hal yang sama (yaitu melihat konfigurasi yang sama
yang difokuskan pada retina setiap individu), mi hanyalah satu contoh dan fakta
bahwa “teori ilmuwan yang berlawanan berbagi rangka penelitian yang sama, lebih
jauh berbagi pula sebagian arti yang sama.” Kordig menyatakan bahwa dia tidak
akan mengenalkan ulang perbedaan atas observasi atau penelitian dengan teori.
Ia hanya ingin menyatakan bahwa walaupun tidak ada perbedaan yang sangat jelas
antara teori dan observasi, bukan berarti hal mi menyebabkan tidak ada
perbedaan komprehensif pada kutub yang paling ekstrem. Selain itu, Kordig juga
menyatakan bahwa ada rangka-rangka umum dan standar pada lintas paradigma, dan
mereka berbagi norma yang mengizinkan konfrontasi yang efektif atas teori
lawan.
Masih terdapat kritik lain atas The Structure Kuhn, seperti muncul
dalam simposium mengenai The Structure. Dalam simposium khusus yang
diselenggarakan pada 1965 tentang The Structure, Kuhn dikritisi oleh koleganya.
Simposium yang digelar oleh International collogium on the philosophy of
science yang diadakan di Kampus Bedford, London, dipimpin oleh Karl Popper.
Output dan simposium mi di antaranya terbitnya presentasi simposium di samping
juga beberapa esai, kebanyakan bersifat menolak pendapat Kuhn.
Kuhn merespons perhelatan simposium mi dengan menyatakan bahwa
pembaca bukunya yang mengkritisinya sangat inkonsisten, Sehingga seakan-akan
mereka memandang ada dua Thomas Kuhn dalam kritik mereka, yaitu Kuhn sebagai
penulis buku The Structure dan Kuhn sebagai individu yang sedang “dihabisi” di
simposium mi oleh Popper, Feyerabend, Lakatos, Toulmin, dan Watkins.
Kritik terhadap paradigma Kuhn yang mengemuka begitu gencarnya
ternyata juga muncul di Eropa, sehingga dikenal dengan “Eropasentris”. Arun
Bala yang dalarn studinya “the dialogue of civilizations in the birth of modern
science” menyatakan, bahwa The Structure sangat kental dengan nuansa
Eropasentris. Sebagai suatu karya keilmuan, walaupun di sisi tertentu membuka
pintu untuk peran multikultural dalam studi sejarah keilmuan.
Kritik pertama, Kuhn melewatkan kontribusi ilmu optik oleh ilmu
wan Arab lbn Aih Aytham (Aihazen) yang berpengaruh pada pemikir menengah
seperti Roger Bacon dan Grossteste, serta pemikir modern seperti Galileo dan
Kepler dalam tulisannya.
Kritik kedua, Kuhn tidak mengindahkan studi seminasi Needham pada
tahun 50-an mengenai ilmu pengetahuan China dan kontribusinya pada ilmu
pengetahuan modern. Bala berpendapat bahwa hal ini disebabkan kerangka
epistemologi postmodernisme yang dianut oleh Kuhn yang menutup mata atas peran
budaya non-Barat dalam pengembangan keilmuan modern. lnilah yang akhirnya
membawa Kuhn untuk bersikap membedakan tradisi keilmuan secara kultural sebagai
dunia intelektual yang terisolasi dan dunia keilmuan kultur lainnya. Bala
menegaskan bahwa sesungguhnya tradisi keilmuan lintas kultural yang memasukkan
kontribusi budaya Arab, China, Mesir Kuno, dan India dalam tradisi filsafat,
matematika, astronomi, dan fisika yang menjadi cikal bakal dan mewarnai serta
melahirkan ilmu pengetahuan masa kini.
Di tengah gencarnya kritik terhadap paradigma Kuhn ternyata ada
juga dukungan atas ide-ide Kuhn, seperti dikemukakan Massimiano Buc chi (2004).
Di antara pendukung gagasan Kuhn muncul seperti: Pertama, Massimiano Bucchi.
Dia menyatakan bahwa munculnya paradigma menjadi sinyal bahwa sektor penelitian
yang bersifat konsolidatif perlu menjadi suatu disiplin ilmiah. Selanjutnya
dikatakan pula bahwa sains dan paradigma secara efektif sama, karena
sesungguhnya paradjg yaitu konsensus kolektif dan definisi yang tidak lain
merupakan suatu ilmu pengetahuan. Kuhn sesungguhnya hanya menunjukkan bagaiman
ilmu pengetahuan dapat berkembang melalui kombinasi perkembangan lambat melalui
problem solving, juga secara cepat dan revolusioner dengan cara mengganti
paradigma satu dengan paradigma yang lain. Kedna, Peter Dear (2001) menulis,
dia membela secara khusus sikap filosofi5 Kuhn i mana sejarawan ilmu selalu
rnenghindari prasangka. mi alasan mengapa Kuhn setuju dan rnengakui ide awal
fenomenologi Edmund Hussen. Ketiga, Alexander Bird, dalam tulisannya (2005) dia
menegaskan bahwa pikiran Kuhn merupakan teori ash. Bird mengatakan bahwa dampak
Kuhn pada ilmu sosial mempunyai dua aspek: yang pertama, perubahan dalam din
ilmu sosial-persepsi; yang kedua, saran peran baru dan materi untuk ilmu
sosial.
Bagaimanapun, pemikiran Kuhn yang revolusioner sangat memengaruhi
perkembangan filsafat ilmu di masa-masa setelahnya. Di sam- ping kritik dan
dukungan yang dituai dalam karya fenomenal Kuhn, The Strncture, juga konsep
revolusi ilmu pengetahuan yang ia tawarkan, ada baiknya juga sebagai ilmuwan
perlu memilih dan memilah argumentasi yang dibangun oleh paradigma Kuhn. Karena
bagaimanapun, seorang iimuwan harus terjaga dan suatu pemikiran “tidak ada
kebenaran absolut” dan jangan sampai terjebak di ranah pemikiran yang
relativisme. Sesungguhnya, karya Kuhn secara imphisit justru mengakui adanya
suatu absolutisme dalam dunia keilmuan.
4. Paradigma Thomas Aquinas
Amad Tafsir (1997) mengatakan, jauh sebelum Kuhn yang hadir di
abad ke-20, dengan paradigmanya memurnikan ilmu pengetahuan dengan tanpa campur
tangan Tuhan didalamnya, dan cenderung menyatakan obsolutisme ilmu, justru
telah hadir filsuf besar di Barat, Thomas Aquinas (1225-1274). Thomas berusaha
menyusun argumen logis dengan paradigmanya yang berusaha membuktikan adanya
Tuhan dalam paradigma keilmuannya.
Paradigma Thomas Aquinas ditemukan dalam Swnma Theologia. Dalam
buku mi dia berhasil memberikan argumen logis tentang adanya Tuhan. Lima
argumen itu antara lain: Pertaina, argumen gerak. Menurut Thomas Aquinas, alam
ini selalu bergerak, gerak tentu saja tidak berasal dari alam itu sendiri,
gerak itu menunjukkan adanya penggerak yakni Tuhan, Dialah penggerak utama dan
yang pertama. Kedua, argumen kau,salitas. Menurut Thomas Aquinas tidak sesuatu
pun yang mempunyai penyebab pada dirinya sendiri, sebab itu harus berada di
luar dirinya. Dalam realitas ada rangkaian penyebab, dan penyebab pertama yaitu
Tuyang justru tidak memerlukan adanya penyebab yang lain. Ketiga,
argumen kemungkinan. Thomas mengatakan adanya alam mi bersifat
rnunkin ada dan mungkin tidak ada. Kesimpulan yang diperoleh dan kenyataafl
alam mi dimulai dan tidak ada, lalu muncul atau menjadi ada kemudian menjadi
tidak ada. Kenyataan mi menyimpulkan bahwa alam mi tidak mungkin selalu ada.
Dalarn din alam itu ada dua kemungkinan atau dua potensi, yaitu ada dan tidak
ada, tetapi dua kemungkinan itu tidak akan muncul secara bersamaan pada waktu
yang sama. Mula-mula alam mi tidak ada lalu ada, hal mi diperlukan yang ada
untuk mengubah alam dan tiada menjadi ada, sebab tidak mungkin sesuatu dan
tiada ke ada secara otomatis. Jadi, ada pertama itu harus ada.
Keempat, argumen tingkatan. Thomas meyakini bahwa isi alam mi
ternyata bertingkat-tingkat (levels). Ada yang dihormati, lebih dihormati, dan
terormat. Ada indah, lebih indah, sangat indah, dan sebagainya; yang
mahasempurna yaitu penyebab yang sempurna, yang sempurna yaitu penyebab yang
kurang sempurna, yang atas penyebab yang bawah. Tuhan ialah yang tertinggi, Dia
penyebab di bawahnya. Kelima, argumen teologis. Thomas mengatakan tujuan alam
mi bergerak menuju sesuatu, padahal mereka tidak tahu tujuan itu. Ada sesuatu
yang mengatur alam menuju tujuan alam, Dia ialah Tuhan.
Argumen Thomas Aquinas sesungguhnya tidak akan membawa kita
memahami Tuhan secara sempurna. Oleh karena itu Imanuel Kant mengkritisi Thomas
Aquinas, menurut Kant argumen Thomas memiliki kelemahan, dia menyatakan bahwa
Tuhan tidak dapat dipahami melalui “akal teoretis,” Tuhan dapat dipahami
melalui suara hati (dhamir) yang disebutnya “moral”. Adanya Tuhan itu bersifat
harus, hati saya, kata Kant “mengatakan Tuhan harus ada.” Menurut Kant, adanya
Tuhan bersifat imperatif, siapa yang memerintah? Ya, suara hati atau moral itu.
Selanjutnya Kant mengatakan indra dan akal (ratio) itu terbatas
kemampuannya, indra dan akal hanya mampu memasuki wilayah fenomena, bila indra
masuk wilayah noumena maka ia akan tersesat dalam paralogisin. Wilayah noumena
itu hanya mungkin dijelajahi oleh akal praktis.
Akal teoretis (rasional) tidak melarang kita memerintahkan untuk
memercayainya. Rousseau dalam Will Durran (1959) mengatakan, bahwa di atas akal
rasional di kepala ada perasaan hati, oleh karenanya sesuatu yang benar secara
rasional di kepala belum tentu sama kebenarannya dengan kebenaran hati. Maka
puncak kebenaran mi di atas akal rasional berada di wilayah hati.
Argumen akal tentang adanya Tuhan, juga tentang yang gaib yaitu
objek metarasional, tidak dapat dipegang kebenarannya. Bila akal rasjo masuk ke
wilayah ini ia akan tersesat. Hal lain Kant mengemukaka0 kasus argumen yang
sering dikemukakan oleh teolog rasionalis untuk membuktikan adanya Tuhan, yaitu
argurnen pengaturan alam semesta. Dalam argumen mi dikatakan bahwa alam mi
teratur, yang mengatur yaitu maha pengatur, yaitu Tuhan. Hal ini dibenarkan
oleh Kant, bahwa alam ini memang teratur. Banyak isi alam mi yang begitu
teratur yang dapat membawa kita pada kesimpulan adanya Tuhan yang mengaturnya.
Tetapi kita juga menyaksikan bahwa alam mi juga mengandung banyak
ketidakteraturan, atau kekacauan, bahkan menyebabkan kesulitan dan kematian.
Jadi, terdapat perlawanan di alam secara realitas, inilah secara
keseluruhan, akan tetapi itu pun tidak kuat untuk dijadikan bukti adanya Sang
Pengatur. Dengan kata lain, Kant menyatakan Tuhan tidak dapat dibuktikan dengan
akal atau rasio teoretis, tapi perlu didukung oleh hati yang dia katakan moral
“dhamir”.
BAB
10
AKSIOLOGI
ILMU PENGETAHUAN
DAN
MANFAATNYA BAGI MANUSIA
A. HAKIKAT AKSIOLOGI
Aksiologi yaitu
cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan
ilmu aksiologi mempertanyakan untuk pengetahuan yang berupa ilmu itu digunakan?
Bagaimana kaitan ntara cara penggunaan itu dan kaidah moral? Bagaimana
penentuan jek yang ditelaah berdasarkan pilihan moral? Bagaimana kaitan antara
teknik, prosedural yang merupakan operasionaliaasi metode ilmiah dan
norma-norma moral atau profesional? Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu
yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi dipahami
sebagai teori nilai. Jujun S. Suriasumantri (2010) mengartikan aksiologi
sebagai teori nilai yang berkaitan dengan penggunaan dari pengetahuan yang
diperoleh. Menurut Francia Bacon dalam Jujun bahwa "pengetahuan adalah
kekuasaan" apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka
bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang diaebabkan oleh
ilmu, kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena
ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan
hidupnya. Lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik
ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunaannya.
Aksiologi berasal
dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai, layak, pantas, patut dan
Logos yang berarti teori, pemikiran. Jadi Aksiologi adalah "teori tentang
nilai". Aksiologi merupakan teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan
dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga
bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan
disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi
keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan (seni/estetika). Ketiga, sosio
political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat
sosiopolitik. Jadi, aksiologi yaitu teori tentang nilai-nilai ketiga aspek ini,
yakni moral, keindahan, dan sosial politik.
Lebih lanjut,
menurut John Sinclair dalam Jujun S. Suriasumantri (2010), dalam lingkup kajian
filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik,
sosial, dan agama. Adapun nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang
diidamkan oleh setiap insan. Aksilogi adalah ilmu yang membicarakan tentang
tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi, Aksiologi merupakan ilmu yang
mempelaiari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya
ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan
tentunya dimanfadtkan dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula. Karena
akhir-akhir ini banyak sekali yang mempunyai ilmu pengetahuan yang lebih itu
dimanfaatkan di jalan yang tidak benar.
Pembahasan
aksiologi menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Ilmu tidak bebas nilai.
Artinya pada tahap-tahap tertentu kadang ilmu harus diaesuaikan dengan
nilai-nilai budaya dan moral suatu masyarakat; sehingga nilai kegunaan ilmu
itu dapat dirasakan oleh masyarakat dalam usahanya meningkatkan kesejahteraan
bersama, bukan sebaliknya malahan menimbulkan bencana.
Aksiologi bisa
juga diaebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Menurut
Suriasumantri, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari
pengetahuan yang diperoleh. Aksiologi merupakan kegunaan ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Jadi, Aksiologi
yaitu bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good
and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan
(means and objective). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsiaten
untuk perilaku etis.
Dewasa ini
perkembangan ilmu sudah melenceng jauh dari hakikatnya, dimana ilmu bukan lagi
merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, melainkan
bahkan kemungkinan menciptitakan tujuan hidup itu sendiri. Di sinilah moral
sangat berperan sebagai landasan normatif dalam penggunaan ilmu, serta dituntut
tanggung jawab sosial ilmuwan dengan kapasitas keilmuannya dalam menuntun
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga tujuan hakiki dalam
kehidupan manusia bisa tercapai.
Nilai suatu ilmu
berkaitan dengan kegunaan. Guna suatu ilmu bagi kehidupan manusia akan
mengantarkan hidup semakin tahu tentang kehidupan. Kehidupan itu ada dan
berproses yang membutuhkan tata aturan. Aksiologi memberikan jawaban untuk apa
ilmu itu digunakan. Ilmu tidak akan menjadi sia-sia jika kita dapat memanfaatkannya
dengan sebaik-baiknya dan di jalan yang baik pula.
B. KATEGORI DASAR AKSIOLOGI
Menurut Susanto
(2011) mengatakan, ada dua kategori dasar aksiologi: Pertama, objectiviam,
yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek
yang dinilai. Kedua, subjectiviam, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana
dalam proses penilaian terdapat unsur intuisi (perasaan). Dari sini muncul
empat pendekatan etika, yaitu teori nilai intuitif, teori nilai rasional, teori
nilai alamiah, dan teori nilai emotif teori nilai intuitif dan teori nilai
rasional beraliran objektivia, sedangkan teori nilai alamiah dan teori nilai
emotif beraliran subjektivia.
1. Teori Nilai Intuitif
(The Intuitive Theory of Value)
Menurut teori
ini, sangat sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefimisikan suatu
perangkat nilai yang absolut. Bagaimana pun juga suatu perangkat nilai yang
absolut itu eksia dalam tatanan yang bersifat objektif. Nilai ditemukan melalui
intuisi, karena ada tatanan moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa
nilai eksia sebagai piranti objek atau menyatu dalam hubungan antar-objek, dan
validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia.
Sekali mengakui dan menemukan seseorang nilai itu melalui proses intuitif, ia
berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan
preskripsi moralnya.
2. Teori Nilai Rasional
(The Rational Theory of Value)
Menurut teori
ini, janganlah percaya pada nilai yang bersifat obiektif dan murni independen
dari manusia. Nilai ini ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta
bahwa seseorang melakukan sesuatu yang benar ketika ia tahu dengan nalarnya
bahwa itu benar, sebagai fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalat yang
melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu Tuhan. Jadi, dengan
nalar atau peran Tuhan nilai ultimo, objektif, absolut yang seharusnya mengarahkan
perilakunya.
3. Teori Nilai Alamiah (The
Naturaliatic Theory of Value)
Menurut teori ini
nilai, diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan dan hasrat yang dislaminya.
Nilai yaitu produk biososial, artefak manusia yang diciptakan, dipakai, diuji
oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia.
Pendekatan naturalia mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai
tidak absolut tetapi bersifat relatif. Nilai secara umum hakikatnya bersifat
subjektif, bergantung pada kondisi manusia.
4. Teori Nilai Emotif (The
Emotive Theory of Value)
Jika tiga aliran
sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini
memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan 43 faktual melainkan
hanya merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu
opini yang tidak bisa diverifikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi
bagian penting dari tindakan manusia.
C. NILAI DAN KEGUNAAN ILMU (AKSIOLOGI
ILMU)
Erliana Hasan
(2011) mengatakan, bahwa nilai (value) termasuk dalam pokok bahasan penting
dalam filsafat ilmu, diaamping itu digunakan juga untuk menunjuk kata benda
yang abstrak dan dapat diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan
(goodness). Menilai berarti menimbang, yakni suatu kegiatan menghubungkan
sesuatu dengan yang lain yang kemudian dilanjutkan dengan memberikan keputusan.
Keputusan ini menyatakan apakah sesuatu itu bernilai positif atau sebaliknya.
Hal ini dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia, yaitu jasmani,
cipta, rasa, karsa, dan kepercayaannya. Dengan demikian, nilai dapat diartikan
sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bemanfaat bagi kehidupan manusia,
baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau
motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku.
Terdapat empat
pengelompokan nilai, yaitu: (1) kenikmatan, (2) kehidupan, (3) kejiwaan, dan
(4) kerohanian. sesuatu dikatakan material apabila sesuatu itu berguna bagi
jasmani manusia. Demikian juga sesu'tu dikatakan bernilai vital ketika ia
berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan, dan sesuatu bernilai kerohanian
apabila ia berguna bagi rohani manusia.
Dalam Encliclopedya of Philosophy dijelaskan,
aksiologi value and valuation ada
tiga bentuk:
a. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak.
Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik, dan bagus. Adapun
dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban,
kebenaran, dan kesucian. Penggunaan nilai yang lebih luas merupakan kata benda
asli untuk seluruh macam kritik atau predikat pro dan kontra, sebagai lawan dari
suatu yang lain, dan ia berbeda dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi ialah
bagian dari etika. Lewia menyebutkan sebagai alat untuk mencapai beberapa
tujuan, sebagai nilai instrumental atau menjadi baik atau sesuatu menjadi
menarik, sebagai nilai inheren atau kebaikan seperi estetis dari suatu karya
seni, sebagai nilai intrinsik atau menjadi baik dalam dirinya sendiri, sebagai
nilai kontributor atau nilai yang merupakan pengalaman yang memberikan
kontribusi.
b. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya
ketika kita berkata suatu nilai atau nilai-nilai, ia sering kali dipakai untuk
merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia, dan sistem
nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai
sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.
c. Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam
ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai. Menilai umumnya sinonim dengan
evaluasi ketika hal itu secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey
membedakan dia hal tentang menilai, ia bisa berarti menghargai dan
mengevaluasi.
Dari defimisi
mengenai aksiologi yang dikemukakan, Amsal Bakhtiar (2011) menyimpulkan, bahwa
permasalahan yang utama dalam aksiologi itu mengenai nilai. Nilai yang dimaksud
yaitu sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan
tentang siapa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu
pada permasalahan etika dan estetika. Selanjutnya. dikatakan Surajiyo (2010),
pengetahuan ilmiah yaitu pengetahuan yang didalam dirinya memiliki
karakteristik kritia, rasional, logis, objektif, dan terbuka. Hal ini merupakan
suatu keharusan bagi seorang ilmuwan untuk melakukannya. Namun selain itu,
masalah mendasar yang dihadapi ilmuwan setelah ia membangun suatu bangunan yang
kuat yaitu masalah kegunaan ilmu telah membawa manusia. Memang tidak dapat
disangkal bahwa ilmu telah membawa manusia ke arah perubahan yang cukup besar.
Akan tetapi, dapatkah ilmu yang kukuh, kuat, dan mendasar itu menjadi penyelamat
manusia, bukan sebaliknya. Di sinilah letak tanggung jawab seorang ilmuwan,
moral dan akhlak sangat diperlukan. Oleh karena itu, penting bagi para ilmuwan
memiliki sikap ilmiah.
Nilai kegunaan
ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu
digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal
sebagaimana dikemukakan Idzan Fautanu (2012), yaitu:
1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan
memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung
suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem
kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya
mempelajari teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori filsafat
ilmu.
2. Filsafat sebagai pandangan hidup.
Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya
diterima kebenarannya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai
pandangan hidup gunanya yaitu untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan
masalah.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batu di
depan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu
masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah itu dapat
diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, multi dari cara yang
sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan sangat sederhana,
maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas. Penyelesaian yang
detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam
kehidupan manusia.
Adapun dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan
aksiologi dinamakan dengan value and
valuation:
1. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak.
Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik, dan bagus. Adapun
dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban,
kebenaran, dan kesucian.
2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya
ketika kita berkata suatu nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk
merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
3. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam
ekspresi menilai, memberi nilai, atau dinilai. Dari defimisi aksiologi di
atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama yaitu mengenai nilai.
Nilai yang dimaksud yaitu sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam
filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.
Pandangan Susanto
(2011) mengatakan, filsafat ilmu menyelidiki dampak pengetahuan ilmiah pada
hal-hal berikut: Pertama, persepsi manusia akan kenyataan. Kedua, pemahaman
berbagai dinamika alam. Ketiga, saling keterkaitan antara logika dan
matematika, dan antara logika dan antara matematika pada satu sisi dan
kenyataan pada sisi lain. Keempat, berbagai keadaan dari keberadaan teoretis.
Kelima, berbagai sumber pengetahuan dan pertanggungjawabannya. Keenam, hakikat
manusia, nilai-nilainya, tempat dan posisinya di tengah-tengah semua keberadaan
lain, paling sedikit yang berada di lingkungan dekatnya.
Teori tentang
nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika di mana makna
etika memiliki dua arti, yaitu suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian
terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan
perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya.
Nilai itu
bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif
jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.
Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang
melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat
individu, tetapi pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif
apabila subjek berperan dalam memberi penilaian, kesadaran manusia menjadi
tolak ukur penilaian.
Dengan demikian,
nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi
manusia, seperti perasaan yang akan mengarah kepada suka atau tidak suka,
senang atau tidak senang. Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu
pengetahuan. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan
berbagai bentuk kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian?
Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi
manusia, terbebas dari kutuk yang membawa malapetaka dan kesengsaraan? Memang
mempelajari teknologi seperti bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya
sebagai sumber energi bagi keselamatan umat manusia, tetapi di pihak lain hal
ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa mausia pada penciptaan bom
atom yang menimbulkan malapetaka. Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan
yang pada esensinya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan
untuk apa sebenarnya ilmu itu harus digunakan.
Selanjutnya
dikatakan berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu
itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu seseorang dapat
mengubah wajah dunia. Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti: pertama, etika
merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan
manusia. Seperti ungkapan "saya pernah belajar etika". Arti kedua,
merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan, atau
manusia yang lain. Seperti ungkapan "ia bersifat etis atau seorang yang
jujur atau pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak susila”.
Etika menilai
perbuatan manusia, maka lebih tepat jika dikatakan bahwa objek formal etika
yaitu norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika
mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di
dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan
norma-norma. Adapun estetika berkaitan dengan nilai pengalaman keindahan yang
dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Nilai itu
objektif atau subjektifkah sangat tergantung dari hasil pandangan yang muncul
dari filsafat. Nilai akan menjadi subjektif apabila subjek sangat berperan
dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur segalanya; atau
eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang
melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun
fisik. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan berbagai
pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan. Intelektualitas
dan nilai hasil subjektif selalu mengarah pada sesuatu suka atau tidak suka,
senang atau tidak senang. Misalnya seseorang melihat matahari terbenam di sore
hari. Akibat yang dimunculkannya yaitu menimbulkan rasa senang karena melihat
betapa indahnya matahari terbenam itu. Ini merupakan nilai yang subjektif dari
seseorang dengan orang lain akan memiliki kualitas yang berbeda. Nilai itu
objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.
Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat tentang
objektivisme. Ini beranggapan pada tolak ukur suatu gagasan berada pada
objeknya, sesuatu yang memiliki kadar realitas benar-benar ada. Misalnya
kebenaran tidak bergantung pada pendapat individu, tetapi pada objektivitas
fakta, kebenaran tidak diperkuat atau diperlemah oleh prosedur. Demikian juga
dengan nilai orang yang berselera rendah tidak mengurangi keindahan suatu karya
seni.
Gagasan aksiologi
dipelopori juga oleh Lotze Brentano, Husserl, Scheller, dan Nocolai Hatmann.
Scheller mengontraskan dengan praeksologi, yaitu pengertian umum mengenai
hakikat tindakan, secara khusus bersangkutan dengan dientologi, yaitu teori
moralitas mengenai tindakan yang benar. Dalam penilaiannya terdapat dua bidang
yang paling populer saat ini, yaitu yang bersangkutan dengan tingkah laku
keadaan atau tampilan fisik. Dengan demikian, kita mengenai aksiologi alam dua
jenis, yaitu etika dan estetika. Etika yaitu bagian filsafat yang mempersoalkan
penilaian atas perbuatan manusia dari sudut baik atau jahat. Etika dalam bahasa
Yunani ethos, yang artinya kebiasaan
atau habit atau custom. Estetika merupakan bagian filsafat yang mempersoalkan
penilaian atas sesuatu dari sudut indah dan jelek, secara umum estetika
mengkaji mengenai apa yang membuat rasa senang.
Dagobert Runes
mengemukakan beberapa persoalan yang berkaitan dengan nilai yang menyangkut
hakikat nilai, tipe nilai, kriteria nilai, dan status metafisika nilai.
Mengenai hakikat nilai banyak dikemukakan diantaranya teori valuntariame. Teori
ini mengemukakan bahwa nilai yaitu suatu pemuasan terhadap suatu keinginan atau
kemauan. Menurut kaum hedoniame menyatakan bahwa hakikat nilai yaitu "pleasure" atau kesenangan. Semua
manusia mengarah pada kesenangan. Menurut forma-lism
nilai yaitu kemauan yang bijaksana yang didasarkan pada akal
rasional. Menurut pragmatisme, nilai itu baik apabila memenuhi
kebutuhan dan memiliki nilai instrumental, sebagian alat untuk mencapai tujuan.
Adapun tipe nilai
dapat dibedakan antara lain intrinsik dan nilai instrumental. Nilai intrinsik
merupakan nilai akhir yang menjadi tujuan, sedangkan nilai instrumental
merupakan alat untuk mencapai nilai intrinsik. Sebagai contoh nilai intrinsik
yaitu nilai yang dipancarkan oleh suatu lukisan, dan shalat lima waktu
merupakan nilai intrinsik dan merupakan suatu perbuatan yang sangat luhur.
Nilai instrumentalnya bahwa dengan melaksanakan shalat akan mencegah perbuatan
yang keji atau jahat, yang dilarang oleh Allah dan tujuan akhirnya mendapat
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Yang dimaksud dengan kriteria nilai yaitu sesuatu yang menjadi
ukuran nilai, bagaimana nilai yang baik, dan bagaimana nilai yang tidak baik.
Kaum hedoniame menemukan nilai sejumlah "kesenangan" (pleasure) yang
dicapai oleh individu atau masyarakat. Bagi kaum pragmatic, kriteria nilai
yaitu "kegunaannya" dalam kehidupan bagi individu atau masyarakat.
Adapun yang dimaksud metafisik nilai yaitu bagaimana hubungan nilai-nilai itu
dengan realitas, dan dibagi menjadi tiga bagian: Pertama, subjektivisme: value ia entirely dependent on and relative
to human experience of it. Kedua, logikal objektivisme, value are logical essences for subsiatences,
independent of their being known, yet not eksistensial status of action in
relity. Ketiga, metaphysical
objektivisme, values or norm or ideals are integral objective an active
constituents of the Metaphysical real.
Dalam pandangan
objektivisme, nilai itu berdiri sendiri namun bergantung dan berhubungan
dengan pengalaman manusia. Pertimbangan terhadap nilai berbeda antara manusia
yang satu dan yang lainnya. Menurut objektivisme logis, nilai itu suatu
kehidupan yang logis tidak terkait pada kehidupan yang dikenalnya, namun tidak
memiliki status dan gerak di dalam kenyataan. Menurut objektivisme metafisik,
nilai yaitu sesuatu yang lengkap, objektif, dan merupakan bagian aktif dari
realitas metafisik.
D. KARAKTERISTIK NILAI AKSIOLOGI
Erliana Hasan
(2011) mengatakan ada dua karakteristik yang berkaitan dengan teori nilai,
yaitu: Pertama, nilai objektif atau subjektif. Nilai itu objektif jika ia
tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Sebaliknya nilai itu
subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada
realisasinya subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini
bersifat psikis atau fisik. Suatu nilai dikatakan objektif apabila nilai itu
memiliki kebenarannya tanpa memperhatikan pemilihan dan penilaian manusia.
Contohnya, nilai-nilai baik, jika benar, cantik, merupakan realitas alam, yang
merupakan bagian dari sifat yang dimiliki oleh Benda atau tindakan itu. Nilai
itu subjektif apabila memiliki preferensi pribadi, dikatakan baik karena
dinilai oleh seseorang. Kedua, nilai
dikatakan absolut atau abadi. Apabila nilai yang berlaku sekarang sudah
berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku secara absah sepanjang masa serta
akan berlaku bagi siapa pun tanpa memperhatikan atau kelas sosial.
Di pihak lain ada
yang beranggapan bahwa semua nilai relatif sesuai dengan harapan dan keinginan
manusia yang selalu berubah, maka nilai itu pun mengungkapkan perubahan itu.
Nilai berubah merespons dalam kondisi baru, ajaran baru, agama baru, penemuan
baru dalam sains dan teknologi, kemajuan dalam pendidikan, dan lainnya.
Dalam aksiologi,
ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika yaitu
cabang filsafat yang membahas secara kritia dan sistematis masalah moral.
Kajian etika lebih fokus pada perilaku, norma, dan adat istiadat manusia. Etika
merupakan salah satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi
pembahasan menarik sejak masa ocrates
dan para kaum sofia. Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan,
keutamaan, keadilan, dan sebagainya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz
Magnin Suseno diartikan sebagai pemikiran kritia, sistematis, dan mendasar
tentang ajaran dan pandangan moral. Isi dari pandangan moral ini sebagaimana
telah dijelaskan diatas norma-norma, adat, wejangan, dan adat istiadat manusia.
Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau
perintah dan larangan, tatapi suatu pemikiran yang kritia dan mendasar tujuan
dari etika yaitu agar manusia mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa
yang ia lakukan.
Aspek aksiologi
merupakan aspek yang membahas tentang untuk
ilmu itu digunakan. Selanjutnya Erliana mengutip pendapat Bramel,
alam aspek aksiologi ini ada moral conduct, estetic expresion, dan sosiolitical. Setiap ilmu bisa untuk mengatasi suatu masalah sosial golongan. Namun salah satu tanggung jawab seorang ilmuwan yaitu dengan melakukan sosialiaasi tentang penemuannya, sehingga tidak ada penyalahgunaan dengan hasil penemuan itu. Dan, moral yaitu hal yang paling susah dipahami ketika sudah mulai banyak orang yang meminta permintaan, moral yaitu suatu tuntutan. Ilmu bukanlah sekadar pengetahuan (knowledge). Ilmu memang berperan tetapi bukan dalam segala hal. Sesuatu dapat dikatakan ilmu apabila objektif, metodis, sistematis, dan universal. Dan, knowledge yaitu keahlian maupun keterampilan yang diperoleh melalui pengalaman maupun pemahaman dari suatu objek.
ilmu itu digunakan. Selanjutnya Erliana mengutip pendapat Bramel,
alam aspek aksiologi ini ada moral conduct, estetic expresion, dan sosiolitical. Setiap ilmu bisa untuk mengatasi suatu masalah sosial golongan. Namun salah satu tanggung jawab seorang ilmuwan yaitu dengan melakukan sosialiaasi tentang penemuannya, sehingga tidak ada penyalahgunaan dengan hasil penemuan itu. Dan, moral yaitu hal yang paling susah dipahami ketika sudah mulai banyak orang yang meminta permintaan, moral yaitu suatu tuntutan. Ilmu bukanlah sekadar pengetahuan (knowledge). Ilmu memang berperan tetapi bukan dalam segala hal. Sesuatu dapat dikatakan ilmu apabila objektif, metodis, sistematis, dan universal. Dan, knowledge yaitu keahlian maupun keterampilan yang diperoleh melalui pengalaman maupun pemahaman dari suatu objek.
Pandangan lain
Amsal Bakhtiar (2011) mengatakan, sains merupakan kumpulan hasil observasi
yang terdiri dari perkembangan dan pengujian hipotesis, teori, dan model yang
berfungsi menjelaskan data. Dihadapkan dengan masalah dalam ekses ilmu dan
teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan
pendapat. Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap
nilai-nilai, baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini ilmuwan
hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk
menggunakannya, apakah akan diguanakan untuk tujuan yang baik ataukah untuk
tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu
secara total. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap
nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral. Golongan kedua
mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni: (a) ilmu secara faktual telah
digunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan dengan adanya dua
perang dunia yang menggunakan teknologi keilmuan; (b) ilmu telah berkembang
dengan pesat dan makin esoteric
hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses yang mungkin terjadi bila
terjadi penyalahgunaan; (c) ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana
terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang
paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perbuatan sosial.
E. KORELASI ANTARA FILSAFAT ILMU DAN
AKSIOLOGI
Dalam kaitan
antara nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat
dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat
manusia, dengan ilmu seseorang dapat mengubah wajah dunia. Nilai itu bersifat
objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif Dikatakan objektif jika
nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak
ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan
penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu,
tetapi pada objekitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif apabila subjek
berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur
penilaian. Dengan demikian, nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai
pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan pengarah
kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Bagaimana dengan
objektivitas ilmu? Sudah menjadi ketentuan umum dan diterima oleh berbagai
kalangan bahwa ilmu harus bersifat objektif. Salah satu faktor yang membedakan
antara pernyataan ilmiah dan anggapan umum yaitu terletak pada objektivitasnya.
Seorang ilmuwan harus melihat realitas emperis dengan mengesampingkan kesadaran
yang bersifat ideologis, agama, dan budaya. Seorang ilmuwan haruslah bebas
dalam menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan eksperimen. Ketika Seorang
ilmuwan bekerja, dia hanya tertuju kepada proses kerja ilmiah dan tujuannya
agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai aktif hanya menjadi tujuan
utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai subjektif.
Teori tentang
nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika di mana makna
etika memiliki dua arti, yaitu merupakan satu kumpulan pengetahuan mengenai
penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk
membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnya. Nilai itu bersifat
objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika
nilai-nilai tidak tergangu pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur
suatu gagasan ada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian.
Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu, tetapi pada
objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjeknya
berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur
penilaian. Dengan demikian, nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai
pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengarah
kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Kenyataan yang
tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia
sangat berutang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi sains dan teknologi dikembangkan untuk memudahkan hidup manusia agar lebih mudah dan nyaman. Peradaban manusia berkembang sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi, karena itu kita tidak bisa dimungkiri peradaban manusia berutang budi pada sains dan teknologi. berkat sains dan teknologi pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah. Perkembangan ini baik dibidang kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi telah mempermudah kehidupan manusia.
sangat berutang kepada ilmu pengetahuan dan teknologi sains dan teknologi dikembangkan untuk memudahkan hidup manusia agar lebih mudah dan nyaman. Peradaban manusia berkembang sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi, karena itu kita tidak bisa dimungkiri peradaban manusia berutang budi pada sains dan teknologi. berkat sains dan teknologi pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah. Perkembangan ini baik dibidang kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan komunikasi telah mempermudah kehidupan manusia.
Sejak dalam tahap
pertama ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang, di samping itu ilmu sering
dikaitkan dengan faktor kemanusiaan, dimana bukan lagi teknologi yang
berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun sebaliknya
manusialah yang akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang melampaui perkembangan budaya
dan peradaban manusia.
F. SIKAP DAN TANGGUNG JAWAB ILMUWAN
Sikap seorang
ilmuwan dilihat dari sudut atau cara berpikirnya, yang pada hakikatnya adalah
mereka yang biasa berpikir dengan teratur dan teliti. Bukan saja jalan
pikirannya yang mengalir melalui pola-pola yang teratur namun juga segenap
materi yang menjadi bahan pemikirannya dikaji dengan teliti. Di sinilah
kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir orang awam.
Ilmu merupakan
hasil karya seorang ilmuwan yang dikomunikasikan dan dikaji secara luas. Jika
hasil karyanya itu memenuhi syarat-syarat keilmuan, maka karya ilmiah itu akan
menjadi ilmu pengetahuan dan digunakan oleh masyarakat luas. Maka jelaslah,
jika ilmuwan memiliki tanggung jawab yang besar bukan saja karena ia merupakan
warga masyarakat, melainkan karena ia juga memiliki fungsi tertentu dalam masyarakat.
Fungsinya selaku ilmuwan tidak hanya sebatas penelitian bidang keilmuan,
tetapi juga bertanggung jawab atas hasil penelitiannya agar dapat digunakan
oleh masyarakat, serta bertanggung jawab dalam mengawal hasil penelitiannya
agar tidak disalahgunakan.
Selain itu pula,
dalam masyarakat sering kali terdapat berbagai masalah yang belum diketahui
pemecahannya. Maka ilmuwan sebagai seorang yang terpandang, dengan daya
analisisnya diharapkan mampu mendapatkan pemecahan dari masalah itu. Seorang
ilmuwan dengan kemampuan berpikirnya mampu memengaruhi opini masyarakat
terhadap suatu masalah. Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan
kepada masyarakat dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggungjawab sosial seorang
ilmuwan yaitu memberikan perspektif yang benar: untung dan rugi, baik dan
buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif apat dimungkinkan.
Tanggung jawab
sosial lainnya dari seorang ilmuwan yaitu dalam bidang etika. Dalam bidang
etika ilmuwan harus memosisikan dirinya sebagai pemberi contoh. Seorang
ilmuwan haruslah bersifat objektif, terbuka, menerima kritik dan pendapat orang
lain, kukuh dalam pendiriannya, dan berani mengakui kesalahannya. Semua sifat
ini beserta sifat lainnya merupakan implikasi etis dari berbagai proses
penemuan ilmiah. Seorang ilmuwan pada hakikatnya merupakan manusia yang biasa
berpikir dengan teratur dan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak atau menerima
sesuatu secara begitu saja tanpa pemikiran yang cermat. Di sinilah kelebihan
seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir orang awam. Kelebihan seorang
ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat inilah yang menyebabkan dia
mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada masyarakat
sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang membikin
mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar untuk
kekeliruan itu. Sudah seharusnya pula terdapat dalam diri seorang ilmuwan
sebagai suri teladan dalam masyarakat.
Dengan kemampuan
pengetahuannya, seorang ilmuwan harus dapat memengaruhi opini masyarakat
terhadap masalah yang seyogianya mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan
menghadapi masyarakat, ilmuwan yang elitis dan esoteric, dia harus berbicara
dengan bahasa yang dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu ilmuwan bukan saja
mengandalkan pengetahuannya dan daya analisianya, melainkan juga integritas
kepribadiannya. Di bidang etika, tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan
lagi memberi informasi melainkan memberi contoh. Dia harus tampil di depan
bagaimana caranya bersifat objektif, terbuka, menerima kritikan, menerima
pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dinggap benar, dan berani
mengakui kesalahan. Tugas seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil penelitiannya
sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat. Seorang
ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penelitian atau penemuannya
digunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang menggunakan bangsanya
sendiri. Sejarah telah mencatat, para ilmuwan bangkit dan bersikap terhadap
politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas
kemanusiaan. Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai
untuk kemaslahatan manusia atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan. Untuk
itulah tanggung jawab ilmuwan harus dipupuk subur kembangkan dan berada pada
tempat yang tepat, baik tanggung jawabnya secara akademis maupun tanggung
jawab moral dan sosial masyarakat.
G. HIERARKI DAN ASPEK NILAI DALAM
PENGETAHUAN
Sutardjo
Wiramihardja (2007) menguraikan ada tiga pandangan yang berkaitan dengan
hierarki nilai: Pertama, kaum idealis
berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, di mana nilai spiritual
lebih tinggi daripada nonspiritual (nilai material). Mereka menempatkan nilai
religi pada tingkat yang tinggi karena nilai religi membantu manusia dalam
menemukan akhir hidupnya, dan merupakan kesatuan dengan nilai spiritual. Kedua, kaum realis juga berpandangan
bahwa terdapat tingkatan nilai, di mana mereka menempatkan nilai rasional dan
emperis pada tingkatan atas, sebab membantu manusia realitas objektif, hukum
alam dan aturan berpikir logis. Ketiga,
kaum pragmatis menolak tingkatan nilai secara pasti. Menurut mereka suatu
aktivitas dikatakan baik seperti yang lainnya apabila memuaskan kebutuhan yang
penting dan memiliki nilai instrumental.
Kemudian
bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Seorang ilmuwan haruslah bebas
dalam menentukan topik penelitiannya, bebas dalam melakukan eksperimen.
Kebebasan inilah nantinya akan dapat mengukur kualitas kemampuannya. Ketika
seorang ilmuwan bekerja, ia hanya tertuju pada proses kerja ilmiahnya dan
tujuan agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai objektif hanya menjadi
tujuan utamanya, dia tidak mau terikat dengan nilai-nilai subjektif, seperti
nilai-nilai dalam masyarakat, nilai agama, dan nilai adat. Bagi seorang ilmuwan
kegiatan ilmiahnya dan kebenaran ilmiahnya sangat penting.
Perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi
manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan
teknologi merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia. Manusia terbebas dari
kutuk yang membawa malapetaka dan kesengsaraan. Memang dengan jalan
mempelajari teknologi seperti pembuatan bom atom, manusia bisa memanfaatkan
wujudnya sebagai sumber energi dan keselamatan manusia tetapi di pihak lain hal
ini juga bisa berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan bom
atom yang menimbulkan malapetaka.
Menghadapi hal
yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya sebagaimana adanya, mulai
dipertanyakan untuk apa ebenarnya nilai itu digunakan? Untuk menjawab
pertanyaan seperti itu, apakah para ilmuwan harus berpaling pada hakikat moral?
Bahwa ilmu itu berkaitan erat pada persoalan nilai-nilai moral. Keterkaitan
ilmu dengan nilai-nilai moral (agama) sebenarnya sudah terbantahkan ketika
Conpernicus mengemukakan teorinya "Bumi berputar mengelilingi
matahari" sementara ajaran agama menilai sebaliknya maka timbullah
interaksi antara ilmu dengan moral yang berkonota&i metafisik, sedangkan di
pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan yang
terdapat dalam ajaran di luar bidang keilmuan, di antaranya agama. Timbul
konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini, yang berkulmiasi pada
pengadilan inkuisisi Galileo, yang oleh pengadilan dipaksa untuk mencabut
pernyataannya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari pengadilan inkuisisi
Galileo ini selama kurang lebih 2,5 abad memengaruhi proses perkembangan
berpikir di Eropa. Dalam kurun waktu ini para ilmuwan berjuang untuk menegakkan
ilmu berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan "ilmu
yang bebas nilai", setelah pertarungan itulah ilmuwan mendapatkan
kemenangan dengan memperoleh keotonomian ilmu. Artinya, kebebasan dalam
melakukan penelitian dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya.
Setelah ilmu
mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap misi yang bersifat dogmatis,
ilmu dengan leluasa dapat mengembangkan. Lirinya baik dalam bentuk abstrak
maupun konkret, seperti teknologi. eknologi tidak diragukan lagi manfaatnya
bagi manusia. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana dengan teknologi yang
mengakibatkan proses dehumanisasi, apakah ini merupakan masalah kebudayaan atau
masalah moral? Apakah teknologi itu menimbulkan akses yang negatif terhadap
masyarakat.
Dihadapkan dalam
masalah moral dalam ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para
ilmuwan terbagi dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama berpendapat bahwa
ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik itu secara ontologis
maupun aksiologis, dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan
terserah pada orang lain untuk menggunakannya, apakah akan digunakan untuk
tujuan yang baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melajutkan
tradisi ilmu secara total seperti pada waktu era Galileo. Golongan yang kedua
berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanya terbatas pada
metafisik keilmuwan, sedangkan dalam penggunaannya harus berlandaskan nilai-nilai
moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni:
Pertama, ilmu secara faktual telah digunakan secara deduktif oleh manusia yang
dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang menggunakan teknologi keilmuan.
Kedua, ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteris hingga kaum
ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi
penyalahgunaan. Ketiga, ilmu telah berkembang pesat sedemikian rupa di mana
terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang
paling hakiki, seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perbuatan
sosial.
Berdasarkan hal
di atas, maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus
ditunjukkan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan hakikat dan mengubah
kemanusiaan. Dari kedua pendapat golongan di atas, kelihatannya netralitas ilmu
terletak pada epiatemologisnya saja, artinya tanpa berpihak pada siapapun,
selain kepada kebenaran yang nyata. Adapun secara ontologis dan aksiologis,
ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk, yang pada
hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat.
Tanpa ini seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang momok yang menakutkan.
Etika keilmuwan
merupakan etika yang normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu
pengetahuan. Tujuan etika keilmuwan yaitu agar seorang ilmuwan dapat menerapkan
prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan yang menghindarkan dari yang buruk
ke dalam perilaku keilmuannya. Sehingga ia menjadi ilmuwan yang mempertanggungjawabkan
perilaku ilmiahnya. Etika normatif menetapkan kaidah yang mendasari pemberian
penilaian terhadap perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang
seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan yang
seharusnya terjadi.
Pokok persoalan
dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada "elemen-elemen" kaidah
moral, yaitu hati nurani kebebasan dan serta tanggung jawab nilai dan norma
yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani di sini yaitu penghayatan
tentang yang baik dan yang buruk yang dihubungkan dengan perilaku manusia.
Nilai dan norma
yang harus berada pada etika keilmuan yaitu nilai dan norma nilai. Lalu apa yang
menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu? Nilai moral tidak berdiri
sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi seseorang, ia akan bergabung
dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, dan budaya; yang paling utama
dalam nilai moral yaitu yang terkait dengan tanggung jawab seseorang. Norma
moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut etis.
Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi
penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Penerapan ilmu
pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu berupa
teknologi ataupun teori emansipasi masyarakat dan sebagainya itu, mestilah
memerhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya.
Ini berarti ilmu pengetahuan itu sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah
berada di tengah-tengah mayarakat luasdan masyarakat akan mengujinya.
Oleh karena itu,
tanggung jawab lain yang berkaitan dengan penerapan teknologi di masyarakat,
yaitu menciptakan hal positif. Namun tidak semua teknologi dan ilmu
pengetahuan mempunyai dampak positif ketika berada di tengah masyarakat. Kadang
kala teknologi berdampak negatif, misalnya masyarakat menolak atau mengklaim
suatu teknologi bertentangan atau tidak sejalan dengan keinginan atau pandangan
yang telah ada sebelumnya, seperti rekayasa genetik (cloning manusia), yang dapat dianggap bertentangan dengan kodrat
manusia atau ajaran agama. Dalam persoalan ini perlu ada penjelasan lebih
lanjut. Bagi seorang ilmuwan, apabila ada semacam kritikan terhadap ilmu, ia
harus berjiwa besar, bersifat terbuka untuk menerima kritik dari masyarakat.
Tugas seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin
atas dasar rasionalitas dan metodologi yang tepat.
Di bidang etika,
tanggung jawab seorang ilmuwan bukan lagi memberi informasi melainkan harus
memberi contoh. Dia harus bersifat objektif, terbuka, menerima kritik dan
menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar, dan
kalau berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini merupakan implikasi etis dari
proses penemuan kebenaran secara ilmiah. Di tengah situasi di mana nilai
mengalami kegoncangan, maka seorang ilmuwan harus tampil di depan. Pengetahuan
yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Hal yang
sama harus dilakukan pada masyarakat yang sedang membangun, seorang ilmuwan
harus bersikap seperti seorang pendidik dengan memberikan contoh yang baik.
Kemudian
bagaimana solusi bagi ilmu pengetahuan yang terkait dengan nilai-nilai?
Suwardi Endraswara (2012) mengemukakan, ilmu pengetahuan harus terbuka pada
konteksnya dan agamalah yang menjadi konteksnya itu. Agama mengarahkan ilmu
pengetahuan pada tujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam dan memahami
eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya
dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan hanya pada tataran praksis, pada kemudahan
material duniawi. Solusi yang diberikan Al-Qur'an terhadap ilmu pengetahuan
yang terikat dengan nilai yaitu dengan cara mengembagikan ilmu pengetahuan pada
jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat kepada manusia dan
alam, bukan sebaliknya membawa mudarat.
Berdasarkan
sejarah tradisi Islam ilmu tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali,
tapi ia harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk
mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat
yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan hanya untuk mendesak kemanusiaan
melainkan kemanusiaan yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan
dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Sang Pencipta.
Tentang tujuan
ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filsuf dan para
ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok
bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan hal ini dengan ungkapan ilmu
pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dan
lain sebagainya. Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain cenderung
berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau
ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambah kesenangan
manusia dalam kehidupan yang terbatas di muka Bumi ini. Menurut pendapat yang
kedua ini, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan beban hidup manusia atau
untuk membuat manusia senang, karena dari ilmu pengetahuan itulah yang nantinya
akan melahirkan teknologi. Teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk
mengatasi berbagai masalah, seperti kebutuhan sandang, pangan, energi, dan
kesehatan. Adapun pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan
sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan umat manusia secara
keseluruhan.
Lebih jauh
Suwardi mengemukakan ilmuwan perlu menjaga kredibilitas ilmu yang dimiliki.
Ilmu pengetahuan perlu diraih dengan langkah-langkah yang tepat, jauh dari
plagiarisme. Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian
akan diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi suatu
teknologi yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak
terlepas dari moral ilmuwannya. Untuk seorang ilmuwan akan dihadapkan pada
kepentingan pribadi atau kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan
etika keilmuan Serta masalah bebas nilai.
Untuk itulah
tanggung jawab seorang ilmuwan haruslah dipupuk dan berada pada tempat yang
tepat. Tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral mengenal apa yang
dimaksud aksiologi. Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus
dapat memengaruhi opini masyarakat terhadap masalah yang seyogianya mereka
sadari. Dalam hal ini, ilmuwan bukan saja mengandalkan pengetahuannya dan daya
analisisnya, melainkan juga integritasnya. Seorang ilmuwan tidak menolak dan
menerima sesuatu secara begitu saja tanpa pemikiran yang cermat. Di sinilah
kelebihan seorang ilmuwan dibandingkan dengan cara berpikir orang awam.
Kelebihan seorang ilmuwan dalam berpikir secara teratur dan cermat. Inilah yang
menyebabkan dia mempunyai tanggung jawab sosial. Dia mesti berbicara kepada
masyarakat sekiranya ia mengetahui bahwa berpikir mereka keliru, dan apa yang
membuat mereka keliru, dan yang lebih penting lagi harga apa yang harus dibayar
untuk kekeliruan itu.
Berbicara tentang
aspek nilai dalam ilmu pengetahuan, Suwardi Endraswara (2012) mengatakan
nilai-nilai kehidupan menjadi wilayah garapan dalam aksiologi. Nilai akademik
selalu membingkai perilaku keilmuan. Nilai akan mengukur, apakah seseorang
melanggar etika akademik atau tidak. Nilai merupakan konsep abstrak mengenai
masalah dasar baik yang merupakan sifat maupun sikap, perilaku perbuatan
seseorang atau kelompok yang sangat penting dan berguna bagi kehidupan manusia
dan masyarakat lahir dan batin.
Keingintahuan
seseorang dalam bidang ilmu, jika tanpa nilai, akan berjalan tidak wajar.
Akibatnya banyak yang menerjang etika keilmuan. Rasa keingintahuan manusia
ternyata menjadi titik perjalanan manusia yang takkan pernah usai. Namun rasa
ingin tabu itu perlu diimbangi dengan etika tertentu. Etika yaitu bangunan
nilai, yang diterapkan untuk mengukur perilaku manusia. Hal inilah yang
kemudian melahirkan beragam penelitian dan hipotesis awal manusia terhadap inti
dari keanekaragaman realitas. Proses berfilsafat merupakan titik awal sejarah
perkembangan pemikiran manusia di mana manusia berusaha untuk mengorek,
memerinci, dan melakukan pembuktian yang tak lepas dari kungkungan. Kemudian
dirumuskanlah suatu teori pengetahuan di mana pengetahuan menjadi
terklasifikasi menjadi beberapa bagian. Melalui pembedaan inilah kemudian lahir
suatu konsep yang dinamakan ilmu.
Kemudian Suwardi
menjelaskan lebih jauh bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan.
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk
kemudahan bagi manusia. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia,
terbebas dari malapetaka dan kesengsaraan? Memang mempelajari teknologi seperti
bom atom nuklir, manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi
keselamatan umat manusia, tetapi di pihak lain hal ini bisa juga berakibat
sebaliknya, yakni membawa manusia pada penciptaan bom atom yang menimbulkan
malapetaka bagi manusia. Di sinilah fungsi ilmu teruji keberadaannya, apakah
dia bernilai atau tidak bagi kemaslahatan manusia, atau sebaliknya menjadi
malapetaka bagi kehidupan makhluk dan manusia.
Berkenaan dengan
nilai guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat bermanfaat bagi
seluruh umat manusia, dengan ilmu seseorang dapat mengubah wajah dunia.
Berkaitan dengan hal ini, menurut Francia Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun
S. Suriasumantri, yaitu bahwa "pengetahuan yaitu kekuasaan", apakah kekuasaan
itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun
terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, kita tidak bisa mengatakan bahwa
itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi
manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. Lagi pula ilmu memiliki sifat
netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk tetapi tergantung pada pemilik
atau manusia dalam menggunakannya.
H. ASPEK PENELITIAN DALAM PEMANFAATAN
DAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN
Solly Lubis
(2012) mengatakan dasar pendekatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
adalah sama, tetapi di dalam perkembangan metode yang digunakan mengalami
perbedaan dalam penggunaan pendekatan metode penelitian. Hal ini berkaitan
dengan pemanfaatan, pertumbuhan dan perkembangan bidang-bidang ilmu pengetahuan
itu sendiri. Metode ilmiah untuk pengembangan dapat berbeda-beda antara ilmu
sosial dan yang lainnya. Adapun metode penelitian pada hakikatnya sama untuk
semua bidang ilmu pengetahuan. Penelitian dapat berperan dalam ilmu pengetahuan
di dalam hal berikut: Pertama,
menemukan bidang baru pengetahuan dengan penemuan dan motivasi. Kedua, memantapkan dan mengukuhkan
bidang baru itu melalui pengujian atas hipotesis yang relevan dengan bidang ilmu
yang dikaji. Ketiga, mengembangkan
jangkauan wewenang ilmu itu dengan teori dan disiplin.
Adapun peran
konkret penelitian dalam pengembangan ilmu, kata Solly yaitu: Pertama, penyusunan teori (teoretisasi).
Dari hasil penelitian atas fakta, diperoleh penjelasan yang berupa pengertian
tentang fenomena alamiah, dan diberi generalisasi dari fenomena itu. Dari generalisasi
ini disusun prinsip yang merupakan hubungan antara fenomena yang satu dan yang
lainnya, dan selanjutnya jika ini telah mapan, ia akan menjadi hukum atau
aturan main. jika hukum ini telah berlaku umum, tidak tergantung kepada waktu
dan tempat ditemukannya fenomena alamiah tersebut, pertama kali ia akan
dibangun menjadi teori atau hipotesis umum dari bidang ilmu. Teori ini harus
terdiri dari aksioma, yakni ketentuan yang berupa anggaran dasar, teorama atau
dalil, hipotesis, yang merupakan kesimpulan dan metode. Ada tiga syarat agar
suatu teori dapat meningkat menjadi ilmu yaitu bahwa teori itu harus mengandung
suatu statement, metode tertentu, dan hipotesis, yang semuanya itu harus teruji
kebenarannya.
Kedua, verifikasi (memeriksa). Dari
teori ilmu pengetahuan yang kadang-kadang seorang ilmuwan menemukan gejala atau
fenomena ada, kadang yang relevan dengan teori tertentu, tetapi ia merasakan
adanya ketidakcocokan yang untuknya merupakan keadaan problematik. Dari
keadaan ini ia memformulasikan masalahnya. Sebagaimana hal yang logis dalam
ilmu pengetahuan, maka ia akan menyusun suatu kesimpulan sementara atau
hipotesis dari fenomena itu. Oleh Jujun S. Suriasumantri (2010) dan proses ilmu
pengetahuan melalui metode ilmiah ini disebut dengan logico, hipotetico, dan
verifikasi.
Tindak
selanjutnya dari ilmuwan itu yaitu mengumpulkan informasi dari berbagai sumber
yang relevan dengan masalah tersebut. Tindakan ini yang sebenarnya merupakan
penelitian, akan memberikan hasil yang dapat mendukung hipotesis atau menolak
hipotesis itu. Dari hasil penolakan atau dukungan atas hipotesisnya, si ilmuwan
dapat menerima atau tidak dapat menerima teori pengetahuan tentang fenomena
alamiah ilmu.
Pernikiran
rasional yaitu setiap pemikiran yang sesuai dengan norma-norma logika. Yang
dimaksud di sini yaitu membedakan benda-benda tidak identik dan diikuti dengan
proses penalaran silogistik tentang hubungan dari benda atau sesuatu. Tetapi
rasionalitas logis tidak mempunyai hubungan satu-satu dengan ilmu pengetahuan,
sebab rasionalitas juga menjadi sumber yang lainnya, seperti keindahan, rasa,
dan etik. Ilmu pengetahuan hanya ada jika sesuatu yang tersedia untuk dirasakan
oleh indra kita atau oleh instrumen ilmiah. Oleh karena itu ilmu pengetahuan
harus rasional dan empiris.
Fungsi utama ilmu
pengetahuan yaitu sebagai himpunan ide siatematik dan umum yang merupakan inti dari
ilmu pengetahuan modern yang telah berkembang. Yang dimaksud dengan skema
konseptual yaitu sistem umum proposisi dari acuan empiris yang menyatakan
kondisi penentu di mana fenomena empiris berhubungan satu sama lain. Skema
konseptual yang baik merupakan komponen kumulatif yang utama dari ilmu
pengetahuan.
Bentuk ideal dari skema konseptual yaitu yang memiliki generalitas yang luas, yakni yang didalamnya jumlah dari kategori konseptual atau variabel kecil dalam artian proporsi umum yang abstrak. Hal seperti ini hanya terdapat dalam ilmu pengetahuan alam, tetapi tidak demikian dalam ilmu pengetahuan sosial. Tetapi skema konseptual memiliki acuan kepada data empiris, maka harus ada teknik untuk mengumpulkan data dan teknik lain untuk menyusun data itu kepada kategori konseptual yang sesuai. Hubungan antara skema konseptual dan teknik bukanlah sesuatu yang sederhana, kendatipun ada ketergantungan satu sama lain. Di sana juga ada kebebasan satu sama lain. Skema konseptual dengan penalaran deduktif dapat secara independen meramalkan data di mana teknik yang ada tidak mampu mengobservasinya.
Bentuk ideal dari skema konseptual yaitu yang memiliki generalitas yang luas, yakni yang didalamnya jumlah dari kategori konseptual atau variabel kecil dalam artian proporsi umum yang abstrak. Hal seperti ini hanya terdapat dalam ilmu pengetahuan alam, tetapi tidak demikian dalam ilmu pengetahuan sosial. Tetapi skema konseptual memiliki acuan kepada data empiris, maka harus ada teknik untuk mengumpulkan data dan teknik lain untuk menyusun data itu kepada kategori konseptual yang sesuai. Hubungan antara skema konseptual dan teknik bukanlah sesuatu yang sederhana, kendatipun ada ketergantungan satu sama lain. Di sana juga ada kebebasan satu sama lain. Skema konseptual dengan penalaran deduktif dapat secara independen meramalkan data di mana teknik yang ada tidak mampu mengobservasinya.
Sebaliknya,
teknik observasi dan penyusunan data yang ada dapat mengumpulkan data yang
tidak cocok ke dalam skema konseptual. Hal ini sesuatu yang lumrah dalam ilmu
pengetahuan, dan keadaan ini sering kali menimbulkan stimulasi untuk
rekonstruksi skema konseptual yang ada, yang merupakan jalan ke kemajuan ilmu
pengetahuan.
Ilmu pengetahuan
tidak hanya merupakan kumpulan dari sejumlah besar fakta. Tetapi ia merupakan
kumpulan dan susunan fakta dalam kaitan satu skema konseptual, yakni skema yang
selalu direkonstruksi jika penggunaannya atau digunakannya teknik pengumpulan
data dan menghasilkan fakta baru. Skema konseptual dan teknik mungkin sekali
tidak terpadu secara sempurna dan sering kali dari kesenjangan ini fakta yang dapat mengkonstruksi skema konseptual
yang lebih umum dan sistematis.
Dari penjelasan
di atas dan perkembangannya, di dunia ilmu pengetahuan ada dua pandangan
tentang ilmu pengetahuan yakni pandangan statis dan dinamis. Dari sudut
pandangan statis, ilmu pengetahuan yaitu suatu kegiatan yang menyajikan
informasi secara sistematis kepada dunia. Tugas seorang ilmuwan hanya
menemukan fakta baru dan kemudian menambahkannya kedalam informasi yang telah
ada. Jadi, ilmu pengetahuan hanya merupakan kumpulan fakta dan cara untuk
menjelaskan fenomena yang diamati.
Solly Lubis
(2012) mengatakan lebih jauh, ada dua pandangan tentang fungsi ilmu
pengetahuan. Pertama, untuk seorang praktisi, ilmu pengetahuan merupakan satu
disiplin atau kegiatan yang diarahkan untuk memperbaiki sesuatu dalam membuat
kemajuan. Maka fungsi ilmu pengetahuan yaitu membuat penemuan mempelajari
fakta, demi untuk mengembangkan pengetahuan atau memperbaiki sesuatu.
Adapun pandangan
kedua dari kalangan teoretisi, di mana fungsi ilmu pengetahuan membentuk hukum
umum yang meliputi perilaku dari peristiwa emperis atau objek, sehingga kita
mampu mengembangkan pengetahuan atas peristiwa yang terpisah, dan dapat
membuat ramalan atas peristiwa yang belum diketahui.
Secara definitif,
teknokrat merupakan tokoh yang memiliki kemampuan teknis berdasarkan disiplin
ilmu tertentu yang dikuasainya dan sekaligus ia terlibat dalam kegiatan
berkuasa dan memerintah. Dari hal ini terdapat fungsi ganda pada kalangan
teknokrat, yakni: Pertama, selaku
teoretisi, ia menganggap bahwa fungsi ilmu pengetahuan yaitu membentuk hukum
umum dari temuan peristiwa empiris atau objek, yaitu mengembangkan pengetahuan,
selain menjelaskan apa hakikat peristiwa yang diamatinya, dan membuat prediksi
ke depan. Kedua, selaku praktisi,
teknokrat itu memandang ilmu pengetahuan sebagai suatu disiplin kegiatan
berpikir dan bertindak menganalisis fakta, dengan tujuan untuk menawarkan
solusi sejauh diperlukan.
Dalam konteks
sikap terhadap ilmu pengetahuan, Suwardi Endraswara (2012) mengungkapkan bahwa
setiap sikap dan perilaku terkait dengan ilmu pengetahuan harus ada nilai-nilai
yang berhubungan dengan seluruh keyakinan. Di dalam ilmu sendiri sebenarnya
terdapat proses keyakinan. Standar pengujian nilai dipengaruhi aspek psikologis
dan logis. Berbagai ragam nilai akan menawarkan pilihan bagi kehidupan. Manusia
harus menjatuhkan pilihan sesuai keinginan. Pilihan nilai itu berkaitan pula
dengan percobaan manusia untuk mewujudkan rasa ingin tabu terhadap ilmu
pengetahuan yang dimilikinya.
BAB 12
ETIKA
DAN MODAL DALAM ILMU PENGETAHUAN
A. PENDAHULUAN
Socrates, seorang filsur besar Yunani, telah berbicara pada abad
sebelum masehi. kenalilah dirimu sendiri, demikianlah kurang lebih pesan yang
ingin di sampaikan. Manusia ialah makhluk berpikir yang dengan itu menjadikan
dirinya ada R.F. Beerling, seorang professor Belanda mengemukakan teorinya
tentang manusia bahwa manusia itu ialah makhluk yang suka bertanya, manusia
menjelajahi pengembangannya, mulai dari dirinya sendiri kemudian lingkungannya
bahkan kemudian sampai pada hal ini yang menyangkut asal mula atau mungkin
akhir dari semua yang dilihatnya. Kesemuanya itu telah menempatkan manusia
sebagai makhluk yang sedikit berbeda dengan hewan.
Sebagaimana Aristoteles, filsuf Yunani yang lain mengemukakan
bahwa manusia ialah hewan berakal sehat, yang mengeluarkan pendapat, yang
berbicara berdasarkan akal pikiran (the
animal that reason). W.E. Hacking, dalam bukunya What is an, menulis bahwa:
“tiada cara penyampaian yang menyakinkan mengenai apa yang dipikirkan olh
hewan, namun agaknya aman untuk mengatakan bahwa manusia jauh lebih berpikir
dari hewan manapun. Ia menyelenggarakan buku harian, memakai cermin, menulis
sejarah, “William P. Tolley, dalam bukunya Preface
Philosophy a Tex Book, mengemukakan bahwa
“our question are andless, what is
a man, what is a nature, what is a justice, what is a god?”. Berbeda dengan
hewan, manusia sangat concer mengenai asal mulanya akhirnya, maksud dan
tujuannya, makna dan hakikat kenyataan.
Mungkin saja ia merupakan anggota
marga satwa, namun ia juga merupakan warga dunia idea dan nilai. Dengan menempatkan manusia sebagai hewan yang
berpikir, intelektual, dan budaya, maka dapat disadari kemudian bila pada
kenyatan manusialah yang memiliki kemampuan untuk menelusuri keadaan dirinya
dan lingkungannya. Manusialah yang membiarkan pikirannya mengembara akhirnya
bertanya. Berpikir yaitu bertanya, bertanya yaitu mencari jawaban, mencari
jawaban mencari kebenaran, mencari jawaban tentang alam dan Tuhan yaitu mencari
kebenaran tentang alam dan Tuhan. Dari proses tersebut lahirlah pengetahuan, teknologi, kepercayaan, atau
agama.
B. HAKIKAT ETIKA
Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara, hingga pergaulan
hidup tingkat internasional, diperlukan suatu sistem yang mengatur bagaimana
seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan itu menjadi saling
menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata karma, protokoler,
dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan
masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang tentram, terlindung
tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar. Perbuatannya yang tengah
dijalankan sesuai dengan adat kebiasannya yang berlaku dan tidak bertentangan
dengan hak-hak asasi mumumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya
etika di masyarakat kita. Untuk itu perlu kiranya bagi kita mengetahui tentang
pengetikan etika serta macam-macam etika dalam kehidupan bermasyarakat.
Pengertian etika (etimologi) berasal bahasa Yunani, yaitu “ethos”, yang berarti watak kesusilaan
atau adat kebiasaan (custom). Etika
biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari
bahasa Latin, yaitu “mos” dan dalam
bentuk jamaknya” mores,” yang berarti juga adat kebiasaan atau cara
hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang bai (kesusilaan), dan menghindari
hal-hal tindakan yang buruk. Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya,
tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau
moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika yaitu untuk
pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Istilah yang identik dengan etika,
yaitu : usila (Sanskerta), lebih menunjukan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan
hidup (sila) yang lebih baik (su). Dan yang kedua yaitu akhlak Arab),
berarti moral, dan etika berarti ilmu
akhlak.
Menurut K. Bertens (2001), dalam filsafat Yunani etika dipakai
untuk menunjukan filsafat moral seperti
yang acap ditemukan dalam konsep filsuf besar Aristoteles. Etika berarti ilmu
tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Dengan
memakai istilan modern, dapat dikatakan juga bahwa membahas tentang konvensi
social yang ditemukan dalam masyarakat.
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia,. etika diartikan sebagai : (1) ilmu pengetahuan apa yang baik
dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); (2) kumpulan
asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan
salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Sementara itu, Bertens
(1993:6) mengartikan etika sejalan dengan arti dalam kamus tersebut. Pertama,
etika diartikan sebagai nilai-nilai dan
norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok dalam mengatur
tingkah lakunya. Dengan kata lain, etika disini diartikan sebagai sistem nilai yang
dianut oleh sekelompok masyarakat dan sangat me memengaruhi tingkah lakunya.
Sebagai contoh, etika Hindu, etika Protestan, dan etika diartikan sebagai
kumpulan asas atau nilai moral, atau biasa disebut kode etik. Sebagai contoh etika kedokteran, kode etik jurnalistik
dank ode etik guru. Etika merupakan ilmu apabila asas atau nilai-nilai etis
yang berlaku begitu saja dalam masyarakat dijadikan bahan refleksi atau kajian
secara sistematis dan metodis.
Magnis Suseso (1987) memahami etika harus dibedakan dengan ajaran moral. Morak
dipandang sebagai ajaran, wejangan, khotbah, patokan , entah lisan atau
tulisan, tentang bagaimana ia harus bertindak, tentang bagaimana harus hidup
dan bertindak, agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral
yaitu orang-orang dalam berbagai kedudukan, seperti orang tua dan guru, para
pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan para bijak.
Sumber dasar ajaran yaitu tradisi dann adat istiadat, ajaran agama
atau ideology tertentu. Adapun etika bukan suatu sumber tambahan bagi ajaran
moral, melainkan merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran dan pandangan moral. Etika yaitu suatu ilmu, bukan suatu ajaran. Jadi,
etika yaitu ajaran moral yang tidak berada pada tingkat yang sama.
Selanjutnya Magnis Suseno mengatakan, bagaimana kita harus hidup
bukan etika, melainkan ajaran moral. Pendapat Magnis bahwa etika merupakan ilmu
yaitu sama dengan Bertens. Sebagaimana dikatakan Bertens, bahwa etika yaitu
ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Namun
menurut Bertens, pengertian etika selain ilmu juga mencakup moral, baik arti
nilai-nilai moral, norma-norma moral, maupun kode etik. Adapun pendapat Magnis
yang menyatakan etika sebagai filsafat juga sesuai dengan pandangan umum yang
menempatkan etika sebagai salah satu
dari enam cabang filsafat, yakni metafisikal, epitemologi, metodologi,
logika, etika dan estetika.
Bahkan oleh filsuf besar Yunani, Aristoteles (384-322 SM), etika
sudah diginakan dalam pengertian
filsafat moral. Etika sebagai ilmu biasa dibedakan menjadi tiga macam, yaitu etika deskriptif,
etika normative, dan meta-etika deskriptif mempelajari tingkah laku moral dalam
arti luas, seperti adat kebiasaan, pandangan tentang baik dan buruk, perbuatan
yang diwajibkan, dibolehkan, atau dilarang dalam suatu masyarakat, lingkungan
budaya, atau periode sejarah
Koetjaraningrat (1980) mengatakan, etika dskriptif tugasnya,
sebatas menggambarkan atau memeprkenalkan dan sama sekali tidak memberikan
penilaian moral. Pada masa sekarag objek kajian etika deskriptif lebih banyak
dibicarakan oleh antropologi budaya, sejarah, atau sosiologi. Karena sifatnya
yang empiris, maka etika deskriftif lebih tepat dimasukkan ke dalam bahasa ilmu
pengetahuan dan bukan filsafat.
K. Bertes (2011) menjelaskan lebih jauh, etika normative bertujuan
merumuskan prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan
dapat diterapkan dalam perbuatan nyata. Berbeda dengan etika deskriptif, etika
normative tidak bersifat netral tetapi memberikan penilaian terhadap tingkah
laku moral berdasarkan norma-norma tertentu. Etika normatif tidak sekedar
mendeskriptifkan atau menggambarkan melainkan bersifat preskriptif atau memberi
petunjuk mengenai baik atau tidak baik, boleh atau tidak bolehnya suatu
perbuatan. Untuk itu di dalamnya dikemukakan argument atau diskusi yang
mendalam, dan etika normatif merupakan bagian penting dari etika.
Ada juga matematika yang dikenal secara popular, dia tidak
membahas persoalan moral dalam arti baik atau buruknya suatu tingkah laku,
tetapi membahas bahasa moral. Sebagai contoh, jika suatu perbuatan dianggap
baik, maka pertanyaan antara lain : apakah arti baik dalam perbuatan itu, apa
ukuran atau syaratnya disebut baik, dan sebagainya. Pertanyaan semacam itu
dapat juga dikemukakan secara kritis dan mendalam tentang makna dan ukuran
adil, beradab, manusiawi, persatuan, kerakyatan, kebijaksanaan, keadilan, kesejahteraan, dan daripada perilaku etis,
dengan bergerak pada taraf bahasa etis (meta artinya melebihi atau melampaui).
Pandangan lain dikemukakan Sussanto (2011), yang mengatakan atika
merupakan kajian tentang hakikat moral dan keputusan (kegiatan menilai). Etika juga merupakan prinsip atau
standar perilaku manusia yang kadang-kadang disebut dengan moral. Kegiatan menilai telah dibangun
berdasarkan toleransi atau ketidakpastian. Bahwa tidak ada kejadian yang dapat dijelaskan secara pasti tanpa
toleransi. Terdapat spesifikasi tentang
toleransi yang dapat dicapai. Di alam ilmu yang berkembang langkah demi selangkah, pertukaran informasi antarmanusia
selalu merupakan permainan tentang toleransi. Ini berlaku dalam ilmu eksakta
maupun bahasa, ilmu social, religi, ataupun politik, bahkan juga bagi setiap
bentuk pikiran yang akan menjadi dogma. Perubahan ilmu dilandasi oleh prinsip
toleransi. Hal ini dikarenakan hasil penelitian dari suatu pengetahuan ilmiah
sering tidak lama dengan sifat objek penelitian atau hasil penelitian
pengetahuan ilmiah yang lain, terutama apabila pengetahuan itu tergolong dalam
kelompok disiplin ilmu yang berbeda.
Disamping itu, ditinjau secara filosofi, sangat sukar untuk
mengatakan sesuatu itu sebagai hal yang objektif. Sebab boleh dikatakan segala
sesuatu mengenai hampir semua kebenaran
di alam ini merupakan hasil dari kesempatan, yang dipelopori oleh individu atau kelompok yang di pandang memiliki
otoritas dalam suatu bidang, yang kemudian diikuti oleh masyarakat luas.
Meskipun demikian, dapat disimpulkan bahwa sifat ilmu pengetahuan pada umumnya
universal, dapat dikomunikasikan dan progresif.
Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti: Pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai
penilaian terhadap perbuatan manusia, Kedua,
merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal kesusilaan
manusia, dan mempelajari tingkah laku manusia baik buruknya. Adapun estetika
berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia
terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
Nilai itu objektif atau subjektif sangat tergantung dari hasil
pandangan yang muncul dari filsafat. Nilai ini akan menjadi subjektif apabila
subjek sangat berperan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolok ukur
segalanya, atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi
subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat fisik
atau psikis. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu memperhatikan
berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan,
intelektual, dan hasil subjektif selalu akan mengarah kepada suka atau tidak
suka, senang atau tidak senang.
Nilai itu objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau
kesadaran yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam
filsafat tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolok ukur
suatu gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitas
benar-benar ada sesuai dengan objek sesungguhnya.
C. HAKIKAT MORAL VERSUS
ILMU
Menurut K. Bertens (2011), secara etimologis kata moral sama
dengan etika, meskipun kata asalnya beda. Pada tataran lain, jika kata moral
dipakai sebagai kata sifatnya artinya sama dengan etis, jika dipakai sebagai
kata benda artinya sama dengan etika. Moral yaitu nilai-nilai dan norma-norma
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sesuatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya. Ada lagi istilah moralitas yang mempunyai arti sama dengan
norma (dari sifat Latin moralis),
artinya suatu perbuatan atau baik buruknya. Moralitas yaitu sifat moral atau
keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Secara
etimologis, kata moral berasal dari kata mos
dalam bahasa Latin, bentuk jamaknya mores, yang artinya tata cara atau adat istiadat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
moral artinya sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Secara terminologis,
terdapat berbagai rumusan pengertian moral yang dari segi substantif
materialnya tidak ada perbedaan, akan tetapi bentuk formalnya berbeda. Widjaja (1985) menyatakan, bahwa moral adalah
ajaran baik dan buruk tentang perbuatan
dan kelakuan (akhlak). Al-Ghazali mengemukakan pengertian akhlak, sebagai
padanan kata moral, sebagai perangai (watak, tabiat) yang menetap kuat dalam
jiwa manusia dan merupakan sumber timbulnya perbuatan tertentu dari dirinya
secara mudah dan ringan, tanpa perlu dipikirkan dan direncanakan sebelumnya.
Sementara itu Wila Huky, sebagaimana dikutip oleh Bambang Daroeso (1986),
merumuskan pengertian moral secara lebih komperehensif rumusan formalnya
sebagai berikut :
1.
Moral sebagai perangkat ide
tentang tingkah laku hidup, dengan warna dasar tertentu yang dipegang oleh
sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu.
2.
Moral adalah ajaran tentang laku
hidup yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu.
3.
Moral sebagai tingkah laku hidup
manusia, yang mendasarkan pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk
mencapai yang baik, sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam
lingkungannya.
Agar diperoleh pemahaman yang jelas, perlu diberikan ulasan bahwa
substansi materiek dari ketiga batasan tersebut tidak berbeda, yaitu tentang
tingkah laku. Akan tetapi bentuk formal ketiga batasan tersebut berbada.
Batasan pertama dan kedua hampir sama, yaitu seperangkat ide tentang tingkah
laku dan ajaran tentang tingkah laku. Adapun batasan moral belum terwujud
tingkah laku, melainkan masih merupakan acuan dari tingkah laku. Pada batasan
pertama, moral dapat dipahami sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral.
Ada[pun batasan ketiga, moral dapat dipahami sebagai tingkah laku, perbuatan,
atau sikap moral. Namun demikian, semua batasan tersebut tidak salah, sebab
dalam pembicaraan sehari-hari, moral sering dimaksudkan masih sebagai
seperangkat ide, nilai, ajaran, prinsip, atau norma. Akan tetapi lebih kokret
dari itu, moral juga sering dimaksudkan sudah berupa tingkah laku, perbuatan,
sikap atau karakter yang didasarkan pada ajaran, nilai, prinsip, atau norma.
Kata moral juga sering disinonimkan dengan etika, yang berasal dari kata ethos dalam bahasa Yunani Kuno, yang
berarti kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, atau cara berpikir.
Selanjutnya berbicara tentang ilmu istilah yang berasal dari
bahasa Yunani yaitu scientia, atau
dalam kaidah bahasa Arab berasal dari kata “ilm’. Ilmu atau sains adalah
pengkajian sejumlah pernyataan yang terbukti dengan fakta dan ditinjau yang
disusun secara sistematis dan terbentuk menjadi hukum umum. Ilmu akan
melahirkan kaidah umum yang dapat diterima
oleh semua pihak.
Dari definisi diatas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa ilmu
adalah pengetahuan yang dirumuskan secara sistematis, dapat diterima oleh akal
melalui pembuktian empiris. Istilah empiris memang sering memunculkan
persoalan, yaitu harus didasarkan fakta yang dapat dilihat. Empiris tentu tidak
harus demikian, sebab banyak faktor keilmuan yang tidak dapat dilihat, tetapi
ada. Kaidah yang mempelajari fakta ilmu
yang tidak tampak itu patut digai dengan aturan yang mapan. Di sisi lain ada
suatu kategori, yaitu pseudo-ilmu. Secara garis besar pseudo-ilmu adalah
pengetahuan atau praktik metodologis yang diklaim sebagai pengetahuan. Namun
berbada dengan ilmu, pseudo-ilmu tidak memenuhi persyaratan yang disyaratkan
oleh ilmu.
Keberadaan ilmu timbul karena adanya penelitian pada objek yang
sifatnya empiris. berbeda halnya dengan pseudo-ilmu yang lahir dan timbul dari
penelaan objek yang abstrak. Landasan dasar yang dipakai dalam pseudo-ilmu
yaitu keyakinan atau kepercayaan. Hal
semacam ini sering memunculkan pandangan metafisika dalam filsafat ilmu.
Perbedaan keduanya dapat diketahui dari penampakan yang menjadi objek
penelitian masing-masing bidang. Atau dengan kata lain, perbedaan itu ada pada
sisi epistemologisnya. Perbedaan juga dapat dilihat dari aspek fungsinya.
Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi
sentral persoalan. Etika itu sejajar artinya dengan moral. Etika keilmuan
merupakan etika yang normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat
dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu
pengetahuan. Tujuan etika keilmuan yaitu yang b aik dan yang menghindarkan dari
yang buruk ke dalam perilaku keilmuannya.
Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada
“elemen” kaidah moral, yaitu hati nurani kebebasan dan bertanggung jawab nilai
dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani di sini yaitu
penghayatan tentang yang baik dan yang buruk yang dihubungkan dengan perilaku
manusia.
Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan yaitu nilai
dan orma nilai. Lalu apa yang menjadi criteria pada nilai dan norma moral itu?
Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi
seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum,
dan budaya; yang paling utama dalam nilai moral yang berkaitan dengan tanggung
jawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah
buruk dari sudur etis.
Dibidang etika, tanggung jawab seorang ilmu bukan lagi memberi
informasi melainkan harus memberi contoh. Dia harus bersifat objektif, terbuka,
menerima kritik dan menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang
dianggap benar, dan kalau berani mengakui kesalahan. Berdasarkan sejarah
tradisi Islam ilmu tidaklah berkembang pada arah yang tak terkendali, tetapi harus bergerak
pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia
atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksitensi ilmu
pengetahuan bukan “melulu” untuk mendesak kemanusiaan, melainkan kemanusiaan
yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk
kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada Sang pencipta.
Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat
antara filsuf dan para ulama. Sebagian
berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi prang
yang menekuninya, dan mereka yngkapkan hal ini dengan ungkapan ilmu pengetahuan
untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra, dan lain
sebagainya. Teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai
masalah, seperti kebutuhan sandang, pangan, energi, dan kesehatan. Adapun
pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk
meningkatkan dan kemajuan umat manusia secara keseluruhan.
Perkembangan ilmyu tidak pernah lepas dari ketersinggunganya
dengan berbagai masalah moral. Baik atau buruknya ilmu sangat dipengaruhi oleh
kebaikan atau keburukan moral para penggunannya. Peledakan bom atom di
Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat, merupakan suatu contoh
penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah maju pada zamannya.
Pada dasarnya masalah moral, tidak bisa dilepaskan dari tekad
manusia untuk menemukan dan mempertahankan kebenaran. Moral sangat berkaitan
dengan nilai-nilai, serta cara terhadap suatu hal. Pada awal masa
perkembangannya, ilmu sering kali berbenturan dengan nilai moral yang diyakini
oleh masyarakat. Oleh karena itu, sangat banyak ilmuwan atau ahli filsafat yang
dianggap gila atau bahkan dihukum mati oleh penguasa pada saat itu, seperti
Nicholas Copernicus, Socrates, John Huss dan Galileo Galilei.
Selain itu ada pula beberapa kejadian di mana ilmu harus
didasarkan pada nilai moral yang berlaku pada saat itu, walaupun hal itu
bersumber dari pernyataan di luar bidang keilmuan (misalnya agama). Karena
berbagai sebab di atas, maka para ilmuwan berusaha untuk mendapatkan otonomi
dalam mengembangkan ilmu yang sesuai dengan kenyataan, setelah pertarungan
ideology selama kurun waktu ratusan tahun, akhirnya para ilmuwan mendapat
kebebasan dalam mengembangkan ilmu tanpa dipengaruhi berbagai hal yang bersifat
dogmatik.
Kebebasan tadi menyebabkan para ilmuwan mjulai berani
mengembangkan ilmu secara luas. Pada akhirnya muncullah berbagai konsep ilmiah
yang dikonkretkan dalam bentuk teknik. Yang dimaksud teknik di sini yaitu
penerapan ilmu dalam berbagai pemecahan masalah. Yang menjadi tujuan bukan saja
untuk memlepajari dan memahami berbagai faktor yangberkaitan dengan masalah
manusia, melainkan berbagai faktor yang berkaitan dengan masalah manusia,
melainkan juga untuk mengontrol dan
mengarahkannya. hal ini menandai berakhirnya babak awal ketersinggungan ilmu
dengan moral.
Pada masa selanjutnya, ilmu kembali dikaitkan dengan masalah moral
yang berbeda, yaitu berkaitan dengan penggunaan pengetahuan ilmiah. Maksudnya
terdapat beberapa penggunaan teknologi yang justru merusak kehidupan manusia
itu sendiri. Dalam menghadapi masalah ini, para ilmuwan terbagi menjadi dua
pandangan.
Kelompok pertama memandang bahwa ilmu harus bersifat netral dan
terbatas dari berbagai masalah yang dihadapi pengguna. Dalam hal ini tugas
ilmuwan yaitu meneliti dan menemukan pengetahuan dan itu kepada orang lain akan
menggunankan pengetahuan tersebut atau tidak , atau digunakan untuk tujuan yang
baik atau tidak.
Kelompok kedua memandang bahwa netralitas ilmu hanya pada proses penemuan ilmu saja,
dan tidak pada hal penggunaannya. Bahkan pada pemilihan bahan peneliti, seorang
ilmuwan harus berlandaskan pada nilai-nilai moral. Kelompok ini memandang bahwa
sejarah telah membuktikan, bahwa ilmu dapat digunakan sebagai alat penghancur
peradaban, hal ini dibuktikan dengan banyaknya peran yang menggunakan teknologi keilmuan. Alasan
lain yaitu bahwa ilmu telah berkembang dengan pesat dan para ilmuwan lebih mengetahui
akibat yang mungkin terjadi serta
pemecahannya, bila terjadi penyalahgunaan. Berdasarkan pertimbangan di
atas, maka kelompok kedua berpendapat.
bahwa ilmu secara moral harus ditunjukan untuk kebaikan manusia tanpa
merendahkan martabat atau mengubah hakikat manusia.
Perihal ilmu dan moral memang sudah sangat tidak asing lagi,
keduanya memiliki hubungan yang sangat kuat. Ilmu bisa menjadi malapetaka
kemanusiaan jika seseorang yang memanfaatkannya yaitu tidak bermoral atau
paling tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Tapi sebaliknya ilmu akan
menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat,
tentunya tetap mengindahkan aspek moral. Dengan demikian, kekuasaan ilmu
ini mengharuskan seorang ilmuwan yang
memiliki landasann moral yang kuat, ia harus tetap memegang ideology dalam
mengembangkan dan memanfaatkan keilmuannya. Tanpa landasan dan pemahaman
terhadap nilai-nilai moral, maka seorang ilmuwan bida menjadi monster yang
setiap saat bisa menerkam manusia, artinya bencana kemanusiaan bisa setiap saat
terjadi. kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berilmu itu jauh lebih jahat
dan membahayakan dibandingkan kejahatan orang yang tidak berilmu.
Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi menuais. Karena
dengan ilmu semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih
cepat dan lebih mudah. Dan, merupakan kenyataan yang tidak bisa dimungkiri
bahwa peradaban manusia sangat berutang kepada ilmu. Singkatnya ilmu merupakan sarana untuk membantu manusia dalam
mencapai tujuan hidupnya. Ilmu tidak hanya menjadi berkah dan menyelamat
manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi
manusia, namun kemudian digunakan untuk hal-hal yang bersifat negative
yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti bom dan terjadi
di Bali.
Disini ilmu harus diletakan secara proposional dan memihak kepada
nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan. Sebab jika ilmu tidak berpihak kepada
nilai-nilai, maka yang terjadi yaitu bencana dan malapetaka. etiap ilmu
pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan diterapkan pada
masyarakat. Teknologi dapat diartikan sebagai penerapan konsep ilmiah dalam
memecahkan masalah-masalah praktis, baik yang berupa perangkat keras (haedware) maupun perangkat lunak
(software). Dalam tahap ini ilmu tidak hanya menjelaskan gejala alam untuk
tujuan pengertian dan pemahaman, tetapi lebih jauh lagi memanipulasi
faktor-faktor yang terkait dalam gejala itu untuk mengontrol dan mengarahkan
proses dan mengarahkan proses yang terjadi. Di sinilah masalah moral muncul
kembali, namun dalam kaitannya dengan faktor lain. Kalau dalam tahap
kontemplasi moral berkaitan dengan metafisika, maka dalam tahap manipulasi ini
masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan ilmu pengetahuan. Atau, secara
filsafat dalam tahap penerapan konsep terdapat masalah moral ditinjau dari segi
aksiologi keilmuan.
Nilai moral berkaitan dengan tanggung jawab dan hati nurani. Nilai bersikap mewajibkan dan formal. Nilai merupakan fenomena
psikis manusia yang menganggap sesuatu hal bermanfaat dan berharga dalam kehidupannya, sehingga seseorang dengan sukarela
terlibat fisik dan mental ke dalam fenomena itu. Ada beberapa jenis
nilai, misalnya nilai moral, nilai religius, nilai ekonomi, nilai keindahan,
dan nilai psikologis.
Norma adalah aturan atau kaidah yang dipakai untuk tolok ukur dalam menilai sesuatu. Ada tiga jenis norma umum, yaitu norma kesopanan
atau etiket, norma hukum, dan norma moral. Etiket hanya mengukur apakah suatu
situasi sopan atau tidak. Norma moral menentukan perilaku seseorang baik atau
buruk dari segi etis. Norma moral yaitu norma tertinggi yang tidak dapat
dikalahkan untuk kepentingan norma yang lain. Norma moral bertugas menilai
norma-norma lainnya.
Norma moral
bersifat objektif dan universal. Norma moral hendaknya mampu mengajak manusia
untuk menjunjung martabat sesamanya. Norma moral bersifat absolut, tidak
relatif, norma moral bersifat ya dan tidak, atau boleh dan tidak boleh.
Ketegasan terhadap norma moral menyebabkan seseorang memiliki ketetapan hati
yang kuat, tidak mudah menyerah kepada perbuatan amoral dan menuntut ilmuwan
untuk menunaikan panggilan tugasnya, yaitu
membuat kemaslahatan dan kemajuan bagi dunia, manusia dan kemanusiaan.
Kajian cabang aksiologi yang memaparkan etika dan estetika juga harus memperhitungkan motivasi seseorang dalam mempelajari dan menerapkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan terus
berkembang seiring dengan terus berkembangnya teknologi. Di sisi lain,
banyak kekhawatiran akan perkembangan ilmu dan teknologi ini. Kekhawatiran itu
beragam, mulai dari adanya kerusakan fisik Bumi, biologis, kerusakan budaya,
kerusakan sistem sosial dan mental manusia.
Kekhawatiran ini sebenarnya sudah berkembang semenjak awal abad
modern, di mana terjadi permasalahan dengan ditemukannya teori yang membutuhkan kenyakinan saintis sebelumnya.
Walupun kemudian dikisahkan selanjutnya sebagai bentuk pertentangan yang bermotif
teologis, namun sebenarnya semua itu hanyalah pertentangan antara kemapanan.
lama dan usaha untuk memperjuangkan kemapanan baru.
Ilmu pengetahuan dan teknologi identik dengan sesuatu yang baru,
sekaligus lama. Sebagai sesuatu yang baru yang dihasilkan dari pengembangan
i1mu. suatu pengetahuan dan teknologi selalu berpijak pada bentuk ilmu pengetahuan
lama dan kehadiran sesuatu
yang benar-benar baru, namun merupakan suatu hasil revisi dari konsep lama,
atau merupakan bentuk gabungan beberapa konsep yang sebelumnya sudah
ada.
Sejak awal pertumbuhannya, ilmu sudah terkait
dengan masalah moral. Dari interaksi ilmu dan
moral itu timbul konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang
berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo.
Dalam tahap manipulasi, masalah moral muncul kembali. Kalau dalam tahap kontemplasi masalah moral berkaitan
dengan metafisika keilmuan, maka
dalam tahap manipulasi masalah moral berkaitan dengan cara penggunaan
pengetahuan ilmiah, atau secara filsafat dapat dikatakan bahwa dalam tahap
pengembangan konsep terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi aksiologi
keilmuan. Aksiologi itu sendiri merupakan
teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh.
Erliana Hasan (2011) memahami ilmu merupakan
pengetahuan yang mempunyai karakteristik tersendiri.
Pengetahuan mempunyai berbagai cabang pengetahuan, dan ilmu merupakan salah
satu cabang pengetahuan itu. Karakteristik keilmuan itulah yang mencirikan
hakikat keilmuan dan sekaligus membedakan ilmu dari berbagai cabang pengetahuan
lainnya, atau dengan perkataan lain karakteristik keilmuan menjadikan ilmu
merupakan suatu pengetahuan yang bersifat ilmiah.
Pengetahuan diartikan secara lugas, yang mencakup segenap apa yang
kita tahu tentang objek tertentu. Pengetahuan yaitu terminologi generik yang mencakup segenap cabang pengetahuan, seperti
seni, moral, dan ilmu. Manusia mendapatkan pengetahuan berdasarkan
kemampuannya selaku makhluk yang mampu untuk berpikir, merasa, dan mengindera.
Secara garis besar, pengetahuan dapat digolongkan menjadi tiga kategori utama. Pertama,
pengetahuan tentang apa yang baik dan buruk (etika). Kedua, pengetahuan
tentang apa yang indah dan jelek (estetika). Ketiga, pengetahuan apa
yang benar dan salah (Logika).
Ilmu merupakan pengetahuan yang termasuk ke dalam kategori ketiga,
yakni logika. Logika di sini diartikan secara luas, sebab terdapat pengertian
dari logika yang lebih sempit, yakni cara berpikir menurut suatu aturan
tertentu. Aturan cara berpikir tersebut dalam kegiatan keilmuan dipatuhi dengan penuh kedisiplinan yang menyebabkan
ilmu dikenal sebagai disiplin pengetahuan yang relatif teratur dan
terorganisasikan. Manusia diberi kemampuan
untuk mengetahui segala sesuatu dalam arti luas, yakni suatu kemampuan yang tidak diberikan Tuhan kepada makhluk
lainnya, dan secara analitis kemampuan untuk mengetahui segala sesuatu.
Lebih jauh Erliana (2011) mengatakan ada tiga kemampuan besar
manusia. Pertanza, kemampuan kognitif, yakni kemampuan untuk mengetahui dalam arti kata yang
lebih dalam berupa mengerti, memahami, menghayati,
dan mengingat apa yang diketahui itu. Landasan kognitif yaitu rasio atau akal dan kemampuan ini bersifat
netral. Kedua, kemampuan afektif, yakni kemampuan untuk
merupakan tentang apa yang diketahuinya,
yaitu rasa cinta dan rasa indah. Bila kemampuan kognitif bersifat netral, maka kemampuan afektif tidak
bersifat netral lagi. Rasa cinta dan rasa indah, keduanya merupakan
kontinum yang berujung pada sifat poller.
Landasan afeksi yaitu rasa atau kalbu atau disebut jugs hati nurani. Ketiga, kemampuan konatif, yaitu
kemampuan untuk mencapai apa yang dirasakan itu. Konasi antara lain
kemauan, keinginan, hasrat, yakni daya dorong untuk mencapai atau
menjauhi segala apa yang didiktekan oleh
rasa. Rasalah yang memutuskahn apakah sesuatu itu dicintai atau dibenci, dinyatakan indah atau dinyatakan
buruk, dan menjadi sifat manusia
untuk menginginkan atau mendekati yang dicintainya dan yang dinyatakan
indah dan sebaliknya, membuang atau menjauhi yang dibencinya dan dinyatakan
buruk. Kemampuan, kemauan, dan kekuatan manusia
untuk bergerak mendekati atau menjauhi sesuatu inilah yang disebut
dengan kemampuan konatif. Dengan perkataan lain, kemampuan konatif yaitu kemampuan yang mengedepankan kekuatan
fisik dalam bentuk aksi.
Dari ketiga kemampuan manusia
tersebut, ternyata kemampuan afektiflah yang
menjadi titik sentralnya, dan pada bidang kemampuan afektif inilah terutama manusia mendapat petunjuk yang saling
bertentangan inilah yang akan mengantarkan manusia sampai pada pemilikan ilmu pengetahuan, apakah
manusia memutuskan untuk mendengar bujukan setan atau akan tetap
bertahan dengan tetap tegar berada pads jalan yang diridhai Tuhan, terserah
kepada pilihan manusia itu sendiri. Daya dorong inilah yang menentukan nasib
manusia, keagungan atau kenistaan. sementara kemampuan kognitif hanya mengiringi apa yang ditetapkan
oleh rasa manusia.
D. ASPEK DAN SIFAT MORAL
DALAM ILMU PENGETAHUAN
1. Moralitas Versus
legalitas dalam Ilmu Pengetahuan
Menurut Immanuel Kant dalam Tjahjadi (1991),
filsafat Yunani dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu fisika, etika, dan logika. Logika bersifat apriori, maksudnya tidak membutuhkan
pengalaman empiris. Logika sibuk dengan
pemahaman dan rasio itu sendiri, dengan hukum pemikiran universal. Fisika, di
samping memiliki unsur apriori juga memiliki unsur empiris atau aposteriori, sebab sibuk dengan hukum alam yang berlaku bagi alam sebagai objek pengalaman. Demikian pula
halnya dengan etika, di samping memiliki unsur apriori juga memiliki
unsur empiris, sebab sibuk dengan hukum tindakan manusia yang dapat diketahui
darn pengalaman. Tindakan manusia dapat
kita tangkap melalui indra kita, akan tetapi prinsip yang mendasari tindakan
itu tidak dapat kita tangkap dengan indra kita. Menurut Kant, filsafat
moral atau etika yang murni justru yang bersifat apriori itu. Etika apriori ini
disebut metafisika kesusilaan.
Pemahaman tentang moralitas yang didistingsikan dengan legalitas
ditemukan dalam filsafat moral Kant. Menurut pendapatnya, moralitas adalah kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma
atau hukum batiniah, yakni apa yang
oleh Kant dipandang sebagai "kewajiban." Ada-pun legalitas
adalah kesesuaian sikap dan tindakan dengan hukum atau norma lahiriah belaka.
Kesesuaian ini belum bernilai moral, sebab tidak didasari dorongan batin.
Moralitas akan tercapai jika dalam menaati hukum lahiriah bukan karena takut
pada akibat hukum lahiriah itu, melainkan karena menyadari bahwa tact pads
hukum itu merupakan kewajiban.
Dengan demikian, kata Tjahjadi
(1991), nilai moral baru akan ditemukan di dalam moralitas. Dorngan batin itu
tidak dapat ditangkap dengan indra, sehingga orang tidak mungkin akan menilai
moral secara mutlak. Kant dengan tegas mengatakan, hanya Tuhan yang mengetahui
bahwa dorongan batin seseorang bernilai
moral. Kant memahami moralitas masih
dibedakan menjadi dua, yaitu moralitas heteronoln dan moralitas otonom. Dalam moralitas heteronom suatu kewajiban ditaati, tapi bukan karena kewajiban itu sendiri melainkan karena
sesuatu yang berasal dari luar
kehendak orang itu sendiri, misalnya karena adanya imbalan tertentu atau karena takut pada ancaman orang lain.
Adapun dalam moralitas otonom,
kesadaran manusia akan kewajibannya yang harus ditaati sebagai sesuatu
yang is kehendaki, karena diyakini sebagai hal yang baik.
Dalam hal ini, seseorang yang mematuhi hukum
lahiriah bukan karena takut pada sanksi melainkan
sebagai kewajiban sendiri, karena mengandung
nilai kebaikan. Prinsip moral semacam ini disebutnya sebagai otonomi moral,
yang merupakan prinsip tertinggi
moralitas. Jika dihubungkan dengan teori perkembangan
penalaran moralnya Kohlberg, kesesuaian sikap dan tindakan semacam ini sudah
memasuki tahapan perkembangan yang ke-6 atau
tahapan tertinggi, yakni orientasi prinsip etika universal.
Di bagian lain, Kant mengemukakan adanya dua macam prinsip yang mendasari tindakan manusia, yaitu maksim (inaxime)
dan kaidah objektif. Maksim
adalah prinsip yang berlaku secara subjektif, yang dasarnya yaitu
pandangan subjektif dan menjadikannya sebagai dasar bertindak. Meskipun
memiliki budi, akan tetapi manusia sebagai subjek merupakan makhluk yang tidak sempurna, yang juga memiliki
nafsu, emosi, selera, dan lain-lain.
Oleh karena itu, manusia memerlukan prinsip lain yang memberinya pedoman dan menjamin adanya
"tertib hukum" di dalam dirinya
sendiri, yaitu yang disebut kaidah objektif tadi. Kaidah ini tidak dicampuri pertimbangan unsur atau rugi,
menyenangkan atau menyusahkan.
Dalam kaidah
objektif tersebut terkandung suatu perintah atau imperatif yang wajib dilaksanakan, yang disebut
im-peratif kategoris. Im-peratif
kategoris yaitu perintah mutlak, berlaku umum, Berta tidak berhubungan dengan suatu tujuan yang ingin
dicapai atau tanpa syarat apa pun. Imperatif kategoris ini memberikan perintah yang harus dilaksanakan
sebagai suatu kewajiban. Menurut Kant, kewajiban merupakan landasan yang paling utama dari tindakan moral. Suatu perbuatan
akan mempunyai nilai moral apabila hanya
dilakukan demi kewajiban itu sendiri.
Di samping imperatif kategoris, juga dikenal apa yang disebutnya
imperatif hipotetis, yaitu perintah bersyarat, yang dilakukan karena
dipenuhinya syarat-syarat untuk mencapai tujuan tertentu sebagaimana yang telah
dikemukakan.
Pandangan Kant tentang moralitas yang didasari kewajiban itu tampaknya
tidak berbeda dengan moralitas Islam (akhlak), yang berkaitan dengan "niat." Di sini berlaku suatu
prinsip/ajaran bahwa nilai suatu perbuatan itu sangat tergantung pada
niatnya. jika niatnya baik, maka perbuatan itu bernilai kebaikan. Perbuatan
yang dimaksudkan di sini sudah tentu
perbuatan yang baik, bukan perbuatan yang buruk. Dengan demikian, niat
yang baik tidak berlaku untuk perbuatan yang buruk.
2. Moralitas
Objektivistik Versus Relativistik dalam Ilmu Pengetahuan
Menurut Kurtines dan Gerwitz (1992), timbulnya perbedaan pandangan
tentang sifat moral sebagaimana dikemukakan itu tak terlepas dari sejarah
perkembangan intelektual Barat yang dibagi dalam tiga periode, yaitu zaman Abad Klasik,
Abad Pertengahan, dan Abad Modern. Sejarah ide dunia Barat dimulai sejak zaman
Yunani Kuno sekitar abad ke-5 SM, dengan
ahli pikirnya yang sangat terkenal, yaitu Socrates, Plato, dan
Aristoteles. Ketiga pemikir terbesar Abad Klasik ini berpandangan bahwa prinsip
moral itu bersifat objektivistik, naturalistik, dan rasional. Maksudnya,
meskipun bersifat objektif sebagaimana yang telah dikemukakan, akan tetapi
moral itu merupakan bagian dari kehidupan duniawi (natural) dan dapat dipahami
melalui proses penalaran atau penggunaan
akal budi (rasional).
Socrates yang meninggal pads 399 SM, meskipun
tidak meninggalkan karya tulis,
ia mengajarkan tentang adanya kebenaran yang bersifat mutlak. Untuk mempunyai
pengetahuan yang objektif tentang kebenaran itu merupakan
sesuatu yang sangat mungkin bagi manusia, melalui penalaran atau akal budi. Plato (427-347 SM), pencipta istilah ide, mengatakan bahwa
ide itu memiliki eksistensi yang nyata dan objektif. Pendapat ini sekaligus untuk
menyanggah kaum sofisme yang mengatakan bahwa tidak mungkin terdapat suatu
pengetahuan dan juga moral yang bersifat objektif, sedangkan dunia itu sendiri
terus-menerus berubah.
Menurut
Plato, pengetahuan maupun moral yangbersifat objektif itu sangat mungkin, meskipun tidak di dunia
fisik. Ia mengemukakan adanya dunia, yaitu
dunia fisik dan dunia ide. Dunia fisik itu terns berubah, sementara dunia ide
atau dunia cita itu merupakan dunia yang abadi. Lagi pula, dunia ide itu lebih tinggi daripada dunia fisik, sebab dunia ide
tidak rusak dan tidak berubah, tidak seperti halnya dunia fisik. Bagi
realisme Plato, dunia ide itu merupakan
realitas yang sesungguhnya dan lebih nyata dibanding dengan dunia
indriawi. Untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran atau realitas yang lain
tidak mungkin dicapai melalui pengalaman indra yang sifatnya terbatas. Hanya
melalui akal budi atau penalaran, sebagai
kekuatan khas yang hanya dimiliki manusia, seseorang akan mampu
memahami dunia ide itu. Sebagaimana halnya Plato, Aristoteles (384-322 SM) ialah seorang penganut realisme yang metafisik,
namun terdapat perbedaan penting di antara keduanya.
Menurut Aristoteles, materi lebih pokok dibanding dengan bentuk. Dalam bukunya yang berjudul The Nicoinacheali
Ethics, dikemukakan bahwa kebenaran merupakan tujuan yang ingin kita
raih dan untuk meraihnya itu
melalui kegiatan yang kita lakukan. Lagi pula, kebenaran itu sifatnya bertingkat-tingkat, dalam arti bahwa ada
11 jenis kebenaran yang lebih baik dari kebenaran lainnya. Hal ini
sekaligus menimbulkan pertanyaan, apakah dengan demikian tidak berarti bahwa
kebenaran itu sifatnya relatif?
Pertanyaan lain yang dikemukakan, adakah kebenaran yang ingin kita raih demi kebenaran yang lebih
tinggi? Sekiranya ada, maka kebenaran tertinggi itulah yang merupakan
kebenaran mutlak. Untuk itu, manusia perlu
mempunyai pengetahuan tentang kebenaran itu guna menjadi acuan dalam
perilaku hidupnya. Menurut Aristoteles, kebenaran yang mutlak itu yaitu
kebahagiaan dan berperilaku baik. Kebahagiaan itu yaitu sesuatu yang tuntas
dan merupakan tujuan akhir. Kita mencapai
sesuatu itu demi kebahagiaan, bukan mencapai kebahagiaan demi sesuatu
yang lain. Konsepsi Aristoteles tentang moralitas tersebut lebih duniawi, lebih
empiris, atau lebih aktual dibanding konsepsi Plato.
Selanjutnya dikatakan Aristoteles, hidup secara baik merupakan aktualisasi fungsi moral yang khas insani. Dalam
dunia intelektual, moralitas itu tampil dalam proses pencarian
kebenaran. Abad Pertengahan berlangsug selama seribu tahun, sejak runtuhnya
Romawi pada abad ke-5 hingga Renaisans di abad ke-15, sering disebut sebagai
abad kepercayaan. Sepanjang zaman itu, sejarah pemikiran Barat dipengaruhi oleh
kepercayaan yang kukuh akan kebenaran wahyu Kristiani. Dalam masa seribu tahun lamanya, persoalan moralitas dan bahkan
realitas alam ditempatkan dalam suatu kerangka pikir yang lebih
didasarkan pada kepercayaan dibanding penalaran.
Jawaban atas persoalan moral yang
lebih bersumber dari kepercayaan itu dipandang sebagai jawaban yang mutlak dan objektif.
Alam pikiran Abad Pertengahan dibangun atas dasar asimilasi antara kepercayaan
dan penalaran, antara doktrin
Kristiani dan doktrin rasional dan sekuler dari para filsuf Abad Klasik.
Agustinus (345-430), pemikir Abad Pertengahan yang karya-karyanya dipandang
memiliki otoritas yang hampir sebanding dengan kitab suci, berpenclapat bahwa
pengetahuan tentang kebenaran yang mutlak dan objektif dapat dicapai melalui
mistik tentang kebenaran Ilahi yang diterima secara langsung.
Lebih jauh Kurtines dan Gerwitz (1992) mengatakan, pandangan
Agustinus menjadi paradigma berpikir Abad Pertengahan hingga munculnya mazhab
pikir Thomisme. Thomas Aquinas (1225-1274) ialah filsuf besar kedua di Abad
Pertengahan, yang antara lain berpandangan bahwa manusia dan alam, moralitas
dan keselamatan, iman dan penalaran, itu semua
berada dalam kesatuan Ilahi. Secara garis besar, konsepsi moral abad
pertengahan berbeda dengan konsepsi Abad Klasik. Agustinus dan Thomas Aquinas
mendasarkan pandangan moralnya yang bersifat spiritualistik dan terarah pada dunia kelak. Adapun pandangan moral Plato dan
Aristoteles bersifat naturalistik, sekuler, rasional, dan terpusat pads dunia
kini. Namun demikian, antara Abad Klasik dan Abad Pertengahan terdapat persamaan, yaitu sama-sama berpandangan
akan adanya standar moral yang objektif. Dengan demikian, perbedaannya
terletak pada persoalan epistemologi, yakni
sumber pengetahuan atau cara memperoleh pengetahuan tentang kebenaran
objektif tersebut.
Abad Pertengahan berakhir pada abad ke-15, yang disusul dengan
bangkitnya ajaran, pandangan, dan budaya barn yang serba sekuler, yang dikenal sebagai zaman Renaisans (dari bahasa
Perancis yang berarti "kelahiran kembali"). Dalam zaman ini,
manusia seakan-akan dilahirkan kembali dari tidur yang panjang dan statis di
Abad Pertengahan.
Zaman Renaisans ini telah menandai
jatuhnya otoritas gereja dalam bidang spiritual dan intelektual yang telah
berlangsung lima belas abad. Zaman Renaisans yang berlangsung pada abad ke-15
dan ke-16 telah menandai peralihan Abad Pertengahan ke Abad Modern. Dengan
semangat sekuler dan corak yang sangat antroposentris, akal budi atau zaman fajar-budi sangat optimis dengan mengira bahwa
berkat rasio, semua persoalan dapat dipecahkan. Hal ini tentu saja
berimplikasi pada persoalan moral, di mana moralitas modern kemudian
lebih mendasarkan pada pertimbangan
rasional, sebagaimana yang akan dibicarakan kemudian. Abad Pencerahan
merupakan suatu masa yang ditandai dengan berbagai kemajuan dan perubahan yang
revolusioner. Abad ini mempersembahkan
lahirnya ilmu pengetahuan modern, penemuan baru di bidang sains yang
mencapai puncaknya di tangan Isaac Newton (16421727) yang termasyhur dengan
hukum gravitasinya.
Dengan temuannya itu, Newton seakan telah memecahkan rahasia alam semesta dan sekaligus telah meruntuhkan mitos
dan pandangan dunia Barat yang dipercayai sepanjang Abad Pertengahan
tentang alam semesta. Adapun sebelumnya, Galileo Galilei (1564-1642) telah
dipaksa untuk mengingkari penemuannya yang telah menggugurkan mitos yang telah
lama dipercayai bahwa Bumi sebagai pusat alam. semesta.
Sains modern memiliki karakteristik yang sangat mendasar, yaitu pertains,
landasan metafisiknya bersifat naturalistik. Berbagai fenomena yang menjadi
objek penelitian dipandang sebagai produk dari berbagai proses kekuatan alam
belaka, tidak terkait dengan hal-hal yang bersifat spiritual maupun supranatural. Pandangan naturalistik sains modern ini
membedakannya dengan pemikiran Abad Pertengahan yang bersifat spiritualistik. Namun pandangan naturalistik ini
juga merupakan ciri utama pemikiran Abad Klasik. Kedua, terkait
dengan sifatnya yang naturalistik, yaitu sifat empiris. Teori saintifik
senantiasa bertopang pada pengalaman empiris
yang didukung oleh data. sebagaimana ciri yang pertama, ciri kedua ini
membedakannya dengan pemikiran Abad Pertengahan
yang mendasarkan pada kepercayaan (wahyu), namun ciri ini juga dimiliki
oleh pemikiran Abad Klasik. Ketiga, sifat rasionalitas atau mengandalkan
pada kekuatan akal budi, yang hal ini juga menjadi ciri pemikiran Abad Klasik.
Akan tetapi, meskipun sama-sama bersifat rasional, terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara rasionalitas Abad Modern
dan rasionalitas Abad Klasik.
Bagi alam pikiran abad klasik,
akal budi atau rasionalitas merupakan kekuatan
rohani manusia untuk mendapatkan pengetahuan tentang dunia. Kemampuan
akal budi itu tidak terbatas pada pengalaman indriawi, tetapi juga mampu
menangkap kebenaran universal. Kebenaran rasional merupakan kebenaran yang
mutlak, objektif, dan pasti. Hal itu berbeda dengan
sains modern yang secara terang-terangan menolak kemungkinan
diperolehnya kebenaran yang objektif dan pasti. Lagi pula, kebenaran rasional
ditempatkan di bawah kebenaran empiris.
Kebenaran relatif dari suatu hipotesis
keilmuan yang didasarkan pada kerangka teoretis dan
kerangka berpikir rasional dapat dan biasa digugurkan
oleh temuan data empiris. Demikian pula setiap teori, hukum, atau dalil
keilmuan senantiasa bersifat tentatif (sementara, dapat berubah) dan dapat
dikoreksi oleh temuan-temuan baru. jadi, kebenaran empiris yang ditempatkan di
atas kebenaran rasional itu pun merupakan kebenaran
yang probabilistik dan relativistik. Dengan demikian, sains modern memberikan peranan yang terbatas kepada akal
budi dalam upaya memperoleh pengetahuan tentang dunia.
Sains modern didasarkan pada paradigma yang bersifat naturalistik,
rasional-empiris, dan relativistik. Paradigma
sains modern ini berimplikasi dan
berpengaruh terhadap pemikiran moralitas, sehingga persoalan moral tidak jarang disikapi oleh pemikiran
modern dengan pendekatan naturalistik, rasional empiris, dan
relativistik. Dengan pendekatan naturalistik,
persoalan moral dipandang sebagai persoalan duniawi, terkait dengan
kebutuhan hidup kini dan lain sebagainya.
Dengan pendekatan rasional empiris, persoalan
moral disikapi dengan lebih
mengedepankan pertimbangan rasional, untung-rugi, dengan menunjuk berbagai kenyataan empiris, realitas sosial, dan
lain sebagainya. Konsekuensi dari kedua pendekatan tersebut, maka persoalan
moral pun menjadi bersifat relativistik. Baik dan buruk menjadi sangat
tergantung pada berbagai faktor, seperti tergantung pada konteksnya, situasinya, Tatar belakangnya, pertimbangan yang
digunakan, bahkan tidak mengherankan jika tegantung pada masing-masing
individu. Kelemahan yang paling nyata dari
pemikiran moralitas modern yaitu tidak
adanya kepastian moral, tidak jelasnya standar moral, atau dapat juga
berupa kaburnya nilai-nilai moral.
3. Sifat
Moral dalam Perspektif Objektivistik Versus Relativistik
Pembicaraan
tentang moral seperti yang telah dikemukakan terdapat perbedaan pandangan yang
menyangkut pertanyaan, apakah moral itu sifatnya
objektivistik atau relativistik? Pertanyaan yang hamper objektivistik, baik dan
buruk itu bersifat pasti atau tidak berubah. Suatu perilaku yang dianggap baik akan tetap baik, bukan kadang baik dan kadang tidak baik. Senada dengan pandangan objektivistik,
yaitu pandangan absolut yang
menganggap bahwa baik dan buruk itu bersifat mutlak, sepenuhnya, dan
tanpa syarat.
Menurut pandangan ini perbuatan mencuri itu
sepenuhnya tidak baik, sehingga orang tidak boleh
mengatakan bahwa dalam keadaan terpaksa, mencuri itu bukan perbuatan yang
jelek. Demikian pula halnya dengan pandangan yang universal, prinsip moral itu
berlaku di mana saja dan kapan saja. Prinsip moral itu bebas dari batasan ruang
dan waktu. Sebaliknya, pandangan yang menyatakan bahwa persoalan moralitas itu
sifatnya relatif, baik dan buruknya suatu perilaku itu sifatnya
"tergantung" dalam arti konteknya,
kulturalnya, situasinya, atau bahkan tergantung pada masing-masing
individu.
Dari dimensi ruang, apa yang dianggap baik bagi lingkungan masyarakat
tertentu belum tentu dianggap baik oleh masyarakat yang lain. Dari dimensi
waktu, apa yang dianggap baik pada masa sekarang belum tentu dianggap baik pada
masa-mass yang lalu. Salah satu kelemahan literatur tentang moral atau etika, terutama yang bersumber dari literatur Barat, yaitu
kurang adanya klasifikasi moral, etika pada umumnya tidak membedakan secara
jelas antara kesusilaan dan kesopanan. Dua pandangan yang Baling dipertentangkan itu sesungguhnya dapat
diterima semua, dalam arti ada prinsip
etik atau moral yang bersifat objektivistik-universal dan ada pula
prinsip etik atau moral yang bersifat relativistik-kontekstual.
Prinsip moral yang bersifat
objektivistik-universal yang dimaksudkan yaitu
prinsip moral secara objektif dapat diterima oleh siapa pun, di mana pun, dan
kapan pun jugs. Sebagai contoh, sifat atau sikap kejujuran, kemanusiaan,
kemerdekaan, tanggung jawab, keikhlasan, ketulusan, persaudaraan, dan
keadilan. Adapun prinsip moral yang bersifat relativistikkontekstual sifatnya
"tergantung atau sesuai dengan konteks," misalnya tergantung pada konteks kebudayaan atau kultur,
sehingga bersifat kultural. Demikian seterusnya, sifat
relativistik-kontekstual itu pengertiannya bisa berarti nasional,
komunal, tradisional, situasional, kondisional, multikultural, atau bahkan
individual.
Sebagaimana dikenal dalam kajian
tentang macam-macam norma, dikenal adanya empat macam norma, yaitu norma
keagamaan, norma lebih bersumber pada prinsip etis dan moral yang bersifat
objektivistikuniversal. Adapun norma, kesopanan itu bersumber pada prinsip
etis dan moral yang bersifat relativistik-kontekstual.
Sejalan dengan hal ini, Widjaja (1985)
mengemukakan bahwa persoalan moral dihubungkan dengan etik membicarakan
tentang tata susila dan tata sopan santun. Tata
susila mendorong untuk berbuat baik, karena hati kecilnya mengatakan baik, yang
dalam hal ini bersumber dari hati nuraninya, lepas dari hubungan dan pengaruh
orang lain. Tata sopan santun mendorong untuk berbuat baik, terutama bersifat
lahiriah, tidak bersumber dari hati nurani, untuk sekadar menghargai orang lain
dalam pergaulan. Dengan demikian, tata sopan santun lebih terkait dengan konteks
lingkungan sosial, budaya, adat istiadat dalam satu sistuasi sosial.
E. HAKIKAT ILMU PENGETAHUAN DAN KEMANUSIAAN
Menurut Jhon G. Kemeny dalam The Liang Gie (2005) mengatakan, ilmu adalah seluruh pengetahuan yang dihimpun
dengan perantara metode ilmiah (all knowledge collected by means of
the scientific method. Terlepas berbagai makna dari pengertian ilmu sebagai
pengetahuan, aktivitas dan metode itu bila ditinjau lebih mendalam
sesungguhnya tidak bertentangan bahkan sebaliknya, hal ini merupakan kesatuan
logis yang mesti ada secara berurutan. Ilmu
tidak harus diusahakan dengan aktivitas
manusia, aktivitas itu harus dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu mendatangkan
pengetahuan yang sistematis.
Ilmu pengetahuan merupakan warisan bersama
umat manusia, bukan milik pribadi dari orang-orang tertentu. Permulaannya
dimulai dengan
permulaan umat manusia. Ketika budaya intelektual Eropa mencapai kedewasaan yang memadai, yang sebagian besarnya dicapai
melalui prestasi negara-negara selain-Eropa lainnya, ilmu eksperimental secara
khusus telah matang bagi perkembangan baru menyeluruh melalui Renaisans, Abad
Kebangkitan.
Sejatinya ilmu pengetahuan yaitu
mengarahkan kecerdasan menuju kebahagiaan
dunia dan akhirat tanpa mengharapkan keuntungan materi, melakukan
pengkajian tak kenal lelah dan terperinci tentang alam semesta untuk menemukan
kebenaran mutlak yang mendasarinya, dan mengikuti metode yang diperlukan untuk
mencapai tujuan itu, maka ketiadaan hal-hal ini memiliki arti bahwa ilmu
pengetahuan tidak dapat memenuhi harapan kita. Meskipun biasanya dikemukakan
sebagai pertikaian antara Kristen dan ilmu pengetahuan, pertikaian zaman
Renaisans terutama antara ilmuwan dan Gereja. Copernicus, Galileo, dan Bacon (dikemukakan sebagai) anti-agama. Kenyataannya,
dapat kita katakan bahwa ketaatan mereka terhadap agama telah
memunculkan cinta dan pemikiran untuk menemukan kebenaran.
Sebelum
Kristen, Islam ialah pembawa obor pengetahuan ilmiah. Pemikiran agama yang memancar dari kebahagiaan akhirat dan cinta serta semangat yang muncul dari pemikiran itu, yang
disertai rasa kefakiran dan ketidakberdayaan di hadapan Pencipta Mahakekal,
berada di balik kemajuan ilmiah besar selama 500 tahun yang tersaksikan
di dunia Islam hingga akhir abad kedua belas. Gagasan ilmu pengetahuan berdasarkan
wahyu Ilahi, yang mendorong penelitian ilmiah di dunia Islam, dipersembahkan
nyaris sempurna oleh tokoh terkemuka zaman itu, yang tenggelam dalam pikiran
tentang kebahagiaan akhirat, meneliti alam semesta tanpa kenal lelah untuk
mencapai kebahagiaan akhirat. Ketaatan mereka kepada wahyu Ilahi menyebabkan
kecerdasan yang berasal dari wahyu itu memancarkan cahaya yang memunculkan
gagasan baru ilmu pengetahuan di dalam jiwa manusia.
Jika gagasan ilmu pengetahuan yang diterima dan dimanfaatkan oleh masyarakat seolah merupakan bagian dari risalah Ilahi, dan
yang dipelajari dengan semangat ibadah,
tidak pernah terkena serangan Mongol yang menghancurkan serta terpaan
Perang Salib yang tak berbelas kasih dari Eropa, maka dunia hari ini akan lebih
tercerahkan, memiliki kehidupan intelektual
yang lebih kaya, teknologi yang lebih sehat, dan ilmu pengetahuan yang
lebih menjanjikan. Gagasan Islam tentang ilmu pengetahuan menyatu dengan
keinginan mencapai kebahagiaan akhirat, cita-cita
akan manfaat bagi kemanusiaan, dan tanggung jawab dalam rangka meraih ridha
Allah.
Cinta akan kebenaran mengarahkan penelitian
ilmiah sejati. Ini berarti
mendekati alam semesta tanpa pertimbangan keuntungan materi dan balasan duniawi, dan mengamati dan mengenalinya sebagaimana
kenyataan sebenarnya. Sementara mereka yang dilengkapi dengan cinta seperti itu dapat mencapai tujuan akhir dari
penelitian mereka, mereka yang terkena syahwat duniawi, cita-cita
materi, prasangka ideologis, dan taklid buta terhadapnya, serta tidak mampu
mengembangkan rasa cinta akan kebenaran apa pun, akan gagal, atau lebih buruk
lagi, mengalihkan alannya penelitian ilmiah
dan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai senjata mematikan untuk
digunakan melawan kemampuan terbaik umat manusia.
Tiada kegiatan intelektual yang muncul dari
dan diarahkan oleh hasrat duniawi dan kepentingan
pribadi yang dapat benar-benar mendatangkan
hasil bermanfaat bagi kemanusiaan. jika hasrat yang mengotori jiwa serta
perilaku tidak tepat seperti itu digabungkan dengan fanatisme dan
prasangka ideologis, hal ini pasti akan menempatkan rintangan tak teratasi di
jalan menuju kebenaran dan menuju penggunaan hasil kajian ilmiah agar
bermanfaat bagi kemanusiaan. Oleh karena itu, cendekiawan, lembaga pendidikan, dan media massa harus bekerja
untuk mengeluarkan penelitian ilmiah modern dari atmosfer yang tercemar
mematikan akibat cita-cita materialistis dan fanatisme ideologis, dan
mengarahkan ilmuwan menuju nilai-nilai kemanusiaan sejati. Langkah pertama
yaitu membebaskan pikiran dari takhayul dan fanatisme ideologis dan membersihkan jiwa dari keinginan mendapatkan balasan
dan keuntungan duniawi. Ini juga merupakan prasyarat pertama untuk
memastikan kebebasan sejati dalam berpikir dan menghasilkan ilmu pengetahuan
yang baik. Setelah memerangi
"kependetaan" dan gagasan keliru yang dibangun atas nama
agama, dan setelah menyalahkan mereka atas kemunduran, kepicikan, dan
fanatisme, ilmuwan harus bekerja keras agar senantiasa bebas dari menjadi
sasaran tuduhan serupa.
Tidak ada perbedaan antara
penindasan intelektual dan ilmiah yang timbul
dari hasrat kepentingan dan kekuasaan dengan fanatisme ideologis dan pemikiran sempit yang didasarkan pads
gagasan agama yang keliru dan menyimpang serta dipegangnya kendali
kekuasaan oleh kaum agamawan. Nama asli dari agama yang diturunkan Allah
senantiasa ialah Islam, yang berarti
kedamaian, keselamatan, dan ketaatan kepada Allah. Hal ini benar, apakah
itu diajarkan oleh Musa atau Ica, atau disampaikan oleh Muhammad. Islam
mendakwahkan dan menyebarkan sopan santun, hormat
terhadap nilai-nilai kemanusiaan, cinta, toleransi, dan persaudaraan.
Banyak ayat Al-Qur'an mendorong pengkajian alam semesta, yang dipandangnya
sebagai tempat pameran karya-karya Ilahi. Selain itu, Al-Qur'an meminta orang
merenungkan penciptaan dan ciptaan, dan menggunakannya
secara bertanggung jawab, bukan dengan cara jahat dan merusak. Ketika
mempelajarinya dengan pikiran terbuka, kita memahami bahwa Al-Qur'an
menganjurkan mencintai ilmu pengetahuan dan kemanusiaan, keadilan dan
ketertiban. Pada tataran relatif lebih kecil berupa pemanfaatan ilmu pengetahuan dan hasilnya demi meraih kekuasaan dan cita-cita duniawi dengan menindas orang lemah,
sebagian orang telah menggunakan Al-Qur'an untuk membenarkan kebencian
dan permusuhan nurani gelap mereka. Sayangnya, di tangan orang-orang yang
ingin menghabisi Islam, sikap tersebut telah digunakan untuk menggambarkan
Islam sebagai agama kebencian, permusuhan, dan dendam.
Islam secara harfiah berarti perdamaian dan keselamatan. Nabi Muhammad
SAW mengartikan Muslim sebagai seseorang yang dengannya orang lain merasa aman dan selamat akibat perbuatan tangan dan lidahnya
mukmin (orang beriman). Sebagai seorang yang beriman, tentu meyakini dan memberikan jaminan keamanan,
ketertiban, keadilan, cinta, dan
pengetahuan. Melalui cahaya yang dipancarkan Islam, banyak orang telah
membaktikan hidup mereka untuk kebahagiaan orang lain dengan mengorbankan kepentingan pribadi, dan banyak yang lainnya telah membulatkan diri membimbing umat manusia
menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
F. ETIKA DAN MORAL DALAM ILMU PENGETAHUAN
Sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan dalam sebaik-baik ciptaan,
maka manusia memiliki kelebihan yang istimewa, yaitu kemampuannya dalam
menalar, merasa, dan mengindra. Melalui kelebihan ini manusia mampu mengembangkan ilmu pengetahuannya, dan hal
inilah yang secara prinsip menjadi furgan
(pembeda) manusia dengan makhluk lainnya, bahkan pembeda kualitas
antarmanusia itu sendiri. Atas kemampuan yang dimiliki manusia itu,
diharapkan dapat berimplikasi terhadap peningkatan taraf kehidupan manusia.
Kemampuan manusia dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan telah melahirkan temuan-temuan
baru yang belum ada sebelumnya, atas penemuan itu manusia mendapatkan manfaat
secara langsung. Namun selain memberikan
manfaat bagi kehidupan manusia, ditemukannya halhal baru itu telah melahirkan kesadaran akan adanya beragam karya sebagai
olah pikir dan rasa manusia. Pada Abad Kuno, telah banyak karya cipta yang
dihasilkan masyarakat saat itu. Karya cipta yang dihasilkan dianggap sebagai
hal biasa dari eksistensinya, dan tidak ada perlindungan khusus atas mereka.
Namun demikian, mereka dapat mempertahankan idenya sebagai ilmuwan. Bahkan ada
di antara mereka yang mengorbankan nyawanya untuk mempertahankan ide dan
gagasannya yang telah menyatu dengan sejati dirinya.
Dalam sejarah dikenal nama Corpus Juris sebagai orang yang pertama
kali menyadari dan memperakasai etika moral dalam karya ilmu pengetahuan, baik
berupa hak milik dalam bentuk tulisan maupun lukisan di atas kertas. Namun
demikian, pendapatnya belum sampai kepada pembeda antara benda nyata (materielles eigentum) dan benda tidak
nyata (immaterielles eigentum) yang
merupakan produk kreativitas manusia. Istilah immaterielles eigetum ialah yang sekarang disebut dengan “intellectual property righ (IPR). yang
merupakan terjemahan dari kata “geistiges eigentum,: atau hak kekayaan
intelektual ilmu pengetahuan.
Dalam perspektif sejarah hukum, juga dikenal nama Hugo de Groot
(Grotius) orang yang pertama memakai hukum alam atau hukum kodrat yang berasal
dari pikiran hal-hal kenegaraan, dia mengemas teorinya sebagai berikut : Pertama, pada dasarnya manusia mempunyai
sifat mau berbuat baik kepada sesame manusia, Kedua, manusia mempunyai “appetitus
societies” yang dimaknai hasrat
kemasyarakatan. Atas dasar appetitus societaties ini manusia bersedia
mengorbankan jiwa dan raganya untuk
kepentingan orang lain, golongan, dan masyarakat. Ada empat macam hidup dalam
masyarakat menurut teori hukum kodrat :
a.
Abstinentia alieni (hindarkan
diri dri milik orang lain).
b.
Ablagatio implendorum promissorum (penuhilah janji).
c.
Dammi culpa dati reparation (bayarlah
kerugian yang disebabkan kesalahan sendiri).
d.
Poenae inter humanies meratum (berilah
hukum yang setimpal).
Di negara-negara Anglo-Saxon berkembang suatu konsep negara hukum yang
semula dipelopori A.V. Dicey dengan sebutan “Rule of Law,” yang menekankan pada tiga tolok ukur atau unsur utama
dalam teori hukum, yaitu :
1.
Supremasi hukum atau supremacy of low.
2.
Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law.
3.
Konstitusi yang didasarkan pada
hak-hak perorangan atau the constitution
based on individual rights.
Menurut Aristoteles, negara hukum
yaitu negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada
warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup
untuk warga negaranya, dan sebagai dasar daripada keadilan itu perlu diajarkan
rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Dan
bagi Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia yang sebenarnya
melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum
dan keseimbangan.
Berdasarkan teori negara hukum (rechstaas) tersebut, berarti dalam penerapan pelindungan hukum
terhadap hak cipta lagu atau musik harus senantiasa sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Namun pembentukan hukum positif itu haruslah
berangkat dari hak-hak yang dimiliki oleh setiap individu, khususnya atas hak
ekonomi pencipta terhadap karya yang telah diciptakannya.
Sejalan dengan hal tersebut, di dalam konsep walfer state atau lazim disebut sebagai negara sejahtera yang
menjungjung kebebasan individu merupakan gagasan ideal bagaimana suatu negara
melaksanakan tugasnya dalam rangka untuk melayani warga negara menuju tatanah
kehidupan yang harmonis dan sejahtera. Dalam hal ini berangkat dari hak-hak
individu sebagai bagian yang integral dalam suatu negara, maka negara harus
dapat mengakomodasi hal-hal tersebut ke dalam hukum positif dan dapat
diberlakukan secara merata di negara itu. Dalam hal ini hukum harus dilihat
sebagai lembaga yang berfungsi memenuhi kebutuhan social dan dapat dijalankan
pada penerapannya di dalam masyarakat, jadi hukum bukan sekedar “law in a books” melainkan juga “law in action.”
Hukum sebagai landasan etika moral ilmuwan haruslah dijabarkan dan
diimplementasikna dalam realitas kemasyarakatan dan siste kenegaraan. Terlebih ditengah
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sepeti saat ii, semua orang bebas
mengembangkan atau menimati teknologi dengan tanpa memeprhatikan etika moral
keilmuan, dan hanya mengedepankan aspek
atau financial, atau untuk kepentingan pribadi saja.
Jadi, etika moral harus mengikat para pihak, baik ilmuwan, pemakai
atau pengguna, maupun produsen atau pihak dunia industri yang menghasilkan
prouk ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini sangat penting, karena ilmu
pengetahuan dan teknologi harus maslahat bagi kehidupan manusia, bukan justru
untuk kemudaratan dan memusnahkan budaya, peradaban, dan kehidupan manusia.
BAB
13
PERSPEKTIF
ILMU, SENI, DAN AGAMA DALAM KHAZANAH
ILMU
PENGETAHUAN, BUDAYA, DAN PERADABAN
A.
PENDAHULUAN
Ketika kita membicarakan tahap-tahap perkembangan ilmu, tercakup
telaah filsafat yang menyangkut pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Dan segi
ontologis, yaitu tentang apa dan sampai di mana yang hendak dicapai ilmu. Dalam
hal mi menyangkut semua yang mempunyai eksistensi dalam dimensi ruang dan
waktu, dan terjangkau oleh pengalaman indriawi. Dengan demikian, meliputi
fenomena yang dapat diobservasi, dapat diukur, sehingga datanya dapat diolah,
diinterpretasi, diverifikasi, dan ditarik kesimpulan.
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik, maka
diperlukan sarana berupa bahasa, logika, matematika, dan statistika. Penalaran
ilmiah menyadarkan kita kepada proses logika deduktif dan logika induktif.
Matematika mempunyai peranan penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika
mempunyai peran penting dalam berpikir induktif.
Secara umum banyak orang yang mengemukakan pengertian seni sebagai
keindahan. Pengertian seni adalah produk manusia yang mengandung nilai
keindahan bukan pengertian yang keliru, namun tidak sepenuhnya benar. Jika
menelusuri arti seni melalui sejarahnya, baik di Barat, sejak Yunani Kuno,
hingga ke Indonesia, nilai keindahan menjadi satu kriteria yang utama. Sebelum
memasuki tentang pengertian seni, ada baiknya dibicarakan lebih dahulu apakah
keindahan itu.
Dalam karya seni dapat cligali berbagai persoalan objektif.
Contohnya persoalan tentang susunan seni, anatomi bentuk, atau pertumbuhan
gaya. Penelaahan dengan metode perbandingan dan analisis teoretis serta
penyatupaduan secara kritis menghasilkan sekelompok pengetahua ilmiah yang
dianggap tidak tertampung oleh nama estetika sebagai filsafat tentang
keindahan.
Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat
Indonesia, agama telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah agama
sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain, budaya lokal
yang ada di masyarakat tidak otomatis hilang dengan kehadiran agama di
Indonesia. Budaya lokal mi sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna.
Perkembangan mi kemudian melahirkan “akulturasi budaya,” antara budaya lokal
dan agama.
Peradaban sebenarnya muncul setelah adanya masa kolonialisasi di
mana ada semangat untuk menyebarkan dan menanamkan peradaban bangsa kolonial
dalam masyarakat jajahannya, sehingga pada masa itu antara masyarakat yang
“beradab” dan “kurang beradab” dapat digeneralisasikan sebagai corak kehidupan
Barat versus corak kehidupan bukan Barat. Unsur lain yang terkandung dalam
makna peradaban yaitu kemajuan sistem kenegaraan yang jelas dapat dikaitkan dengan
pengertian civitas. Implikasinya yaitu bahwa penyebaran sistem politik Barat
dapat merupakan sarana yang memungkinkan penyebaran unsur-unsur peradaban
lainnya. Corak kehidupan kota atau kehidupan yang beradab pada hakikatnya
berarti tata pergaulan sosial yang sopan dan halus, yang seakan-akan mengikis
dan melicinkan segi-segi kasar.
Pengetahuan yang ada belum menjamin adanya kemampuan untuk dapat
digunakan bagi tujuan praktis, karena antara teori dan praktik terdapat sisi
antara (interface) yang harus diteliti secara tuntas dan pengetahuan yang
diperoleh lebih lanjut dan peneiftian yang dilakukan, konsekuensi dalam
penerapan praktis dapat dikendalikan secara ketat. Dengan demikian, akan
didapat pemahaman tentang prinsip dan konsep dasar yang melandasi pandangan
teoretis tentang kebudayaan.
B. HAKIKAT
ILMU
Menurut Beni Ahmad Saebeni (2009), istilah ilmu dalam bahasa Arab
dikenal dengan “iluiz” yang berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam
kaitan penyerapan kata, ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu
pengetahuan, dan ilmu sosial dapat berarti mengetahui masalah sosial, dan lain
sebagainya. Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan khusus di
mana seseorang mengetahui apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan
ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu. Sifat ilmiah sebagai persyaratan
ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu alam yang telah ada lebih dahulu.
Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dan satu golongan
masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dan luar maupun bentuknya dan dalam.
Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus’diuji
keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari yaitu ke benaran, yakni
persesuaian antara tahu dan objek, dan karenanya disebut kebenaran objektif,
bukan subjektifberdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
Ilmu bersifat metodis yaitu upaya yang dilakukan untuk
meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran.
Konsekuensi dan upaya ini yaitu harus terdapat cara tertentu untuk menjamin
kepastian kebenaran. Metodis berasal dan kata Yunani “metodos,” yang berarti
cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan
umumnya merujuk pada metode ilmiah. Ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan
yang teratur dan logis, sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara
utuh, menyeluruh, terpadu, mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut
objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab
akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
Endang Saefuddin Ashori (2009) memahami, kebenaran yang hendak
dicapai dalam ilmu yaitu kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat
tertentu). Contoh, semua segitiga bersudut 180°. Karenanya universal merupakan
syarat ilmu yang keempat. Belakangan iln:u social menyadari kadar keumuman
(universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu alam, mengingat objeknya
yaitu tindakan manusia. Karena itu, untuk mencapai tingkat universalitas dalam
ilmu sosial harus tersedia konteks dan tertentu pula.
Dari definisi tersebut, Sudarsono menarik beberapa sifat ilmu yang
menurutnya merupakan kumpulan pengetahuan mengenai suatu bidang tertentu yang
terdiri atas:
1. Berdiri secara satu kesatuan.
2. Tersusun secara sisternatis.
3. Ada dasar pernbenarannya (ada penjelasan yang dapat
dipertanggungjawabkan disertai sebab-sebabnya yang meliputi fakta dan data).
4. Mendapat legalitas bahwa ilmu itu hasil pengkajian atau riset.
5. Communicable, ilmu dapat ditransfer kepada orang lain sehingga dapat
dimengerti dan dipahami maknanya.
6. Universal, ilmu tidak terbatas ruang dan waktu sehingga dapat
berlaku di mana saja dan kapan saja di seluruh alam semesta ini.
7. Berkembang, ilmu sebaiknya mampu mendorong pengetahuan dan pepemuan
baru. Sehingga, manusia mampu menciptakan pemikiran yang Iebih berkembang dan
sebelumnya.
Fuad Ikhsan (2010) memberikan pengertian ilmu adalah suatu cara
berpikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Ilmu
merupakan produk dan proses berpikir menurut langkah-langkah tertentu yang
secara umum dapat disebut sebagai berpikir ilmiah. Pertama, logis, yaitu
pikiran kita harus konsisten dengan pengetahuan ilmiah yang telah ada. Keduci,
harus didukung fakta empiris, yaitu telah teruji kebenarannya yang kemudian
memperkaya khazanah pengetahuan ilmiah yang disusun secara sistematik dan
kumulatif.
Kebenaran ilmiah tidak bersifat mutlak, tetapi terbuka bagi
koreksi dan penyempurnaan, mungkin saja pernyataan sekarang logis kemudian
bertentangan dengan pengetahuan ilmiah baru. Dan hakikat berpikir iimiah itu,
dapat disimpulkan beberapa karakteristik dan ilmu, yaitu :
1. Memercayai rasio sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar.
2. Alur jalan pikiran yang logis dan konsisten dengan pengetahuan yang
telah ada.
3. Pengujian empiris sebagai kriteria kebenaran objektif.
4. Mekanisme yang terbuka terhadap koreksi.
Selanjutnya Sudarsono menegaskan (2008), secara umum ilmu
merupakan pengetahuan, di antara para filsuf dan berbagai aliran terdapat
pemahaman umum bahwa ilmu adalah suatu kumpulan yang sistematis dan pengetahuan
atau pengetahuan yang dihimpun dengan perantara metode ilmiah. Pengetahuan
hanyalah produk/hasil dan suatu kegiatan yang dilakukan manusia, Pengertian
ilmu sebagai pengetahuan, aktivitas, atau metode bila ditinjau Iebih dalam
sesungguhnya tidak saling bertentangan, tetapi merupakan kesatuan logis yang
mesti ada secara berurutan.
Ilmu harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu
harus dilaksanakan dengan metode tertentu dan akhirnya aktivitas akan
mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Kesatuan dan interaksi di antara
aktivitas, metode, dan pengetahuan yang boleh dikatakan menyusun din menjadi
ilmu.
Dengan demikian, pengertian ilmu selengkapnya berarti aktivitas
penelitian, metode ilmiah, dan pengetahuan sistematis. Ketiga pengertian ilmu
itu saling bertautan logis dan berpangkal pada satu kenyataan yang sama bahwa
ilmu hanya terdapat dalam masyarakat manusia, dimulai dan segi pada manusia
yang menjadi pelaku fenomena yang disebut ilmu. Hanyalah manusia (dalam hal mi
ilmuwan) yang memiliki kemampuan rasional, melakukan aktivitas kognitif dan
mendambakan berbagai tujuan yang berkaitan dengan ilmu.
Menurut The Liang Gie (2007), ilmu adalah rangkaian aktivitas
manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur
dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematik
mengenai kealaman, kemasyarakatan, atau keorangan untuk tujuan mencapai
kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, atau melakukan
penerapan. Dengan demikian, ilmu dapat dipandang sebagai keseluruhan
pengetahuan kita dewasa mi atau sebagai suatu aktivitas penelitian, atau
sebagai metode untuk memperoleh pengetahuan yang tidak dapat lagi dipandang
sebagai suatu kumpulan pengetahuan atau suatu metode khusus untuk memperoleh
pengetahuan, ilmu harus dilihat sebagai suatu aktivitas kemasyarakatan pula.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ilmu adalah seperangkat atau
kumpulan pengetahuan yang teratur yang memiliki prosedur yang sistematis dan
memiliki logika atau rasionalitas yang didukung oleh fakta empiris secara
objektif dan teruji kebenarannya serta bersifat terbuka terhadap kritik. Ilmu
memiliki suatu norma sebagai nilai perekat atasnya, hal ini dimaksudkan agar ilmu
tidak disalah gunakan dalam penggunaannya bagi pembangunan budaya dan peradaban
manusia.
C. HAKIKAT SENI DAN
ESTETIKA
Amsal Bakhtiar (2007) seni adalah suatu produk budaya dan suatu
peradaban manusia, suatu wajah dan suatu kebudayaan yang diciptakan oleh suatu
bangsa atau sekelompok masyarakat. Secara teoretis, seni atau kesenian dapat
didefinisikan sebagai manifestasi budaya (priksa atau pikiran dan rasa; karsa
atau kemauan; karya atau hasil dan perbuatan) manusia yang memenuhi
syarat-syarat estetik. Hal mi disebabkan oleh karena ditopang oleh serangkaian
nilai yang ditinggikan, seperti agama atau norma-norma lain.
Koentjaraningrat yang dikutip Andi Hakim Nasution (2007)
menjelaskan, bahwa dalam budaya terdapat tujuh unsur yang dapat ditemukan pada
semua bangsa di dunia mi (dalam kehidupan manusia), yaitu:
1. Bahasa.
2. Sistem pengetahuan.
3. Oranisasi sosial.
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi.
5. Sistem mata pencaharian hidup.
6. Sistem religi.
7. Kesenian.
Lebih jauh Koentjaraningrat menjelaskan bahwa suatu unsur
universal kesenian dapat berwujud gagasan, ciptaan, pikiran, cerita, dan
syairsyair yang indah. Namun, kesenian juga dapat berwujud tindakan interaksi
berpola antara seniman pencipta, seniman penyelenggara, sponsor kesenian, pendengar,
penonton, dan konsumen basil kesenian; tetapi kecuali itu semua kesenian juga
berupa benda-benda indah, candi, kain tenun yang indah, benda-benda kerajinan
dan sebagainya.
Berkaitan dengan penjelasan Koentjaraningrat di atas, oleh
Surajiyo (2008) memaparkan bahwa secara praktis, seni sebagai suatu kebudayaan
yang diciptakan manusia dapat dibedakan atas:
1. Seni sastra, seni dengan alat bahasa.
2. Seni musik, seni dengan alat bunyi atau suara.
3. Seni tari, seni dengan alat gerakan.
4. Seni rupa, seni dengan alat garis, bentuk, warna, dan lain
sebagainya.
5. Seni drama atau teater, seni dengan alat kombinasi sastra, musik,
tan atau gerak, dan rupa.
Seni pada mulanya yaitu proses dan manusia, dan oleh karena itu
merupakan sinonirn dan ilmu. Dewasa mi, seni bisa dilihat dalam intisari
ekspresi dan kreativitas manusia. Seni sangat sulit untuk dijelaskan dan juga
sulit dinilai, bahwa masing-masing individu artis memilih sendiri peraturan dan
parameter yang menuntunnya atau kerjanya, masih bisa dikatakan bahwa seni yaitu
proses dan produk dan rnemilih medium, dan suatu set peraturan untuk penggunaan
medium itu, dan suatu set nilai yang menentukan apa yang pantas dikirimkan
dengan ekspresi lewat medium itu untuk menyampaikan baik kepercayaan, gagasan, sensasi,
maupun perasaan dengan cara seefektif mungkin untuk medium itu.
Menurut The Liang Gie (2007), seni adalah suatu hal yang merujuk
kepada keindahan (estetika). Keindahan atau indah merupakan suatu kata yang
sepadan dengan kata beauty dalam bahasa Inggris (dalam bahasaPerancis “beau”,
bahasa Italia dan Spanyol “bello”). Dilihat dan sudut pandang kebahasaan, kata
indah (beauty atau beau atau hello) yaitu kata yang merupakan turunan dan kata
bellwn, yang akar katanya bonwn, dan memiliki arti kebaikan. Kata bellum yaitu
dua kata dalam hahasa Latin. Berdasarkan asal kata mi, dapat kita simpulkan
bahwa keindahan sangat berkaitan dengan nilai-nilai yang dikenal sebagai
sesuatu yang baik atau dalam Islam dikenal dengan istilah ‘ma’ruf’. Kata ma’ruf
yaitu kata yang memiliki arti dikenal, terkemuka, makbul, yang diakui. Dalam
bahasa Inggris, ina’rufdiartikan sebagai kindness atau kebaikan. Berdasarkan
teori umum yang berkembang tentang keindahan, dapat dikategorikan kepada tiga
besar, yakni: Pertaina, hal yang indah dan baik, keindahan sebagai suatu jenis
keserasian atau ketertiban. Kedua, keindahan dan kebenaran, hal yang indah
sebagai sutau sasaran perenungan. Ketiga, unsur-unsur keindahan, kesatuan,
perimbangan, kejelasan.
Selanjutnya, Hamdani (2011) memberikan definisi tentang keindahan
mi dengan merujuk kepada pandangan para ahli. Pertama, Mortimer Adler yang
mengartikan keindahan (seni) yaitu sifat dan suatu benda yang memberi kita
kesenangan yang tidak berkepentingan yang bisa kita memperolehnya semata-mata
dan memikirkan atau melihat benda individual itu sebagaimana adanya. Kedua,
Thomas Aquinas merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang menyenangkan ketika
dilihat. Ketiga, Aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang selain
baik juga menyenangkan. Keem pat, Charles J. Bushnell memberikan definisi
keindahan sebagai kualitas yang mendatangkan penghargaan yang mendalam tentang
berbagai nilai atau ideal yang membangkitkan semangat. Kelinia, Michelangelo,
seniman besar berpendapat sederhana, bahwa keindahan yaitu penyingkiran hal-hal
yang berlebihan.
Pandangan lain Monroe Beardsley, sebagaimana dikutip The Liang Gie
(2007), dia seorang ahli estetika modern di abad ke-20, yang memaparkan bahwa
terdapat tiga unsur yang menjadi sifat dasar membuat sesuatu yang baik dan
indah dalam seni. Pertaina, kesatuan (unity), dimana suatu karya estetika
(seni) tersusun secara baik dalam hal isi, keteraturan, dan keserasian dan
bentuk, warna, corak, komposisi, dan Sebagainya. Kedua, kerumitan (complexity),
dimana menegaskan bahwa suatu karya seni bukanlah karya yang sederhana, karena
pasti di dalamnya terdapat suatu pertentangan dan masing-masing unsur dengan
berbagai perbedaan yang sangat halus. Ketiga, kesungguhan (intensity), yang
berarti bahwa suatu karya seni merupakan sesüatu yang memiliki kualitas
tertenti yang menonjol dan bukan sebagai karya yang kosong. Di balik suatu
karya seni, terdapat bongkaran makna yang sangat dalam dan luas.
Berbicara seni tentu kita tidak dapat melepaskan keberadaannya
dengan estetika. Menurut Supranto (2011), estetika mempelajari tentang hakikat
keindahan di dalam seni. Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji
tentang hakikat indah dan buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk
suatu persepsi yang baik dan suatu pengetahuan ilmiah agar ia dapat dengan
mudah dipahami oleh khalayak luas. Estetika juga berkaitan dengan kualitas dan
pembentukan mode- mode yang estetis dan suatu pengalaman ilmiah itu. Dalam
banyak hal, satu atau lebih sifat dasar sudah dengan sendirinya terkandung di
dalam suatu pengetahuan apabila pengetahuan itu sudah lengkap mengandung sifat
dasar pembenaran, sistemik, dan intersubjektif. Ada tiga sifat estetika (seni),
universal, komunikatif, dan progresif.
Estetika (seni) memiliki sifat yang universal, berarti berlaku
umum. Salah satu tuntutan yang harus dipenuhi oleh ilmu atau pengetahuan
ilmiah, yaitu ilmu itu harus berlaku umum, lintas ruang dan waktu, dengan
beberapa catatan misalnya kondisi yang relevan di tempat dan waktu yang
dibandingkan itu sama. Sifat universal mempunyai keterbatasan. Keterbatasan
sifat mi lebih nyata lagi pada ilmu sosial, misalnya sejarah, antoropologi
budaya, ilmu hukum dan ilmu pendidikan. Tampaknya keterbatasan mi tidak dapat
dilepaskan dan hakikat ilmu sosial sebagai ilmu mengenai manusia. Jadi, harus
lebih banyak lagi catatan yang dipertimbangkan dalam menerapkan sifat universal
ilmu sosial, misalnya yang berkaitan dengan tempat dan waktu kejadian.
Keterbatasan sifat universal berkaitan erat dengan karakter
universalnya. Ada perbedaan antara karakter universal ilmu sosial dan karakter
universal ilmu eksakta, misalnya anatar ilmu sejarah dengan mekanika. Fenomena
dalam ilmu sejarah sangat terkait dengan ruang dan waktu, sedangkan fenomena
mekanika boleh dikatakan terbebas dari ruang dan waktu. Karena itu, karakter
universal ilmu sejarah berbeda dengan uni— versal mekanika. Orang dengan mudah
akan menilai, seakan-akan tidak ada universalitas dalarn ilmu sejarah, jelas
hal mi merupakan tindakan yang keliru.
Estetika bersifat komunikatif, artinya dia dapat dikomunikasikan,
maksudnya bahasa dan estetika tidak merupakan kendala dalam pengetahuan ilmiah,
dia bukan saja untuk dimengerti melainkan juga dapat dipahami makñanya dengan
baik. Dengan demikian, ketika seseorang memberikan ilmu pengetahuan yang akan
didistribusikan kepada orang lain harus dimengerti dengan baik dan dan dipahami
secara benar. Terpenuhinya dengan baik sifat intersubjektif suatu pengetahuan
sangat membantu dalam mengomunikasikannya dengan orang lain secara estetis.
Aspek progresif dapat diartikan adanya kemajuan, perkembangan,
atau peningkatan. Sifat mi merupakan salah satu tuntutan modern Untuk ilmu.
Sifat mi sangat didorong oleh ciri-ciri penalaran filosofis, yaitu skeptis,
menyeluruh, mendasar, kritis, dan analitis, yang menyatu dalam semua imajinasi
dan penalaran ilmiah. Adanya ciri-ciri mi yang mula-mula didominasi oleh sikap
skeptis terhadap segala sesuatu yang dianggap berat, akan mendorong seseorang
untuk terus-menerus mempertanyakan semua pengetahuan, kemudian ciri-ciri yang
lain akan membawanya ke imajinasi dan penalaran filosofis ilmiah, yang kemudian
berlanjut ke pengembangan pengetahuan, dan berujung pada penemuan pengetahuan
baru. Dengan demikian, maka berlangsunglah progresivitas ilmu pengetahuan.
Dari pembahasan ini dapat dipahami bahwa seni yaitu sesuatu yang
abstrak yang memiliki nilai estetika (seni) atau keindahan, baik yang datang
dan dalam din manusia sebagai produk pemikiran secara logis, rasional, maupun
empiris serta kreasi hati manusia yang bersih dan baik ‘rna’ruf” sehingga
keindahan ilmu pengetahuan dapat dinikmati secara serasi, selaras, dan seimbang
bagi kemaslahatan hidup manusia.
D. HAKIKAT AGAMA
Amsal Bakhtiar (2007) memahami kata agama berasal dan bahasa
Sanskerta dan kata “a” berarti tidak dan “gama” berarti kacau. Kedua kata mi
jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi, fungsi agama dalam
pengertian mi memelihara integritas dan seseorang atau sekelompok orang agar
hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena
itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas
dan seseorang atau sekelom. pok orang agar hubungannya dengan realitas
tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya tidak kacau. Ketidakkacauan mi disebabkan
oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas, nilai-nilai kehidupan yang
perlu dipegang, dimaknai, dan diberlakukan.
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa
Inggris) yang berasal dan kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata
religare yang berarti mengikat. Dalam pengertian religlo termuat peraturan
tentang kebaktian bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas
tertinggi (vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal.
Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas
tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus memesonakan. Dalam
pertemuan itu manusia tidak berdiam din, ia harus atau terdesak secara batiniah
untuk merespons. Dalam kaitan mi ada juga yang mengartikan religare dalam arti
melihat kembali ke belakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan
Tuhan yang harus diresponsnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.
Orang umumnya meyakini bahwa milenium ketiga mi ditandai dengan
bangkitnya kembali kehidupan religius. Maka abad mi sering disebut sebagai abad
post-sekuler, abad di mana sekularisme ateistik dianggap tak lagi meyakinkan
sebagai kerangka pandang.
Ada berbagai unsur yang telah mengangkat religiusitas kembali
menjadi primadona, dan umumnya bukanlah karena daya tank agama itu sendiri.
Religiusitas bangkit sebagian karena ideologi besar ambruk, sebagian lagi
karena dunia sains sendiri akhirnya sampai pada fenomena yang berkaitan dengan
eksistensi suatu inteligensi kosmik transenden, sebagian lain karena kehidupan
modern sekuler akhirnya mengakibatkan gejala umum kekosongan batin mendalam,
dan sebagainya. Bersama dengan naiknya religiusitas, justru agama tampil
sebagai penuh persoalan. ini memang ironis.
Agama bagaimanapun merupakan produk dan perkembangan kesadaran
bangsa manusia. Mengikuti Eliade dan Huston Smith, yang meskipun terasa
simplistik ada gunanya untuk melihat peta besar, babakan awal kehidupan agama
bisa disebut sebagai periode “arkliaik”, yaitu ketika agama berfokus pada realitas
Ilahi yang metafisik dan mengatur perilaku umatnya dalam ritual dan mitos yang
ketat. Babakan kedua yaitu periode “axial,” yang bersama dengan munculnya para
nabi macam di Israel, Persia, India, China, hingga Arab fokus bergeser ke arah
nilai etis.
Dedi Supriadi dan Juhaya S. Praja (2010) mengungkapkan, kesalehan
vertikal dalam ritual dan pengakuan doktrin tidak cukup, religiusitas menuntut
komitmen nilai dalam hubungan manusiawi horizontal. Babakarfketiga yaitu
periode “modern,” ketika bersama dengan penyebaran ajaran, agama mengalami
pembakuan doktrin dan pembentukan jaringan institusi. Pada tahap mi agama
banyak berfokus pada perkara struktur. Struktur ajaran dalam rupa pernyataan
(proposisi) verbal maupun Wacana menjadi penting, tapi juga struktur organisatoris
mengalami perluasan dan perumitan. Agama menjadi “logosentris” alias sangat
nyinyir dalam soal kalimat atau konsep, dan akrab dengan struktur kekuasaan.
Etos yang menghidupinya yaitu etos “tanggung jawab” sebagai
“pemegang kebenaran paling murni,” tanggung jawab atas keselamatan bangsa
manusia. Tapi persis karakter yang terakhir itulah yang juga menyebabkan agama
saat mi menyandang banyak persoalan, yang tersingkap kini justru ketika situasi
zarnan menyeret agama ikut menjadi salah satu primadona juga.
Yaitu idealisme tentang “tanggung jawab” itu yang juga telah
sempat melahirkan kolonialisme serta berbagai tendensi ke arah penindasan dan
kekerasan (perang, perbudakan, terorisme, dan sebagainya). Ketika proposisi
tertentu “disucikan” sebagai doktrin, agama otomatis mendefinisikan tentang apa
yang secara moral benar dan apa yang salah, apa yang dianggapnya “kodrat” apa
yang bertentangan dengan kodrat. mi dengan mudah membawa konsekuensi bahwa
segala ajaran lain yang bertentangan dengannya akan dicap sebagai tidak sesuai
dengan “kodrat” kemanusiaan yang dikehendaki Tuhan, maka umat pengikutnya pun
bisa dianggap sebagai setan, ancaman berbahaya terhadap kemurnian, dan akhirnya
perlu ditaklukkan, dibasmi, atau dianggap saja warga kelas dua. Semua itu justru
karena rasa “tanggung jawab” itu.
Berbagai peperangan dan kekerasan religius selama mi merupakan
manifestasi paling grafis dan tendensi tersebut. Semakin bersikukuh
mencanangkan “kernurnian” kebenaran dan tanggung jawab, semakin besar tendensi
agama kearah ke kerasan. Dan, konsekuensinya justru semakin tak meyakinkanlah
konsep mereka tentang Tuhan bagi inteligensi zaman.
Namun yang lebih mengaburkan idealisme “tanggung jawab,” yaitu
aliansi antara yang suci dan kekuasaan. Dalam masyarakat pramodern dahulu
kekuasaan sekuler tergantung pada penyuciannya (sancitification). Dengan
konsekuensi, kekuasaan sekuler merupakan semacam sarana bagi yang suci. Dalam
masyarakat modern sebaliknya, yang suci sering kali tergantung pada kekuasaan
sekuler. Konsekuensinya, yang suci menjadi sarana bagi kekuasaan sekuler,
terutama bagi kekuasaan politik’ataupufl bisnis. Pada kedua kemungkinan itu,
tendensi korup dan kesewenangannya sama saja. Sisi tragis dan itu yaitu bahwa
korbannya tak lain kewibawaan dan kehormatan agama itu sendiri.
Semakin agresif dan kuat persekongkolan antara kekuasaan dan
agama, sebenarnya semakin kehormatan agama-agama itu sendiri terancam merosot
dan rusak. Sayang mi tak mudah disadari. Benar bahwa aliansi dengan kekuasaan
sekuler itu telah memungkinkan agama membangun peradaban manusia yang dahsyat
dan mengagumkan.
Namun aliansi dan tendensi yang sama jugalah yang kini menjadikan
agama bertendensi patologis dan menjadikannya potensi paling destruktif yang
mampu menghancurkan peradaban manusia, lebih dan senjata pemusnah massal apa
pun. Semua fenomena itulah yang mengakibatkan kini muncul tendensi baru, yaitu
di satu pihak religiusitas memang bangkit, namun pada saat yang sama berkembang
pula justru kecenderungan sikap sangat kritis-berjarak terhadap agama sebagai
doktrin, sistem ritual maupun institusi; semacam tendensi post-dogmatis yang
lebih berfokus pada pengalaman eksistensial dan transendental, “religion
without religion”, kata John D. Caputo. Tentu mi sekaligus beniringan dengan
kutub lain yang persis kebalikannya, yaitu tendensi ke arah fundamentalisme
yang dengan membabi buta memeluk sistem doktrin, ritual, maupun institusi,
sering kali karena panik dan tidak mampu menghadapi kemelut dunia yang sedang
berkecamuk dalam aneka perubahan yang memang membingungkan. Makin terasa kacau
dunia mi, makin kuatlah tendensi ke arah fundamentalisme, makin kerdil martabat
agama. Zaman mi memang ditandai dengan demikian banyak paradoks.
Agama-agama besar, bila hendak dianggap masih berarti bagi
peradaban, perlu menghadapi berbagai persoalan multidimensi itu. Diperlukan
semacam redefinisi, pemahaman din baru dipahami sebagai apa sebenarnya agama
itu. Jika tidak isu kebangkitan agama hanya akan merupakan ilusi egosentris
yang kosong dan naif.
E. HAKIKAT
BUDAYA
Ayi Sofyan (2010) memahami tentangbudaya atau kebudayaan, berasal
dan bahasa Sanskerta yaitu buddliayah, yang merupakan bentuk jarnak dan buddhi
(budi atau akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal
manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dan
kata Latifl colere, yaitu mengolah atau menerjakan. Bisa diartikan juga sebagai
mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai
“kultur” dalam bahasa Indonesia. Budaya dalam pengertian yang luas yaitu
pancaran daripada budi dan daya. Seluruh apa yang dipikir, dirasa, dan direnung
diamalkan dalam bentuk daya menghasilkan kehidupan. Budaya adalah cara hidup
suatu bangsa atau umat. Budaya tidak lagi dilihat sebagai pancaran ilmu dan pemikiran
yang tinggi dan murni dan suatu bangsa untuk mengatur kehidupan berasaskan
peradaban.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J.
Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan, bahwa segala sesuatu yang
terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu yaitu cultural-determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai Sesuatu yang turun-temurun dan satu
generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai
sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur sosial,
religius, dan lainlain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik
yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Selanjutnya Ayi Sofyan mengemukakan pandangan Edward Burnett
Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Adapun
menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan merupakan sarana
hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Koentjaraningrat dalam Nasution (2007) memahami budaya adalah
keseluruhan sistem, gagasan, tindakan, dan basil kerja manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan be-. lajar. Jadi,
budaya diperoleh rnelalui belajar. Tindakan yang dipelajari antara lain cara
makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang, berrelasi dalarn
masyarakat merupakan budaya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal
teknis, tapi dalam gagasan yang terdapat dalam pikiran yang kemudian terwujud
dalam seni, tatanan masyarakat, etos kerja, dan pandangan hidup. Yojachem Wach
berkata tentang pengaruh agama terhadap budaya manusia yang imateriel bahwa
mitologis hubungan kolektif tergantung pada pemikiranterhadap Tuhan. Interaksi
sosial dan keagamaan berpola kepacla bagaimana mereka memikirkan Tuhan,
rnenghayati dan membayangkan Tuhan.
Dalam konteks kebudayaan nasional Indonesia Koentioroningrat
mengatakan, dia merupakan hasil karya putra Indonesia dan suku bangsa mana pun
asalnya, yang penting khas dan bermutu sehingga sebagian besar orang Indonesia
bisa mengidentifikasikan din dan merasa bangga dengan karyanya. Kebudayaan
Indonesia yaitu satu kondisi majemuk karefla ia bermodalkan berbagai
kebudayaan, yang berkembang menu- rut tuntutan sejarahnya sendiri-sendiri.
Pengalaman serta kemampuan daerah ito memberikan jawaban terhadap masing-masing
tantangan yang memberi bentuk kesenian, yang merupakan bagian dan kebudayaan.
Apaapa saja yang menggambarkan kebudayaan, misalnya ciri khas:
1. Rumab adat daerah yang berbeda satu dengan daerah lainnya,
Sebagai contoh ciri khas. rurnah adat di Jawa menggunakan joglo, Sedangkan
rumah adat di Sumatera dan rumah adat Hooi berbentuk panggung.
2. Alat musik di setiap daerah pun berbeda dengan alat musik di
daerah lainnya. Jika dilihat dan perbedaan jenis bentuk serta motif ragam hiasnya,
beberapa alat musik sudah dikenal di berbagai wilayah, pengetahuan kita
bertambah setelah mengetahui alat musik seperti grantang, tifa, dan sampai seni
tan, seperti tan saman dan Aceh dan tan merak dan Jawa Barat.
3. Kriya ragam hias dengan motif-motif tradisional, dan batik yang
sangat beragam dan daerah tertentu, dibuat di atas media kain dan kayu.
4. Properti kesenian Indonesia merniliki beragam bentuk selain seni
musik, seni tan, seni teater, kesenian wayang golek dan topeng merupakan ragam
kesenian yang kita miliki. Wayang golek merupakan salah satu bentuk seni
pertunjukan teater yang menggunakan media wayang, sedangkan topeng merupakan
bentuk seni pertunjukan tan yang menggunakan topeng untuk pendukung.
5. Pakaian daerah. Setiap provinsi memiliki kesenian, pakaian, dan
benda seni yang berbeda antara satu daerah dan daerah lainnya.
6. Benda seni. Karya seni yang tidak dapat dihitung ragamnya
merupakan identitas dan kebanggaan bangsa Indonesia. Benda seni atau souvenir
yang terbuat dan perak yang berasal dan Kota Gede di Yogyakarta merupakan salah
satu karya seni bangsa yang menjadi ciri khas daerah Yogyakarta, karya seni
dapat menjadi sumber mata pencaharian dan objek wisata. Kesenian khas yang
mempunyai nilainilai filosofi, misalnya kesenian Ondel-ondel dianggap sebagai
boneka raksasa yang mempunyai nilai filosofi sebagai pelindung untuk menolak
bala, nilai filosofi dan kesenian Reog Ponorogo mempunyai nilai kepahiawanan,
yakni rombongan tentara kerajaan Bantarangin (Ponorogo) yang akan melamar Putri
Kediri dapat diartikan Ponorogo menjadi pahiawan dan serangan ancaman musuh,
selain hal-hal itu, adat istiadat, agama, mata pencaharian, sistem kekerabatan
dan sistem kemasyarakatan, makanan khas, juga merupakan bagian dan kebudayaan.
7. Adat istiadat. Setiap suku mempunyai adat istiadat
masing-masing, seperti suku Toraja memiliki kekhasan dan keunikan dalam tradisi
upacara pemakaman yang biasa disebut Rambu Tuka. Di Bali yaitu adat istiadat
Ngaben. Ngaben adalah upacara pembakaran mayat, khususnya oleh mereka yang
beragama Hindu, di mana Hindu yaitu agama mayoritas di Pulau Seribu Pura i.
Suku Dayak di Kalimantan mengenal tradisi penandaan tubuh melalui tindik di
daun telinga. Tak sen3barangan orang bisa menindik dir hanya pemimpin suku atau
panglima perang yang mengenakan tindik di kuping, sedangkan kaum wanita Dayak
menggunakan anting-anting pembeat untuk memperbesar daun telinga, menurut
kepercayaan mereka, semakin besar pelebaran lubang daun telinga semakin cantik,
dan semakin tinggi status sosialnya di masyarakat.
Selanjutnya The Liang Gie mengatakan kebudayaan dibagi ke dalam
tiga sistem: Pert nma, sistem budaya yang lazim disebut adat istiadat. Keduo,
sisten3 sosial di mana merupakan suatu rangkaian tindakan yang berpola dan
manusia. Ketiga, sistem teknologi sebagai modal peralatan manusia untuk
menyambung keterbatasan jasmaniahnya. Berdasarkan konteks budaya, ragarn
kesenian terjadi disebabkan adanya sejarah dan zanan ke zarnan. Jenis kesenian
tertentu mempunyai kelompok pendukung yang memiliki fungsi berbeda. Aclanya
perubahan fungsi dapat menimbulkan perubahan yang hasil seninya disebabkan oleh
dinamjka masyarakat, kreativitas, dan pola tingkah laku dalam konteks
kemasyarakatan.
Lebih tegas dikatakan Endang Saefuddin Ashori (2009), bahwa wahyu
membentuk suatu struktur psikologis dalam benak manusia yang membentuk
pandangan hidupnya dalam bentuk budaya, yang menjadi sarana’individu atau
kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga wahyu bukan
saja menghasilkan budaya imateriel, melainkan juga dalam bentuk seni suara,
ukiran, bangunan.
Soegiri D.S. (2008) mengemukakan pandangan Melville J. Herskovits
yang menyebutkan kebudayaan memiliki empat unsur pokok, yaitu:
Alat-alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga, dan kekuasaan politik.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits
dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala Sesuatu yang terdapat dalam
masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu
sendiri. Istilah untuk pendapat itu yaitu cultural-determinism. Herskovits
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-ternurun dan satu generasi ke
generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas
Eppink, kebudayaan mengandung pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan, serta
keseluruhan struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala
pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Budaya yaitu suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat kompleks,
abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.
Unsur sosiobudaya mi tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Saussure dalam Bambang Sugiaharto (2008) merumuskan setidaknya ada tiga prinsip
dasar yang penting dalam memahami kebudayaan, yaitu:
1. Tanda (dalam bahasa) terdiri atas yang menandai (signifiant,
signifier, penanda) dan yang ditandai (sign iflé, signified, petanda). Penanda
yaitu citra bunyi, sedangkan petanda yaitu gagasan atau konsep. Hal mi
menunjukkan bahwa setidaknya konsep bunyi terdiri atas tiga komponen: (1)
artikulasi kedua bibir; (2) pelepasan udara yang keluar secara mendadak; dan
(3) pita suara yang tidak bergetar.
2. Gagasan penting yang berhubungan dengan tanda menurut Saussure
yaitu tidak adanya acuan ke realitas objektif. Tanda tidak mempunyai
nomenclature. Untuk memahami makna maka terdapat dua cara, yaitu: pertama,
makna tanda ditentukan oleh pertalian antara satu tanda dan semua tanda lainnya
yang digunakan; dan kedua, karena merupakan unsur dan batin manusia, atau
terekam sebagai kode dalam ingatan manusia, menentukan bagaimana unsur-unsur
tas objektif diberikan signifikasi atau kebermaknaan sesuai dengan konsep yang
terekam.
3. Permasalahan yang selalu kembali dalam mengkaji masyarakat dan
kebudayaan adalah hubungan antara individu dan masyarakat. Untuk bahasa,
menurut Saussure ada langue dan parole (bahasa dan tuturan). Langue adalah
pengetahuan dan kemampuan bahasa yang bersifat kolektif, yang dihayati bersama
oleb semua warga masyarakat; parole adalah perwujudan langue pada individu.
Melalui individu direalisasi tuturan yang mengikuti kaidah yang berlaku secara
kolektif, karena kalau tidak, komunikasi tidak akan berlangsung secara lancar.
4. Gagasan kebudayaan, baik sebagai sistem kognitif maupun sebagai
sistem struktural, bertolak dan anggapan bahwa kebudayaan meru pakan sistem
mental yang mengandung semua hal yang harus dike tahui individu agar dapat
berperilaku dan bertindak sedemikian rupa sehingga dapat diterima dan dianggap wajar
oleh sesama warga ma syarakatnya.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian
mengenai kebudayaan yang mana akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi
sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Adapun perwujudan kebudayaan
yaitu benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa
perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola perilaku, bahasa,
peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.
Budaya yang digerakkan agama timbul dan proses interaksi manusia
dengan kitab yang diyakini serta keyakinannya terhadap Tuhan, sebagai hasil
daya kreatif pemeluk suatu agama itu maka lahirlah beragam budaya yang
dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya, dan
beberapa kondisi yang objektif manusia.
F. HAKIKAT
PERADABAN
Menurut Andi Hakim Nasution (2007) mengatakan, perihal kebudayaan
dan peradaban hanya soal istilah. Istilah “peradaban” biasanya dipakai untuk
bagian-bagian dan unsur-unsur kebudayaan yang “harus” dan “indah,” seperti
kesenian, ilmu pengetahuan, serta sopan santun dan sistem pergaulan yang
kompleks dalam suatu masyarakat dengan struktur yang kompleks. Tetapi pada sisi
lain, istilah peradaban juga dipakai Untuk menyebut suatu kebudayaan yang
mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan, dan ilmu
pengetahuan yang maju dan kompleks.
Peradaban berasal dan kata adab, yang artinya kesopanan,
kehormatan, budi bahasa, etika, dan lain-lain. Lawan dan beradab yaitu biadab,
tak tahu adab dan sopan santun. Menurut ahli antropologi De Haan, peradaban
merupakan lawan dan kebudayaan. Peradaban yaitu seluruh kehidupan sosial,
politik, ekonomi, dan teknologi. Jadi, peradaban yaitu semua bidang kehidupan
untuk kegunaan praktis. Sebaliknya, kebudayaan yaitu semua yang berasal dan
hasrat dan gairah yang lebih tinggi dan murni yang berada di atas tujuan
praktis dalam hubungan masyarakat, misalnya musik, seni, agama, ilmu, dan
filsafat. Jadi, lapisan atas yaitu kebudayaan, sedang lapisan bawah yaitu
peradaban.
Lebih jauh dikatakan, kaurn humanis (pendukung De Haan) menganggap
bahwa penguasaan kehidupan praktis (peradaban) atas kehidupan rohaniah hanya
mementingkan penguasaan kehidupan seharihan atau kehidupan netral sernata-mata,
sedangkan pihak lain hanya mernentingkan kehidupan rohaniah atau kebudayaan.
Adapun Sedilot mengatakan, bahwa peradaban yaitu khazanah pengetahuan dan
kecakapan teknis yang meningkat dan angkatan ke angkatan dan sanggup
berlangsung terus. Hanya manusia yang selalu mencari, memperkaya, dan
mewariskan pengetahuan atau kebudayaan.
Dan segi morfologi, peradaban berarti kebudayaan yang telah
sarnpai pada tingkat jenuh, yang telah berlangsung secara terus-menerus. Beals
dan Hoiyer, mengatakan bahwa peradaban (civilization) sarna dengan kebudayaan
(culture) apabila dipandung dan segi kualitasnya, tetapi benbeda dalam
kuantitas, isi, dan komplek polanya. Koentjaraningrat menyatakan, dalam dunia
ilmiah juga ada kata “peradaban” di samping “kebudayaan.” Paham peradaban yaitu
bagian dan kebudayaan yang mempunyai sistern teknologi, seni bangunan, seni
rupa, sistern kenegaraan, dan ilmu pengetahuan yang luas sekali. Untuk saat mi
pengertian yang umum dipakai yaitu peradaban merupakan bagian dan kebudayaan
yang bertujuan memudahkan dan menyejah terahkan hidup.
Untuk istilah peradaban, kata Nasution, digunakan untuk menyebut
bagian dan unsur kebudayaan yang halus, maju, dan indah seperti kesenian, ilmu
pengetahuan, adat sopan santun pergaulan, kepandaian menulis, organisasi
kenegaraan, kebudayaan yang mempunyai sistern teknologi, dan masyarakat kota
yang maju dan kompleks.
Pada waktu perkembangan kebudayaan mencapai puncaknya terwujud:
unsur-unsur budaya yang bersifat halus, indah, tinggi, sopan, luhur, dan
sebagainya, maka masyarakat pemilik kebudayaan itu dikatakan telah memiliki
peradaban yang tinggi. Maka istilah peradaban sering dipakai untuk basil
kebudayaan seperti kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, adat sopan santun,
serta pergaulan. Selain itu juga kepandaian menulis, organisasi bernegara serta
masyarakat kota yang maju dan kompleks. Peradaban merniliki kaitan erat dengan
kebudayaan. Kebudayaan hakikatnya merupakan hasil cipta karsa dan rasa manusia.
6. HAKIKAT PENGETAHUAN
Menurut Endang Saefuddin Ashori (2009), pemahaman ilmu pengetahuan
diletakkan dengan ukuran: Pertania, pada dimensi fenomenalnya, yaitu bahwa ilmu
pengetahuan menampakkan din sebagai masyarakat, proses, dan produk.
Kaidah-kaidah yang melandasinya, sebagaimana dikatakan oleh Robert Merton,
yaitu universalisme, komunisme, disinterestedness, dan skeptisisme yang terarah
dan teratur. Kedua, pada dimensi strukturalnya, yaitu bahwa ilmu pengetahuan
harus terstruktur atas komponen, objek sasaran yang hendak diteliti, yang
diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan
tata cara tertentu, sedang basil ternuannya diletakkan dalam satu kesatuan
sistem.
Pada saat kelahirannya ilmu pengetahuan yang identik dengan
filsafat mempunyai corak mitologis di mana segala sesuatu yang ada dan yang
mungkin ada diterangkan. Berbagai macam kosmogoni menjelaskan bagaimana kosmos
dengan berbagai aturannya terjadi, dan dengan Theogoninya diuraikan peranan
para dewa yang merupakan unsur penentu terhadap segala sesuatu yang ada.
Bagaimanapun corak mitologik mi telah mendorong upaya manusia
untuk “berani” menerobos lebih jauh tanda dan gejala, untuk mengetahui adanya
sesuatu yang eka, tetap, abadi, di balik yang berubah, dan sementara. Barulah
setelah dilakukan gerakan demitologisasi yang dipelopori para
filsufpra-Socrates, filsafat setapak demi setapakberkat kemampuan
rasionalitasnya telah mencapai puncak perkembangannya.
J. Sudarminta (2007) memberikan kiasifikasi ilmu pengetahuan
sejalan dengan ajaran filsafat Aguste Comte yang dikenal sebagai Bapak
Sosiologi, suatu ensikiopedi telah disusun dengan meletakkan matematika
sebagaidasar bagi semua cabang ilmu, dan di atas matematika, secara berurutan
ia tunjukkan ilmu astronomi, fisika, kimia, dan fisika sosial atau sosiologi
dalam suatu susunan hierarkis atas dasar kompleksitas gejala yang dihadapi oleh
masing-masing cabang ilmu. Ia jelaskan bahwa hingga ilmu kimia suatu tahapan
positif telah dapat dicapai, sedang hiologi dan fisika sosial masih sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai teologik dan metafisik. Kiasifikasi ala Comte mi
hingga kini menjadi semakin aktual dan relevan untuk mendukung sikap pandang
yang meyakmni bahwa masyarakat industri sebagai tolok ukur bagi tercapainya
modernisasi harus disiapkan melalui penguasaan basic science, yaitu matematika,
kimia, fisika, dan biologi, dengan penyediaan dana dan fasilitas dalam skala
prioritas utama (Andreski).
Dilihat dan sudut kedudukan ilmu pengetahuan secara substantif
(dan bukan lagi hanya sekadar sarana dalam kehidupan umat manusia), secara
ekstensif ilmu pengetahuan telah menyentuh semua sendi dan segi kehidupan, yang
pada giliranriya akan mengubah budaya manusia secara intensif.
H. INTERKONEKSI ILMU PENGETAHUAN, SENI DAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF,
BUDAYA, DAN PERADABAN
1. Perspektif llmu dalam
Khazanah Budaya
Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan sempurna, yaitu
dilengkapi dengan seperangkat akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah
manusia mendapatkan ilmu, seperti ilmu pengetahuan sosial, ilmu pertanian, ilmu
penclidikan, dan ilmu kesehatan. Akal dan pikiran memproses setiap pengetahuan
yang diserap oleh pancaindra yang dimiliki manusia.
Di lingkungan pendidikan terutama pendidikan tinggi, boleh
dikatakan setiap waktu istilah “ilmu” diucapkan dan suatu ilmu diajarkan.
Tampaknya telah menjadi kelaziman bahwa sebutan yang digunakan
ialah “ilmu pengetahuan.” Walaupun setiap saat diucapkan dan dan waktu ke waktu
diajarkan, tampaknya tidak banyak dilakukan pembahasan mengenai ilmu itu
sendiri. Apa pengertian ilmu dengan sendirinya dipahami tanpa memerlukan
keterangan Iebih lanjut. Tetapi apabila harus memberikan rumusan yang tepat dan
cermat mengenai perigertian ilmu barulah orang akan merasa bahwa hal itu
tidaklah begitu mudah.
Hal ini terlihat dalam penyebutan istilah “ilmu pengetahuan” yang
begitu lazim dalam masyarakat, demikian juga dunia perguruan tinggi yang
merupakan penyebutan yang kurang tepat dan tidak cermat. Istilah ilmu atau
science merupakan suatu perkataan yang bermakna ganda, karena itu dalam memakai
istilah seseorang harus menegaskan atau menyadari arti makna yang dimaksud.
Menurut cakupannya: Pertama, ilmu merupakan suatu istilah umum untuk menyebut
segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai satu kebulatan, jadi ilmu
mengacu pada ilmu seumumnya (science in general). Kedua, ilmu menunjuk kepada
masing-masing bidang pengetahuan ilrniah yang mempelajari suatu p0- kok
tertentu, dalam hal mi cabang ilmu khusus seperti antropologi, biologi, dan
geografi.
Pada hakikatnya, manusia memiliki keingintahuan pada setiap hal
yang ada maupun yang sedang terjadi di sekitarnya. Sebab banyak sekali sisi
kehidupan yang menjadi pertanyaan dalam dirinya. Oleh sebab itulah, timbul
pengetahuan (yang suatu saat) setelah melalui beberapa proses beranjak menjadi
ilmu.
Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan sempurna, yaitu
dilengkapi dengan seperangkat akal dan pikiran. Dengan akal dan pikiran inilah
manusia mendapatkan ilmu, seperti ilmu pengetahuan sosial, ilmu pertanian, ilmu
pendidikan, dan ilmu kesehatan. Akal dan pikiran memproses setiap pengetahuan
yang diserap oleh pancaindra yang dimiliki manusia. Pengetahuan kaidah berpikir
atau logika merupakan sarana untuk memperoleh, memelihara, dan meningkatkan
ilmu. Jadi, ilmu tidak hanya diam di satu tempat atau di satu keadaan. Ilmu pun
dapat berkembang sesuai dengan perkembangan cara berpikir manusia.
Kita dapat melihat bahwa tidak semua pengetahuan dikategorikan
sebagai ilrnu. Sebab pengetahuan itu sendiri sebagai segala sesuatu yang datang
sebagai hasil dan aktivitas pancaindra untuk mengetahui, yaitu terungkapnya
suatu kenyataan ke dalam jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya,
sedangkan ilmu menghendaki lebih jauh, luas, dan dalam dan pengetahuan.
Ilmu merupakan bagian dan pengetahuan, dan pengetahuan merupakan
unsur kebudayaan. Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling
tergantung dan saling memengaruhi. Di satu pihak pengembangan ilmu dalam suatu
masyarakat tergantung dan kebudayaan. Ilmu dan kebudayaan itu terpadu secara
intim dengan seluruh struktur sosial dan tradisi kebudayaan.
Peranan ganda ilmu dalam pengembangan kebudayaan sebagai berikut:
a. Ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya
perkembangan kebudayaan nasional.
b. Ilmu merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukan watak suatu
bangsa.
Kedua hal ini terpadu satu sama lain dan sukar dibedakan.
Pengkajian perkembangan kebudayaan nasional tidak dapat dilepaskan dan
perkembangan ilmu.
Seiring perjalanan waktu, dewasa mi ilmu dan teknologi menjadi
pengembangan utama bidang ilmu dan secara tidak langsung kebudayaan kita tak
terlepas dan pengaruhnya, sehingga kita harus ikut memperhitungkan hal mi.
Untuk itu dibicarakan peranan ilmu sebagai sumber nilai yang ikut mendukung
pengembangan kebudayaan.
Ada tujuan nilai yang terkandung dalam hakikat keilmuan, yaitu
knitis, rasional, logis, objektif, terbuka, menjunjung kebenaran, dan
pengabdian universal. Ketujuh sifat mi akan sangat konsisten untuk membentuk
bangsa yang modern. Karena bangsa yang modern akan menghadapi banyak tantangan
di segala bidang kehidupan. Pengembangan kebudayaan nasional pada hakikatnya
yaitu perubahan kebudayaan konvensional ke arah yang lebih aspirasi.
Jika menurut kita benar bahwasanya ilmu bersifat mendukung budaya
nasional, maka kita perlu meningkatkan peranan keilmuan dalam kehidupan kita.
Beberapa langkah yang dapat kita gunakan yang pada pokoknya mengandung beberapa
pemikiran sebagai berikut:
a. Ilmu merupakan bagian kebudayaan, sehingga setiap langkah dalam
kegiatan peningkatan ilmu harus memperhatikan kebudayaan kita.
b. Ilmu merupakan salah satu cara menemukan kebenaran.
c. Asumsi dasar dan setiap kegiatan dalam menemukan kebenaran yaitu
percaya dengan metode yang digunakan.
d. Kegiatan keilmuan harus dikaitkan dengan moral.
e. Pengembangan keilmuan harus seiring dengan pengembangan filsafat.
f. Kegiatan ilmiah harus otonom dan bebas dan kekangan struktur kekuasaan.
Keenam hal ini merupakan langkah-langkah untuk memberi kontrol
bagi masyarakat terhadap kegiatan ilmu dan teknologi.
2. Perspektif Budaya dan Pengetahuan dalam Khazanah Peradaban
Kebudayaan dapat digunakan untuk keperluan praktis, memperlancar
pembangunan masyarakat, di satu sisi pengetahuan teoretis tentang kebudayaan
dapat mengembangkan sikap bijaksana dalam menghadapi serta menilai kebudayaan
yang lain dan pola perilaku yang bersumber pada kebudayaan sendiri. Pengetahuan
yang ada belum menjamin adanya kemampuan untuk dapat digunakan bagi tujuan
praktis, karena antara teori dan praktik terdapat sisi antara (interface) yang
harus diteliti Secara tuntas agar dengan pengetahuan yang diperoleh lebih
lanjut dan penelitian yang dilakukan, konsekuensi dalam penerapan praktis dapat
dikendalikan secara ketat. Dengan demikian akan didapat pemahaman tentang
prinsip dan konsep dasar yang melandasi pandangan teoretis tentang kebudayaan.
Kebudayaan sebagai sistem yang merupakan hasil adaptasi pada
lingkungan alam atau suatu sistem yang berfungsi untuk mempertahankan kehidupan
masyarakat. Kajian mi lebih menekankan pada pandangan positivisme atau
metodologi ilmu pengetahuan alam. Kebudayaan yang bersifat idealistis, yang
memandang semua fenomena eksternal sebagai manifestasi suatu sistem internal,
kajian mi lebih dipengaruhi oleh pendekatan fenomenologi.
Terlepas dan itu semua, maka kebudayaan sebagai suatu fenomena
sosial dan tidak dapat dilepaskan dan perilaku dan tindakan warga masyarakat
yang mendukung atau menghayatinya. Sebaliknya, keteraturan, pola, atau
konfigurasi yang tampak pada perilaku dan tindakan warga suatu masyarakat
tertentu dibandingkan perilaku dan tindakan warga masyarakat yang lain,
tidaklah dapat dipahami tanpa dikaitkan dengan kebudayaan.
Berbicara tentangkebudayaan, maka tidakbisa terlepas dan
peradaban. Berikut mi beberapa dimensi dan peradaban, di antaranya: Pertarna,
adanya kehidupan kota yang berada pada tingkat perkembangan yang lebib “tinggi”
dibandingkan dengan keadaan perkembangan di daerah pedesaan. Kedua, adanya
pengendalian oleh masyarakat dan dorongan elementer manusia dibandingkan dengan
keadaan tidak terkendalinya atau pelampiasan dan dorongan itu. Selain
menganggap corak kehidupan kota sebagai lebih maju dan lebih tinggi dibandingkan
dengan corak kehidupan di desa, dalam pengertian peradaban terkandung pula
suatu unsur keaktifan yang rnenghendaki agar “kemajuan” itu wajib disebarkan ke
masyarakat dengan tingkat perkembangan yang lebih rendah, yang berada di daerah
pedesaan yang terbelakang.
Peradaban sebenarnya muncul setelah adanya masa kolonialisasi di
mana ada semangat untuk rnenyebarkan dan menanamkan peradaban bangsa kolonial
dalam masyarakat jajahannya, sehingga pada masa itu antara masyarakat yang
“beradab” dan “kurang beradab” dapat digeneralisasikan sebagai corak kehidupan
Barat versus corak kehidupan bukan Barat. Unsur lain yang terkandung dalam
rnakna “peradaban” yaitu kemajuan sistem kenegaraan yang jelas dapat dikaitkan
dengan pengertian civitas. Implikasinyayaitu bahwa penyebaran sistem politik
Barat dapat merupakan sarana yang rnemungkinkan penyebaran unsur-unsur
peradaban lainnya. Corak kehidupan kota atau kehidupan yang beradab pada
hakikatnya berarti tata pergaulan sosial yang sopan dan halus, yang seakan-akan
mengikis dan melicinkan segi-segi kasar.
3. Perspektif
Agama dalam Khazanah Budaya
Agama yang dibudayakan yaitu ajaran suatu agama yang
dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh penganutnya, sehingga
menghasilkan suatu karya/budaya tertentu yang mencerminkan ajaran agama yang
dibudayakannya itu. Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa mernbudayakan
agarna berarti membumikan dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan
sehari-hari. Memandang agama bukan sebagai peraturan yang dibuat oleh Tuhan untuk
menyenangkan Tuhan, melainkan agama itu sebagai kebutuhan rnanusia dan untuk
kebaikan manusia. Adanya agama merupakan hakikat perwujudan Tuhan.
Seperti dalam mengideologikan agama, pembudayaan suatu agama dapat
mengangkat citra agarna apabila pernbudayaan itu dilakukan dengan tepat dan
penuh tanggung jawab sehingga mampu mencerminkan agamanya. Sebaliknya, dapat
menurunkan nilai agama apabila dilakukan dengan tidak bertanggung jawab.
Adapun ideologi dan kebudayaan yang diagamakan maksudnya yaitu
suatu ideologi atau kebudayaan yang mempunyai nilai kebenaran walau sebenarnya
relatif atau dianggap benar atau dapat memberikan kepuasan. Ideologi atau
kebudayaan itu diwariskan turun-temurun, disakralkan, dan lebih dan itu
dipercayainya sebagai doktrin yang harus di-ikuti. Inilah proses lahirnya agama
budaya atau agama ardli.
Maka dapat clijelaskan bahwa agama (wahyu) dapat dijadikan sebagai
ideologi, melahirkan ideologi dan kebudayaan. Akan tetapi agama wahyu itu bukan
ideologi dan bukan pula kebudayaan. Ideologi dan kebudayaan dapat merupakan
pencerminan dan suatu agama apabila hal itu dilakukan oleh seorang yang taat
beragama. Sebaliknya, tanpa wahyu pun manusia dapat menciptakan ideologi dan
kebudayaan, dan dapat pula melahirkan suatu agama, yaitu agarna budaya.
Ditinjau dan sumbernya, agama yang dipeluk umat manusia di dunia
mi dapat dikiasifikasi menjadi dua bagian, yaitu agama wahyu dan agama budaya.
Agama wahyu disebut juga dengan agama langit, agama profetis, dan revealed
relegion; yang termasuk agama wahyu dapat disebutkan di sini misalnya agama
Yahudi, Kristen, dan Islam. Adapun agama budaya disebut juga sebagai agama
Bumi, agama filsafat, agama akal, non-revealed relegion, dan natural relegion;
yang termasuk agama budaya dapat disebutkan di sini misalnya agama Hindu,
Budha, Kong Hu Cu, dan Shinto, termasuk aliran kepercayaan.
4. Agama sebagal Kritik
Kebudayaan
Penting ditekankan bahwa agarna memiliki peran besar sebagai
kritik kebudayaan. Maka, seorang agamawan di tengah krisis modernitas ditantang
untuk menyajikan pada kehidupan modern dewasa ini, detail kearifan agamanya
yang memang autentik ada dalam tradisi besar agama sejak masa lalu.
Di sinilah seorang teolog atau ahli agama, dituntut untuk bisa
merumuskan suatu platform yang tidak hanya berisi legitemasi, tetapi justru
memberikan kritik terhadap kebudayaan. Jelasnya agama harus berdimensi kritis
terhadap kebudayaan manusia. Kebudayaan harus juga dinilai dalarn perspektifke
arah mana ia akan membawa manusia.
Kalau dahulu, agama sekadar diasumsikan hanya mengurusi “dosa
individu,” maka saatnya sekarang mi memfungsikan agama sebagai kritik terhadap
kebudayaan manusia yang cenderung telah mengalami proses “sekularisasi.” Da]am
konteks mi, berarti nilai-nilai masyarakat yang agamais harus berhadapan dengan
nilai-nilai baru yang sangat menekankan rasionalitas. Dan, mi pun merupakan
masalah serius yang menimbulkan ketegangan nilai. Oleh karena itu, agama harus
meminimalisasi kecenderungan “sekularisasi kebudayaan,” sebagaimana sudah
terjadi di Barat. Tentu saa, mi merupakan tugas berat kaum agamawan untuk
merumuskan operasionalisasinya. Lagi pula, para teolog juga harus membuktikan
bahwa agama yaitu asasi dalam suatu platform yang operasional.
Dan kesemua itu dapat dilakukan dengan: Pert cima, bahwa fungsi
kritis agama harus dilakukan dengan menjauhi sikap yang sifatnya totaliter.
Kedua, agama (agamawan) dalam menerangkan fungsi kritisnya secara konkret harus
merniliki pengetahuan empiris yang tangguh. Ketiga, agama tidak bisa bersifat
politis dalam pengertian hanya membatasi din pada masalah ritualistik dan
moralitas dalam kerangka ketaatan individu kepada Tuhannya, tetapi perlu
terlibat ke dalam proses transformasi sosial, sehingga fungsi kemanusiaan agama
bisa tercapai. Keempat, perlunya mendefinisikan kernbali pertobatan dalam
keberagamaan manusia.
5. Produk Kebudayaan
Manusia Menghasilkan Peradaban
Setiap masyarakat atau bangsa di mana pun selalu berkebudayaan,
tetapi tidak semuanya memiliki peradaban, peradaban merupakan tahap tertentu
dan kebudayaan masyarakat tertentu yang telah mencapai kemajuan tertentu yang
dicirikan oleh tingkat ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang telah maju.
Tingkat rendahnya peradaban suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh
kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, dan tingkat pendidikan. Kemampuan
teknologi menjadikan bangsa itu dianggap lebih maju dan bangsa lain pada
zamannya, kemajuan teknologi bisa dilihat dan infrastruktur bangunan, saran
yang dibuat, lembaga yang dibentuk, dan lain-lain. Peradaban ditentukan pula oleh
tingkat pendidikan salah satu ciri yang penting dalam defInisi peradaban, yaitu
kebudayaan (cultured). Orang yang cultured yaitu mampu menghayati dan memahami
hasil kebudayaan adiluhung yang hanya bisa didapatkan dengan pendidikan yang
taraf tinggi. Bangsa yang beradab yaitu bangsa yang terdidik.
Manusia adalah makhluk yang berabad sebab dianugerahi harkat,
martabat, serta potensi kemanusiaan yang tinggi. Dalam perkembangannya bisa
jatuh dalam perilaku kebiadaban, karena tidak mampu menyeimbangkan atau mengendalikan
cipta, rasa, dan karsa yang dimiliki manusia itu telah melanggar hakikat
kemanusiaan.
Peradaban moral dan manusia merupakan nilai-nilai dalam masyarakat
dalam hubungannya dengan kesusilaan. Aturan, ukuran, atau pedoman yang
digunakan dalam menentukan sesuatu benar atau salah, baik atau buruk. Nilai dan
norma moral tentang apa yang baik dan buruk yang menjadi pegangan dalam
mengatur tingkah laku manusia. Bisa juga diartikan sebagai etika, sopan santun
berhubungan dengan segala Sesuatu yang tercakup dalam keindahan, mencakup
kesatuan (unity), keselarasan (balance), dan kebaikan (contrast).
6. Seni sebagai Penggerak
Budaya Peradaban
Akar pengalaman estetik sebenarnya merupakan pengalaman
keseharian, terutama pengalaman tentang sisi dramatik dinamika gerak dan
perubahan kehidupan. Kecemasan orang yang berkerumun saat melihat kecelakaan di
jalanan. Ketegangan penonton saat mengikuti lompatan bola dalam permainan sepak
bola. Keharuan seseorang saat melihat bunga pertama menyeruak dan tanaman yang
selalu disiraminya. Perasaan aneh saat melihat api membesar ketika kita
siramkan minyak ke atas bara.
Kepekaan atas medan bentuk serta pengalaman atas gerak denyut
kehidupan macam itulah akar dan kesadaran estetik dan kecenderungan
berkesenian. Itulah pengalaman yang membuka indra manusia pada kaitan halus
terselubung antar-berbagai kejadian, yang menggiringnya pada perenungan lebih
mendalam ihwal misteri alam dan kehidupan, yang menjebaknya pada keharuan tanpa
alasan atas matahari, angin, tanaman, ataupun hujan, tapi juga yang
mendorongnya sampai pada pemikiran paling imajinatif dan brilian.
Seni adalah segala upaya untuk memberi bentuk manusiawi pada hidup
dan semesta, berbagai cara membiasakan aspirasi batin lewat penciptaan benda
dan peristiwa. Dan, dunia yang diciptakannya itu diubahnya kembali setiap kali
karena perubahan situasi dan kondisi, tapi juga karena hidup memang suatu
proses menjadi’, proses pertumbuhan ke tingkat Iebih halus dan Iebih tinggi.
Maka jingkrak-jingkrak spontan kebahagiaan yang tak terkoordinasi berubah
menjadi tarian, gerak komunikasi tubuh tanpa bentuk menjadi perilaku santun
terpolakan, seruan rasa yang kacau menjadi bahasa pelik sarat gagasan,
pencerapan ukuran diberinya bentuk matematis-geometris demi penghitungan.
Sistem nilai pun ditata ulang kembali setiap kali. Kekerasan dan
simbol kekuatan berubah menjadi isyarat kelemahan; sedang mereka yang lemah,
awalnya dianggap sebagai pihak yang kalah, perlahan berubah menjadi pihak yang
wajib dilindungi, bahkan wajah suci sapaan Ilahi. Kekejaman pedang harus
berhenti di hadapan lawan yang tak berdaya. Memaafkan menjadi lebih mulia
daripada balas dendam,
Demikianlah seni, sebagai tendensi kreatif umum untuk membentuk
dunia manusia menjadi lebih manusiawi akhirnya menghasilkan rasa keberadaban’,
suatu tolok ukur umum evolusi kemanusiaan. Seni akhirnya yaitu soal makin
tajamnya kesadaran makna dan nilai di balik ‘bentuk’, bentuk alam semesta,
bentuk perilaku manusia, tapi juga bentuk sistem dogma, bentuk kehidupan
bersama, dan sebagainya. Imajinasi kreatif yang menggerakannya yaitu juga yang
melahirkan ilmu dan teknologi, segala sistem kepercayaan, dan sistem gagasan,
artinya yang membentuk seluruh gerak kebudayaan dan peradaban.
I. INTEGRAS1 ILMU
PENGETAHUAN, SENI, DAN AGAMA
Tidak semua pengetahuan dikategorikan ilmu, sebab pengetahuan itu
sendiri sebagai segala sesuatu yang diketahui dan datang sebagai hasil dan
aktivitas pancaindra untuk mengetahui, yaitu terungkapnya suatu kenyataan ke
dalarn jiwa sehingga tidak ada keraguan terhadapnya, Sedangkan ilmu menghendaki
ebih jauh, luas, dan dalam dan pengetahuan.
Ilmu merupakan bagian dan pengetahuan, dan pengetahuan merupakan
unsur kebudayaan. Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling
tergantung dan saling memengaruhi. Di satu pihak pengembangan ilmu dalam suatu
masyarakat tergantung dan kebudayaan. Ilmu dan kebudayaan itu terpadu secara
intim dengan seluruh struktur sosial dan tradisi kebudayaan.
Seni sebagai penggerak budaya peradaban, di mana seni sebagai
tendensi kreatif urnum untuk membentuk dunia manusia menjadi ]ebih manusiawi
akhirnya rnenghasilkan rasa ‘keberadaban’, suatu tolok ukur umum evolusi
kemanusiaan. Seni sebagai sistem nilai, semakin mempertajam kesadaran makna dan
nilai di balik ‘bentuk’, bentuk alam Semesta, bentuk perilaku manusia, tapi
juga bentuk sistem dogma, bentuk kehidupan bersama.
Kebudayaan sebagai sistem yang merupakan hasil adaptasi pada
lingkungan alam atau suatu sistem yang berfungsi untuk mempertahankan kehidupan
masyarakat, yang merupakan hasil dan manusia yang merupakan makhluk yang
beradab sebab dianugerahi harkat, martabat, serta potensi kemanusiaan yang
tinggi. Manusia memiliki padanan istilah yang dikenakan dengan masyarakat
madani atau masyarakat sipil (civil society, nurcliolis iizadjid), masyarakat
beradab atau berkeadaban, masyarakat madani (masyarakat yang teratur dan
beradab), dan peradaban hanya terwujud dalam masyarakat teratur.
Agama dapat berfungsi sebagai kritik seni (budaya) sekaligus
sebagai kritik ilmu, bahwa fungsi kritis agama harus dilakukan dengan menjauhi
sikap yang sifatnya totaliter. Agama (agamawan) dalam menerangkan fungsi
kritisnya secara konkret harus memiliki pengetahuan empiris yang tangguh.
Agarna tidak bisa bersifat politis dalam pengertian hanya membatasi din pada
masalah ritualistik dan moralitas dalam kerangka ketaatan individu kepada
Tuhannya, tetapi perlu terlihat ke dalam proses transformasi sosial, sehingga
fungsi agama bisa tercapai dalam konteks seni (budaya) dan ilmu pengetahuan.
Wujud peradaban moral dan agama merupakan nilai-nilai dalam
masyarakat dalam hubungannya dengan kesusilaan. Aturan, ukuran, atau pedoman
yang digunakan dalarn menentukan sesuatu benar atau salah, baik atau buruk yang
dikembangkan dalam perspektif ilmu pengetahuan dan dikemas dalam nilai-nilai
seni dan keindahan agar dia maslahat bagi kemanusiaan. Nilai dan norma moral
tentang apa yang baik dan buruk yang menjadi pegangan dalam mengatur tingkah
laku manusia mi harus terintegrasi dalam ilmu pengetahuan agar dia bernilai dan
dapat memandu manusia menjadi berbudaya dan berperadaban.
Sumber :
Orientasi Ke Arah Pemahaman, Filsafat Ilmu. Prof. Dr. Mukhtar Latif, M.pd.
wah bahsanya mudah di pahami, dan membatu saya dalam belajar dan mencari pengetahuan, di sini juga tertea sumbernya
BalasHapusbagus !
di tunggu post berikutnya :)
terimakasih atas masukannya, membatu saya untuk lebih baik :D
Hapuspostingan ini sangat membatu saya mengerti mengenai peradapan dan budaya, sangat bagus dan menarik, kalimatnya pun dapat saya pahami. tingkatkan lagi ya ^^
BalasHapusterimakasih atas masukannya, membatu saya untuk lebih baik :D
Hapuspostingan yang sangat berguna
BalasHapus;)
terimakasih sangat membantu
BalasHapus